Warning : chapternya agak panjang, 3500+ words, semoga kalian ga bosen ya bacanya :))
(Nih, sebelum baca aku kasih yang uwu-uwu dulu hahaha. Tapi ini editannya masih jelek banget wkwk)
"Kaget, ya?"
Aku menoleh ke samping dan mendapati Taeil yang sedang menyandarkan tubuhnya ke mobil, tangannya terlipat di depan dada untuk menghalau rasa dingin—iyalah dingin, bayangin aja hampir jam dua pagi di parking lot sebuah night club di Seoul—nontonin seorang cowok yang lagi muntah-muntah karena kebanyakan minum.
Aku diam, enggan menjawab.
Diam emang jawaban terbaik saat kita lagi bingung dengan sesuatu. Dan kali ini aku masih bingung dengan situasinya; begitu Sicheng ambruk dipelukanku, Johnny dan Yuta langsung meraih tubuh Sicheng dan membopong cowok itu keluar, sementara Doyoung sibuk mengurus biaya minuman.
Sicheng terus meracau selama berjalan keluar dengan sempoyongan, cowok itu meracau—memanggil namaku lebih tepatnya, lalu tertawa hambar, dan kemudian nyaris merosot ke tanah—dan sekarang lagi muntah-muntah disamping mobil Johnny.
"Sadar, bro, sadar!" ucap Doyoung sambil mengelus punggung Sicheng.
Sicheng menumpukan tangan kiri di mobil Johnny sementara tangan kanannya memegang perutnya yang terus menerus mengeluarkan isinya. Johnny menghela nafas, lalu meraih ponselnya yang baru saja berdering.
"Yo, whassup?"
"Malu tuh dilihatin mantan," ucap Doyoung lagi, meskipun sibuk mengomel tapi Doyoung tetap perhatian dengan mengusap punggung Sicheng, ia bahkan menawarkan sebotol air mineral.
"Udah ketemu," ucap Johnny, sambil menjejalkan tangan kanan ke saku jaketnya sementara tangan kirinya memegang telepon yang tertempel di telinga. "Di tempat kita biasa minum. Gila, parah banget. Habis tiga botol kayaknya."
"Dia biasanya nggak kayak gini," ucap Taeil dengan hembusan nafas pelan yang menciptakan asap tipis di mulutnya. "Sicheng biasanya tipsy doang, dia paling sober diantara kita semua kalo lagi minum."
Aku menatap Taeil sesaat lalu kembali menatap Sicheng yang masih sibuk memuntahkan isi perutnya. Jujur, aku khawatir banget sama cowok itu. Aku biasanya melihat sosoknya sebagai orang yang dewasa, nggak banyak tingkah, dan pastinya ganteng—tapi hari ini berbeda; aku melihatnya sebagai sosok yang rapuh.
"Pulang ke apartment kayaknya," ucap Johnny—konsentrasiku terpecah ke tiga hal; kondisi Sicheng yang mengkhawatirkan, Taeil yang memberikan TMI, dan Johnny yang masih sibuk menelepon. "Yoobin, kamu tahu password apartmentnya, kan?"
Aku mengangguk. "Kalo belum diganti, sih."
Percaya atau tidak, itu kata yang pertama kali aku ucapkan setelah keluar dari night club. Aku terlalu shock untuk memahami situasi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Acrasia [✔]
أدب الهواة"Sicheng-ssi, kan?" "Jangan pakai ssi, saya nggak suka." "Terus manggilnya apa? Sicheng sayang?" Sicheng tidak seharusnya jatuh cinta pada Yoobin, begitu pun sebaliknya. Mereka terlalu berbeda; bagai dua kutub yang bersebrangan. Tapi baik Sicheng ma...