22

31.2K 1.6K 12
                                    

*Happy Reading*

Dadanya terasa hangat melihat suaminya ada di sampingnya memeluk ia erat. Seolah takut kehilangan dirinya.

“Aku tahu aku tampan,” gumam Levin membuat Nami tersenyum tipis.

“Bagaimana bisa kamu datang ke sini?” tanya Nami. Kedatangan Levin menjadi tanda tanya besar untuknya.

“Bersyukurlah aku datang tepat waktu. Semalam kamu membuatku kalang kabut. Apa yang terjadi padamu?” tanya Levin kepada Nami.

Nami bungkam. Ia tidak akan memberitahu Levin yang sebenarnya. Takut suaminya khawatir.

“Tidak ada yang terjadi semalam.” Levin menatap Nami tajam. Yang benar saja tidak ada terjadi sesuatu? Rumahnya kacau dan Nami terluka.

“Kamu menyembunyikannya, Sayang. Aku tetap tahu, semua perbuatan Heize,” batin Levin.

“Eumm aku ingin sekali makan ayam bakar,” ujar Nami tiba-tiba.

“Aku akan membelikan untukmu, Baby,” ujar Lvin dan mencium bibir Nami singkat. Ia bangkit dan meraih handuk.

“Aku mandi dulu,” ujarnya dan melengos ke kamar mandi. Nami memegang jantungnya yang berdetak tidak karuan.

“Hufghhh selalu saja dia menjadi alasan debar jantungku tidak normal,” gumam Nami. Ia menyingkap selimut.

Dia ke cermin dan menatap pantulan dirinya. Terlihat kacau, wajahnya pucat. Matanya terlihat bengkak. Pasti gara-gara semalam ia menangis.

Nami begitu lama memandangi dirinya sampai tidak sadar Levin selesai mandi. Ia tersentak kecil saat Levin memeluknya dari belakang.

Levin tidak pernah bosan mencium Nami. Harum Nami menjadi candu untuknya. Ia selalu ingin dan ingin mendekap tubuh ringkih istrinya.

“Apa yang sedang kamu lamunkan, hum?” tanya Levin. Nami memiringkan wajahnya dan menatap suaminya.

“Aku terlihat jelek sekali,” ujarnya cemberut.
“Di mataku, kamu selalu terlihat cantik dalam keadaan apa pun,” ujarnya tulus.

“Hihihihi, kamu sudah pintar mengombal Tuan Posesif,” ujar Nami cekikan.

Levin ingin menjahili istrinya, tetapi Nami maah berlari ke kamar mandi. Terdengar muntah.

“Hoek ... hoek ....” Levin menatap khawatir istrinya. Ia memijat tengkuk Nami.

“Sebaiknya kita ke rumah sakit, Baby,” ujar Levin. Nami menggelengkan kepalanya. Levin tetap bersih keras.

“Jangan membantahku.” Nami dibopong ke mobil. Wajahnya kian memucat.

“Apa yang harus aku lakukan. Tuhan, kenapa kamu tidak mengabulkan pintaku?” batin Nami. Pipinya basah akibat air matanya.

Ia terisak. Impiannya akan hancur saat Levin tahu segalanya.

***
Levin POV

Aku tiba di rumah sakit. Membopong istriku ke dalam. Sampai perawat datang dan membawa istriku dengan bangkas.

Bagai pukulan telat. Rasa khawatirku seperti menohok tepat di ulu hatiku.

Nami sudah menjalani hidup sebatang kara. Sepeda bututnya menemaninya dalam mencari sesuap nasi. Lalu, kenapa ia harus mengalami ini semua?

“Istri Anda hamil, tetapi kami sangat meminta maaf. Istri Anda harus mendapat pendonoran ginjal. Kondisinya akan semakin kronis, apalagi ia tengah mengandung.”

Kata-kata itu terekam dengan jelas di ingatanku. Nami menderita gagal ginjal kronis.

“Levin,” lirihnya saat sudah sadar.

“Sayang,” lirihku menatap sedu istriku. Malangnya wanita polos ini.

“Jangan menatapku dengan tatapan seperti itu,” lirihnya. Ternyata ia tahu dirinya sakit.

“Kenapa kamu tidak pernah mengatakan padaku?” tanyaku sedih.

“Aku tidak mau membuatmu khawatir,” ujarnya.

Aku mengusap kepalanya. Aku sangat mencintainya. Dia wanita pertama yang membuatku mau mengenal cinta.

“Kamu hamil,” ujarku dan memaksa tersenyum. Bukan tidak bahagia mendengarnya hamil, tetapi rasa sakit mengetahui dia sakit parah membuatku tidak bisa lepas tersenyum.

“Aku bahagia,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

“Aku juga bahagia. Kita akan memiliki seorang anak. Aku mohon kepadamu bertahan sampai aku menemukan pendonoran yang cocok untukmu. Aku akan menemukannya,” ujarku membuat ia mengangguk.
Aku mengalihkan pembicaraan. Biar bagaimana pun dia tidak boleh stres dan banyak pikiran.

“Kita pulang saja ke Seoul,” ujarku. Dia menatapku dalam.

“Mommy dan Daddymu tidak menyukaiku,” resahnya. Aku menikah dengan Heize pun karena Daddy mengancam akan membunuh Nami.

Ancaman Daddy tidak main-main. Namun, aku tidak bisa jauh dari Nami. Dia di sini saja pun di lukai.

“Jangan pedulikan mereka yang tidak menyukaimu. Ada aku yang menyukaimu,” ujarku.

“Baiklah. Lalu, mana ikan bakar yang aku minta?” tanyanya. Dia mengingat ayam bakar.

“Sepertinya anak Daddy ingin makan ayam bakar,” ujarku sambil mengusap perutnya. Ia tertawa.

“Cepatlah, Daddy. Aku sangat ingin sampai rasanya mau ileran membayangkannya,” ujarnya dengan manja.

“Baiklah Bumil. Semua keinginan Nyonya Aldrick akan ia dapatkan,” candaku. Dia semakin tergelak.

Aku ikut tersenyum melihat ia tertawa di saat ia menderita. Kamu sangat kuat sayang.

***
Levin pergi membelikan Nami ayam bakar. Setelah kepergian Levin, Nami terisak.

“Hiks ... hiks ... apa benar semua keinginanku bisa aku dapatkan? Hikss ... hikss ... jika benar bisa, aku ingin hidup bahagia bersama suami dan anakku,” isaknya.

Berat rasanya hidup yang ia jalani. Akan tetapi, siapa yang peduli padanya? Hanya Rea yang peduli sebelum kedatangan Levin.

Rea juga punya kehidupan yang sibuk. Walau gadis itu sangat menyayanginya seperti saudara. Namun, Nami tahu Rea harus tetap bekerja.

Ia mengusap air matanya saat pintu berdecit. Senyum yang sangat Nami puja terpatri di bibir suaminya.

“Heummm ... mencium baunya saja sudah membuatku ingin makan,” ujar Nami semangat. Berbohong soal rasa tak apa, kan? Ia tidak ingin membuat suaminya khawatir.

“Tunggu,” ujar Levin membuka pembungkus makanannya, “aaa ....” Levin menyuapi Nami.

“Apakah anak kita sangat menyukai ayam bakar?” tanya Nami polos.

“Tentu, Baby. Dia menginginkan ayam bakar dan dia pasti menyukainya.” Levin kembali menyuapi Nami.

Seseorang menyeringai melihat Nami dan Levin di kaca pintu. Seringainya muncul. Dia di rumah sakit yang sama dengan Nami dan Levin.

“Aku akan melakukan sesuatu.” Dia pergi.

TBC

Posesif Bos! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang