Ramalan cuaca emang nggak salah. Tepat pukul empat sore hujan mulai turun dengan intesitas ringan yang kemdian dalam sepuluh menit berubah menjadi hujan deras disertai petir yang saling bersambut. Aku menghela nafas, kenapa disaat hujan deras begini aku perutku justru kram karena menstruasi?
Aku sudah merubah berbagai macam posisi; mulai dari meringkuk, tengkurap, bahkan bersujud, apapun aku lakukan supaya nyerinya reda tapi nyatanya malah makin menjadi-jadi. Aku harus gimana nih?
Akhirnya aku meraih ponsel dengan susah payah, mencari kontak Arin secepat yang aku bisa lalu menaruh ponselku dalam mode loudspeaker. Butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya suara ceria Arin menyambutku, dan samar-samar aku bisa mendengar suara hujan.
"Eonni? Halo?"
"Ha—halo," ujarku dengan susah payah, keningku sudah berkerut diiringi dengan ringisan-ringisan pelan. "Rin..."
"Eonni?" tanya Arin, suaranya berubah khawatir. "Eonni, kenapa? Eonni baik-baik aja, kan?"
Aku kembali meringis saat perutku serasa dipelitir. "Ka—kamu kalo nyeri haid, pake a—apa?"
"Eonni nyeri haid?" tanya Arin, mulai panik. "Aku kesana, ya?"
"Ja—jangan!" ujarku dengan suara bergetar perpaduan menahan sakit, ngilu sekaligus pusing. "Hu—hujan."
"Hujan gede gini lama redanya, eonni," seru Arin yang terdengar sangat khawatir. "Nanti makin sakit. Aku kesana, ya? Dianter Mark kok, eonni nggak usah khawatir."
"Ja—jangan!"
"Sekarang eonni tenang dulu, tarik nafas pelan-pelan!" ujar Arin—gimana aku mau tenang kalau dia kedengaran panik, aku bahkan bisa mendengar suara grasak-grusuk yang terburu-buru. "Aku otw sekarang. Bye."
"Eh?"
Belum sempat menjawab, teleponnya keburu ditutup. Aku meletakkan ponsel disamping tempat tidur—berjaga-jaga kalau misalkan ada telepon urgent. Aku kembali memegangi perut sambil berusaha mengatur nafas yang nggak beraturan.
Huft. Aku jarang ngerasa nyeri haid sampai begini, biasanya cuman ngilu atau pegal bagian pinggang aja tapi kenapa sekarang sesakit ini? Pantas aja Arin suka izin kerja kalau hari pertama haid, ternyata rasanya emang menyakitkan banget.
Setelah hampir empat puluh menit, akhirnya aku mendengar suara bel berbunyi. Aku berusaha bangkit dari tempat tidur dengan susah payah, aku bahkan nggak sempat melihat intercom saking lemasnya, jadi aku buru-buru membuka pintu dan SURPRISE!
Bukan Arin yang berdiri didepan pintu rumahku. Tapi si ganteng.
Sicheng menatapku khawatir, tapi aku lebih khawatir melihatnya. Rambutnya basah, kemejanya juga basah—nggak basah kuyup sih, cuman cukup basah dan pasti bikin nggak nyaman.
"Yoobin," panggilnya sambil meraih lenganku.
"Sa—sakit," racauku sambil memegangi perut.
"Iya, bentar," ucap Sicheng sambil menggendongku ke tempat tidur—di gendong woy ini, digendong! Apakah ini yang namanya dreams come true? Dulu suka mengkhayal digendong pangeran, eh kesampean dong! Eommaaaaa!
Aku kembali meringkuk di atas tempat tidur sementara Sicheng membuka kemejanya, menyisakan kaus putih pendek dan celana jeans yang robek-robek. Cowok itu kemudian membuka plastik yang dibawanya dan mengeluarkan satu kotak obat dari sana.
"Tunggu disini!" Sicheng kemudian berjalan menuju dapur, aku memperhatikannya sambil meringis kesakitan. Si ganteng mengambil gelas lalu menuangkan air.
KAMU SEDANG MEMBACA
Acrasia [✔]
Fanfiction"Sicheng-ssi, kan?" "Jangan pakai ssi, saya nggak suka." "Terus manggilnya apa? Sicheng sayang?" Sicheng tidak seharusnya jatuh cinta pada Yoobin, begitu pun sebaliknya. Mereka terlalu berbeda; bagai dua kutub yang bersebrangan. Tapi baik Sicheng ma...