ten

701 108 68
                                    

Aku melirik jam dinding yang tergantung di salah satu sudut Jicake. Sudah hampir jam setengah delapan malam—artinya shift kerjaku akan berakhir dalam tiga puluh menit. Aku menatap suasana Jicake yang memang tidak terlalu ramai karena beberapa cake sudah habis.

Ting.

Aku mendongak, mataku menyipit begitu melihat seorang cowok yang berpakaian rapih melenggang memasuki Jicake—berjalan mendekat kearahku yang berdiri dibalik display. Aku menghela nafas; dia lagi.

"Hai," sapa Wonwoo dengan senyuman manisnya.

Aku memaksakan seulas senyum. "Hai, mau pesan apa?"

Wonwoo menatap deretan cake di display. "Udah pada habis, ya? Kayaknya mau pesan minum aja."

Aku mengangguk, bersiap mendengar pesanannya. Wonwoo membaca list menu yang terpajang di atasku. Cowok itu menggaruk tengkuknya seolah sedang berpikir keras.

"Pulang jam berapa?"

"Hah?" tanyaku dengan alis berkerut, bukannya menyebutkan pesanan Wonwoo malah mengajukan pertanyaan lain.

"Selesai kerja jam berapa?" tanya Wonwoo, matanya menatap mataku. "Aku anter pulang."

"Nggak usah," ujarku sambil menggeleng. "Mau pesan apa?"

"Moccachino satu," ujarnya. "Kamu mau?"

Aku menggeleng. Kamu bukan Sicheng, kalau si ganteng yang nawarin aku langsung mengangguk bahkan sebelum si ganteng bertanya, Hehehe. Aku berbalik untuk menyiapkan pesanannya. Arin sudah sibuk di pantry untuk merapihkan sisa-sisa bahan kue, mencuci loyang atau me-lap oven untung menjaga kehigenisan cake disini.

"Pesanannya," ujarku sambil meletakan satu cup moccahino di hadapan Wonwoo. Aku berlaih menuju mesin kasir dan menyebutkan harga pesanannya.

"Kamu belum jawab pertanyaan aku," ujar Wonwoo sambil menyerahkan kartunya, aku meraih kartunya lalu menggesekannya di mesin EDC. "Katanya mau telepon aku."

Aku menghela nafas lalu mendongak untuk menatapnya. "Aku lupa, ternyata aku nggak punya nomor kamu."

"Nomor aku masih yang lama kok," ujar Wonwoo sambil meraih kembali kartu miliknya. "Coba deh kamu unblock, bisa kok."

Aku hanya memutar bola mata malas. "Okay."

"Pulang bareng aku ya," ujar Wonwoo terdengar memohon, enggan beranjak dari tempatnya berdiri. "Eomma minta aku untuk sering jemput kamu pulang. soalnya akhir-akhir ini kan banyak kejadian—"

"Eomma?" tanyaku dengan alis berkerut. "Kamu masih sering telepon eomma?"

Wonwoo tampak menatapku dengan penuh rasa bangga. "Iya, dong. Bahkan eomma yang sering telepon aku duluan."

Aku mencibir. "Eomma kayaknya lebih sering telepon kamu daripada aku. Kayaknya kamu anaknya eomma deh, bukan aku."

"Bukan anak eomma," ujar Wonwoo sambil tersenyum lebar. "Tapi calon mantunya."

Aku mendengus, terlalu malas menanggapinya. Kalau aja dia ngomong begini waktu kita masih pacaran mungkin aku akan guling-guling di lantai saking senangnya. Tapi kan sekarang situasinya udah berubah.

"Aku anter, Yoobin," ujar Wonwoo bersikeras, ia bahkan belum menyentuh moccachino-nya. "Aku harus make sure kamu pulang ke rumah dengan selamat. Jadi aku bisa lapor ke eomma."

"Aku bukan anak kecil," sahutku sambil melipat tangan di depan dada, wajahku jelas terlihat tidak nyaman. "Ngapain coba apa-apa lapor eomma?"

Acrasia [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang