twenty five

594 91 96
                                    

"Good morning, selamat datang di Jicake. Mau pe—"

Look who is here—di Sabtu pagi yang cerah saat Jicake baru saja buka. Aku menghembuskan nafas pelan; bisa nggak sih sehari aja dia kelihatan jelek? Kenapa setiap hari malah kelihatan makin ganteng. Aku menggelengkan kepala; harus professional, nggak boleh terpengaruh sama urusan pribadi.

"Selamat pagi, mau pesan apa?"

Sicheng melepas airpod yang dipakainya. "Hai, boleh minta tissue?"

Ditanya apa, malah jawab apa—kebiasaan. Aku mengangguk lalu meraih kotak tissue yang diletakkan di dekat coffee machine. Aku meletakan kotak tissue diatas counter, membiarkan Sicheng mengambilnya sendiri.

"Thanks," ucapnya dengan senyum semanis gulali—lebay sih, tapi emang manis banget. Cowok itu meraih beberapa lembar tissue lalu menghapus keringat di dahinya—owshit, seksi banget.

"Habis ngapain?" tanyaku basa-basi—ekspresi wajahku berusaha kelihatan biasa aja padahal aslinya mah deg-degan banget; pagi-pagi udah disuguhi pemandangan si mantan yang lagi lap keringat dengan seksinya.

"Jogging," ucapnya santai.

"Sendirian?" tanyaku yang langsung aku sesali, harusnya aku mengikuti apa kata Yuta—jadi mantan itu nggak boleh kepo, nanti susah move on.

Sicheng mengangguk. Cowok itu mundur selangkah untuk menatap deretan cake yang sudah tersusun dengan cantik di display. Aku menghela nafas, adegan kayak gini seolah dejavu saat pertemuan kedua kami—di hari itu Sicheng juga jadi pelanggan pertama, aku masih ingat betapa kakunya dia waktu itu, untung aja setelah berbulan-bulan kenal ternyata dia nggak sekaku itu, cuman canggung aja didepan orang yang baru kenal.

"Blueberry cheesecake satu, ya," ucapnya sambil menegakan tubuhnya. "Sama Iced Americano satu."

Aku mengangguk lalu meraih piring kecil untuk menaruh blueberry cheesecake. Aku meletakkan piring itu di nampan, lalu berbalik untuk membuatkan Iced Americano.

"Yoobin..."

Tanganku yang sedang menyiapkan cup otomatis membeku saat mendengar namaku dipanggil. Aku berdeham lalu berbalik, mata kami bertatapan selama beberapa detik—tapi nggak sedramatis di drama loh ya, tatap-tatapan biasa aja, tapi sukses bikin hati aku tawuran.

"Hm?"

"Saya mau ngobrol sama kamu—" ucapnya dengan ragu-ragu. "—boleh?"

Aku mengerutkan kening. "Sekarang? Aku lagi kerja."

Sicheng menjilat bibir bawahnya, ia nampak ragu untuk mengatakan sesuatu jadi aku memutuskan berbalik untuk menyiapkan kopi pesanannya. Sebenarnya aku bisa saja menemaninya mengobrol toh belum ada pelanggan lain, tapi aku lagi berusaha keras menghindari pembicaraan apapun dengan cowok itu.

Apalagi setelah ajakannya ke Shanghai seminggu yang lalu, waktu itu aku nggak menjawab; aku cuman bilang mau pikir-pikir dulu, dan setelah obrolan itu aku memutuskan untuk pulang (Sicheng memaksa untuk mengantar pulang, tapi aku melarang karena cowok itu lagi hangover) dan itulah terakhir kalinya kami ketemu dan bicara lagi.

"Soal ajakan saya waktu itu—"

"Ini pesanannya," ucapku sebelum cowok itu menyelesaikan kalimatnya. Aku pura-pura sibuk mengetikkan pesanannya, padahal aslinya aku sedang menghindari tatapan matanya. "Mau pembayaran cash atau pake kartu?"

Sicheng mengerjapkan matanya. Cowok itu merogoh saku celananya untuk mengeluarkan dompet yang tak lama menjulurkan THE holy Black Card dari sana, aku menerimanya dengan ekspresi wajah yang so cool, padahal aslinya selalu gemeteran setiap lihat kartu ini. Apa aku masih punya peluang buat jadi salah satu pemegang black card? Bisa sih, kalau aku ngepet, atau ke dukun kayaknya bisa.

Acrasia [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang