Seventeen

869 105 108
                                    

"Kalau kamu merasa nggak nyaman, bisa telepon aku."

Aku mengangguk pada seorang lelaki ganteng dihadapanku—bukan Sicheng. Begitu mendengar upaya penculikanku, Kun-ge datang bersama seorang temannya yang bernama Hendery—dia psikiater di rumah sakit Kun-ge.

"Makasih, Hendery-ge," ujarku sambil tersenyum lebar. "Eh, manggil ge nggak apa-apa, kan?"

Hendery tersenyum, menampilkan deretan giginya yang rapih. "Nggak apa-apa. Santai aja."

Aku tersenyum mendengarnya, kemudian menoleh ke samping untuk mendapat tatapan tajam dari si ganteng. Aku mengerutkan alis sementara Sicheng mendecih pelan lalu memutar bola matanya dengan malas. Si ganteng kenapa sih? Sensi mulu setiap aku manggil orang dengan sebutan "gege".

"Beneran nggak ada luka fisik?" tanya Kun-ge untuk memastikan, dokter ganteng itu sudah mengajukan pertanyaan yang sama kurang lebih empat kali.

Aku mengangguk dengan yakin. "I'm totally fine."

"Tadi kamu ditampar sama mereka loh," ujar Sicheng yang sedari tadi hanya diam. "Coba cek pipinya, ge. Siapa tahu memar atau ada luka dalam."

"Apa sih, cuman ditampar doang," sahutku santai sambil menyentuh pipiku yang sekarang sudah tidak lagi terasa perih. "Mereka nggak sempat nyakitin aku. Soalnya ada superhero ganteng yang nyelametin aku."

Aku tersenyum lebar sembari menatap Sicheng, tanganku terjulur untuk menepuk bahunya dengan penuh rasa bangga. Sicheng hanya mengela nafasnya dengan pelan.

"Siapa? Mr. Jiang?" tanya Sicheng. "Dia dateng 40 detik lebih dulu dibanding saya."

Aku mendengus. Niat mau menggombal malah diginiin.

"Kayaknya kamu emang baik-baik aja deh," sahut Kun-ge sambil tertawa. "Soalnya udah bisa flirting lagi."

Aku tertawa mendengarnya, begitupun dengan Hendery yang duduk disamping Kun-ge. Sicheng? Cowok itu hanya menatapku namun ada senyum tipis yang tersungging dibibirnya. Uh, ganteng.

"Yoobin," panggil Hendery setelah tawanya usai. "Kamu perempuan paling berani yang pernah aku temui, serius."

"Oh ya?" tanyaku antusias. "Kok gitu?"

"Setelah upaya penculikan, terus diancam pakai gunting—" Hendery sempat tertawa pelan sebelum melanjutkan ucapannya. "Kamu masih bisa ngobrol kayak gini. Aku kagum sama kamu."

Aku tertawa mendengarnya, lalu melirik Sicheng untuk melihat reaksi cowok itu. Sicheng menatapku lalu mendengus, terlihat kesal. Aku mengerutkan kening; tuh kan mulai sensi lagi.

"Berani apanya," sahut Sicheng sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Waktu di tempat kejadian aja nangis-nangis manggil ibunya."

"Ih," ujarku dengan kesal sambil mencubit lengan Sicheng. "Sssttt, itu kan rahasia!"

Kun-ge dan Hendery tertawa sementara aku masih sibuk menatap Sicheng dengan penuh peringatan. Duh, hancur sudah harga diriku didepan psikiater ganteng ini. Tapi emang iya sih, bahkan diperjalanan menuju apartment aku masih menangis sambil menggumam memanggil eomma.

"Tapi aku harap kamu emang beneran baik-baik aja," ujar Hendery dengan pandangan yang teduh—pantes aja jadi psikiater dengan pandangan penuh pengertian gitu.

"Aku beneran nggak apa-apa kok," ujarku dengan penuh percaya diri. "Shocknya cuman bentar aja."

Hendery mengangguk. Kun-ge menyesap teh yang disajikan dihadapannya, dokter ganteng itu kemudian mengambil jas dokter yang tersampir di lengan sofa lalu melirik jam tangannya.

Acrasia [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang