"Hai, lagi ngobrolin apa?"
Aku mendongak begitu merasakan sentuhan lembut di bahu. Sicheng menunduk menatapku, lengkap dengan senyum tipisnya yang mampu membuatku diabetes. Semenjak thesis defence waktu itu, Sicheng emang jadi lebih sering senyum sih tapi masalahnya itu nggak baik untuk kesehatan—bisa bikin diabetes.
"Iya, kayaknya seru banget,"
Aku menoleh pada lelaki paruh baya yang berdiri di samping Sicheng. Aku mengerjapkan mata begitu menyadari bahwa lelaki itu sangat mirip dengan Sicheng—hanya saja mungkin Sicheng versi tua.
"Papa?" tanyaku polos. "Papa-nya Sicheng, maksudku."
Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk. "Iya, saya Papa-nya Sicheng."
"Nihao," ujarku sambil berdiri lalu menunduk sopan—sok sokan pakai Bahasa China yang amat sangat terbatas. "Saya Bae Yoobin."
"Papa bisa Bahasa Korea kok," ujar Papa dengan senyum lebar. "Duduk aja, Yoobin. Enjoy your breakfast."
"Terima kasih, Pa," ujarku sambil duduk. Sicheng duduk disampingku, masih memegang cup coffee di tangannya. "Udah nyapa yang lainnya?"
Sicheng mengangguk, sedikit mencondongkan tubuhnya padaku. "Gimana breakfastnya enak?"
Aku berusaha bersikap biasa aja padahal rasanya jantung mau meledak. Posisi Sicheng yang mencondongkan tubuhnya ini membuatku bisa mencium aroma parfumnya yang maskulin sekaligus menyegarkan, belum lagi deru nafasnya terdengar lembut menyapu udara di sekitarku—hehe lebay, wkwk.
"Enak," sahutku sambil meletakkan garpu yang sedari tadi di pegang. "Kamu udah sarapan?"
"Nih," Sicheng mengacungkan coffeenya.
"Apaan cuman coffee itu mah," ujarku sambil memotong sepotong cake di hadapanku lalu menyodorkannya di depan mulutnya. "Nah, ini baru sarapan. Aaaaaaa."
Sicheng tersenyum sebelum melahap cake yang aku sodorkan. Duh, jadi suap-suapan gini, hehe. Sicheng sibuk mengunyah saat aku mendengar suara Mama yang berdeham sambil senyum-senyum.
"Gemes banget ya, Pa?" tanya Mama sambil tersenyum. "Jadi inget dulu pas zaman kita pacaran."
Papa tertawa mendengarnya. "Dulu Mama nggak pernah nyuapin Papa, malah setiap makan, Mama yang habisin makanan Papa."
"Ih, PAPA!" seru Mama sambil mencubit lengan Papa.
Aku dan Sicheng tertawa melihat Mama dan Papa yang masih tampak romantis meskipun sudah menikah puluhan tahun. Jadi inget eomma sama appa di rumah, meskipun mereka lebih sering berantem gemes dibanding romantis-romantisan tapi tetap aja kelihatan cute.
"Sicheng, udah siapin speech buat gala dinner malam ini?" tanya Papa setelah menyesap teh manis di hadapannya.
Sicheng mengangguk. "Udah kok, Pa."
Aku menatap Sicheng, lalu berbisik. "Kamu kok nggak bilang ada gala dinner?"
"Emangnya kenapa?"
"Aku nggak bawa dress, aku juga nggak bawa heels," ujarku mulai panik. "Masa mau dateng gala dinner pakai celana jeans, sih."
Sicheng tersenyum. "Kirain kenapa. Ya tinggal beli, apa susahnya."
"Gampang banget ya ngomong," ujarku sambil cemberut, menepuk pahanya dengan gemas.
"Kita beli habis ini, okay?" ujar Sicheng lagi-lagi mencondongkan tubuhnya. "Saya juga perlu beli sesuatu kayaknya."
"Sicheng, I owe you lots of money already," ujarku sambil berbisik. "Terus sekarang harus beli dress sama heels. Aku bisa nggak makan tiga tahun buat bayar hutang ke kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Acrasia [✔]
Fiksi Penggemar"Sicheng-ssi, kan?" "Jangan pakai ssi, saya nggak suka." "Terus manggilnya apa? Sicheng sayang?" Sicheng tidak seharusnya jatuh cinta pada Yoobin, begitu pun sebaliknya. Mereka terlalu berbeda; bagai dua kutub yang bersebrangan. Tapi baik Sicheng ma...