Part 28

3.6K 164 6
                                    

Terkadang, manusia buta akan cinta dan semesta.

···

Evan mendrible bola basketnya di lapangan sekolah, meski ia tahu ini masih pukul setengah enam. Cowok itu sengaja berangkat awal, bahkan terlalu awal. Entah syaitan apa yang yang merasuki jiwanya pagi ini.

"Wah, si Pang-Pang tumben berangkat pagi buta?" celetuk Gading bersama Brian yang baru saja datang.

Diyas? Masih berada di parkiran.

"Eh, hari ini Kevin bolos, loh, sama Ether. Iya, enggak, Yan?" Gading menyenggol lengan Brian yang berada di sampingnya.

"Weish, tentu, Gan! Ke Jerman katanya. Ups!" balas Brian bermaksud hati mengompori Evan.

"Eh, ya udah, yuuuk, kita ke kelas, Yan!" kata Gading saat melihat pantulan bola Evan semakin kasar.

"Keburu, nih, macan nanti mengamuk!" sambungnya, kemudian menarik lengan Brian.

"Sialan! Anjing!" umpat Evan seraya mengepalkan kedua tangannya selepas kepergian dua tuyul kurang ruqiyah itu.

···

Riana berjalan menyusuri koridor. Dengan langkah santai, ia merapikan rambutnya. "Na, gue minta nomornya Ether sekarang!" entah datang dari mana, Evan tiba-tiba sudah berdiri di depan Riana.

"Eh, apa-apaan ini? Awas, gue mau lewat!" keluh Riana berusaha mencuri langkah.

"ENGGAK! POKOKNYA LO HARUS KASIH NOMOR ETHER KE GUE. TITIK!" paksa Evan ngotot.

"Ih, apaan sih, gue nggak mau ya ada urusan sama lo, Van!" tukas Riana tajam.

"GUE NGGAK PEDULI. YANG PENTING SEKARANG LO KASIH NOMOR ETHER KE GUE. CEPETAN!" Evan menaikkan satu oktaf nada bicaranya.

"Nggak sudi. Ether udah bahagia tau nggak sama Kevin. Minggir lo!" Riana pun menabrak bahu Evan kasar, kemudian berlalu dari hadapan cowok itu.

"Lihat aja, Na, gue bakal dapat nomor Ether. Hari ini. Pokoknya hari ini." Batinnya dengan kedua tangan yang mengepal erat.

···

Riana mendengkus sebal pada dua cowok yang sedari tadi mengacaukan selera makannya. Siapa lagi kalau bukan dua cenayang Kevin yang gilanya minta ditepungin.

Brian dan Gading.

Kedua makhluk itu tak henti-hentinya menggombali Riana. Riana melirik sekilas ke arah pria yang kini sibuk memainkan game online di ponselnya, Diyas.

"Eh, lo, singkirkan ini teman lo yang ngenalin kek bulu ketek!" tajamnya pada Diyas.

Diyas menoleh sebentar, kemudian berpaling lagi. Baginya, game lebih penting dari apapun.

"Singkirkan aja sendiri!" balas Diyas yang kini beralih pose dengan satu kaki diangkat.

Lagi, Riana mendengkus sebal. Ia ingin sekali melempar Diyas yang satu tipe dengan Ether dari atas gedung pencakar langit di Jakarta, lalu tertawa sepuasnya.

Nyebelin deh. Kenapa sih, di dunia ini ada manusia kutub es. Benci gue!

"Ih, lo pada tuh ngapain sih?!!!!" sambil mengunyah roti bakarnya, Riana memaki pada Gading dan Brian yang dengan cerdasnya malah menyusun makaroni di atas wadah sambal.

"Eh, Yan, kasih lagi toh. Kurang ini!" perintah Gading pada Brian.

"Iya, iya, sabar kek. Eh, makaroninya abis, Ding," Brian celingukan mencari jajanan makaroni di mejanya.

"Lah, terus gimana?!!" Gading heboh.

"Bentar, bentar, gue ambil dulu di meja lain," Brian pun bangkit dari kursinya, kemudian menjalankan aksi mengais makaroni.

"Rianaaaaaa..." Gading memanggil Riana selepas Brian pergi.

"Apa?!" balas Riana ketus.

"Beli gula, beli kuaci, Riana, kok galak banget sih?"

"Beli nasi, makannya di garami, eh cumi, gue benci!" Riana pun bangkit dari kursinya. Kemudian berlalu meninggalkan Gading dengan teganya.

"EH, RIANA! LO MAU KE MANA? JANGAN TINGGALKAN AKUUUU, KU MOHON KEPADAMU!!!"

···

Bel pulang sekolah berbunyi. Riana melangkah dengan santai seperti biasanya. Ia tidak suka buru-buru, kecuali ada sesuatu yang mendesaknya buru-buru.

Saat ia hendak menuruni tangga, tiba-tiba seseorang menarik tangannya, membuat tubuh Riana terikut.

"Evan?" Riana membelalakkan mata saat melihat Evan sudah berdiri di depannya. Cowok itu menyudutkan Riana di tembok dan menguncinya dengan kedua lengannya.

"Evan, lo mau ngapain sih? Lepasin gue!" Riana berusaha meronta, namun lengan Evan terlalu kuat mengunci tubuhnya.

"Gue udah bilang sama lo. Gue nggak akan segan-segan celakain lo, kalo lo nggak mau kasih nomor Ether!" Evan menekan.

"Eh, i...iya, iya, gue kasih nomornya." Riana akhirnya mengalah pasrah, saat Evan hendak mencekik lehernya.

"Gue udah kirim ke nomor lo. Pliss lepasin gue, Van." Pintanya.

Evan pun mengambil ponselnya. Ternyata Riana tidak berbohong, oleh karena itu ia pun melepaskan tangannya kanannya dari leher Riana.

"Oke. Gue lepasin lo. Lo boleh pergi sekarang!"

···

Evan masih berada di lapangan. Ia ingin menelpon Ether terlebih dahulu, baru setelahnya ia pulang. Evan geram, napasnya memburu saat teleponnya tak kunjung diangkat oleh gadis pujaan hatinya itu.

"Halo. Ini siapa?"

"Gue tunggu lo pulang. Gue akan dapetin hati lo. Lihat aja nanti."

Tut tut tut. Sambungan Evan matikan. Ia tersenyum picik. "Lihat aja nanti, gue akan buat kalian saling membenci satu sama lain!"

···

Nyusun jalan, jemur teri
Evan, kamu kok jahat si?
He he.

Vote and komen ya. See you next part gaess:)

#dirumahaja

My Cool Girl (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang