26

26.2K 1.4K 16
                                    

Nami mengikuti segala saran dokter Tio, karenanya itu juga Dokter Tio lega. Ia sedikit tenang jika Nami ternyata penurut.

Setiap ia masuk ke ruangan Nami dan Melihat Levin begitu romantis kepada Nami, ia merasa kesal. Berapa kali ia merenungi tentang kehidupan Heize, ia tidak bisa menyalahkan pria itu juga.

"Selamat pagi, Nami," sapanya.

"Pagi, Dok."

"Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Dokter Tio. Ia diberi ruang Levin mendekat.

"Sudah baikan, Dok." Nami tersenyum lebar.

Ia tidak menyangka setelah hampir putus asa, ternyata ia merasa tubuhnya yang lemah menjadi baik. Dokter Tio memeriksanya dan memgangguk.

"Kita akan memantau selama 2 hari lagi. Jika, kondisimu sudah lebih baik lagi maka kamu boleh pulang," ujar Dokter Tio.

Levin dan Nami melempar senyum bersama. Mereka tidak sabar untuk pulang.

Dokter Tio menjelaskan juga kehamilan Nami sudah lebih kuat. Semua terasa mimpi bagi Nami. Ia tidak menyangka bisa sampai di sini setelah melalui banyak hal.

"Kalau begitu, saya permisi dulu," ujar Dokter Tio.

"Baik, Dok. Terima kasih," ujarnya.

***

Nami merasa jenuh dan bosan setelah Levin pergi karena urusan penting. Ia meminta suster agar membantunya keluar dari ruangannya.

Nami menatap sekitar rumah sakit. Ia tidak sengaja melihat dokter Tio bersama Rea. Dahi Nami menyerit.

"Apa Rea kenal dekat dengan Dokter Tio?" gumamnya.

Karena rasa penasaran Nami mengikuti Dokter Tio dan Rea. Ia semakin dilanda rasa bingung saat melihat Rea masuk ke dalam sebuah ruangan.

"Siapa yang sakit?" gumam Nami didengar suster yang menemaninya.

"Seorang dokter, ia baru saja menjalani operasi. Kondisinya belum stabil bukan karena operasinya, tetapi luka memar begitu banyak ditubuhnya, ditambah juga ia mengalami stres berat," sahut Suster.

Nami menoleh. Ia tertarik mendengarnya. "Apa karena memar di tubuhnya ia dioperasi?" tanyanya.

"Bukan, aku mendengar jika Dokter Tio melakukan operasi kepadanya bukan karena memarnya, justru ia harusnya istirahat dan tidak menjalani operasi, tetapi ia ingin menolong orang. Dengar-dengar ia mendonorkan ginjalnya."

Deg.

Nami merasa jantungnya berdebar. Ia meminta agar suster menuntunnya ke sana untuk melihat. Mata Nami berkaca-kaca saat melihat seorang wanita duduk di bangkarnua dengan wajah pucat tersenyum lebar.

Ia meremas jantungnya dengan kuat. Air mata tak mampu ia tahan lagi. Begitu banyak berdesakan keluar saat tahu kenyataannya.

Nami berbalik, tetapi ia dilihat oleh Rea. "Nami," gumam Rea didengar Dokter Tio dan Heize.

"Dia--" Heize meminta agar Dokter Tio segera memanggil Nami. Dengan cepat Dokter Tio keluar dan menahan Nami.

"Kenapa Dokter diam saja? Dokter tahu segalanya tentang aku dan dia," ujar Nami kecewa dan sedih.

"Nami-ah, semua saya lakukan demi kebaikan bersama," ujar Dokter Tio.

Nami hanya berbalik dan meneruskan langkahnya. Ia kembali ke ruangannya dan menangis.

Ia tidak menyangka Heize baik kepadanya dan memar itu? Ia tak berani membayangkan jika itu perbuatan suaminya sendiri yang salah paham terhadap Heize.

Tok-tok!

Nami menatap pintu ruangannya sampai muncul Heize didorong Rea. Melihat Heize tersenyum kepadanya ia merasa wanita di depannya sangat kuat.

"Aku akan meninggalkan kalian berdua. Aku mohon bicaralah, Nami," ujar Rea.

Ia meninggalkannya. Membua Heize menggenggam tangan Nami. Wanita itu tetap mempertahankan senyumannya.

"Aku tahu kamu pasti terkejut dengan kenyataan, Nami. Namun, aku tetap salah padamu," ujarnya membuat Nami menggeleng dan terisak.

"Kamu wanita polos yang dikirim Tuhan untuk Levin. Aku memang mencintai Levin, tetapi Levin bukanlah takdir yang Tuhan gariskan untukku," ujar Heize mengingat wajah pria yang dicintainya itu.

Nami hanya bisa mengeluarkan isak tangisnya. Yang paling ia sesalkan, di sini ia tertawa bersama Levin sedangkan Nami menderita.

"Harus bagaimana aku bisa membalasmu? Dan kenapa kamu terus menyembunyikan kenyataannya pada Levin?" tanya Nami.

Pandangan Heize menerawang. Ia sebenarnya sangat merasa hatinya retak. Mencoba ikhlas untuk melepas cinta yang telah lama tak semudah mengatakannya. Namun, ia yakin Tuhan akan mengirimnya seseorang.

Heize menggelengkan kepalanya. Ia menunduk saat merasa matanya memanas. Ia tak mau lemah di depan Nami. Namun, Nami tahu kesakitan yang dirasa Heize.

"Kamu tak perlu pergi. Aku rela kita bertiga hidup bersama," ujar Nami membuat Heize mengangkat wajahnya.

Heize sudah merasa cukup. Ya, cukup dengan ucapan Nami yang ikhlas berbagi dengannya.

"Aku tidak bisa, Nami. Jika kamu ingin membalas semuanya. Tolong ... bahagiakan dia untukku dan teruslah di sisinya," ujarnya.

Levin yang berada di depan pintu tertegun lama mendengar semuanya. Awalnya ia ingin masuk dan marah. Ia ingin menyeret wanita itu.

"Apa dia Heize kecil yang dulu?" batin Levin.

"Katakan jika aku merebut Levin darimu?" tanya Nami.

Heize tertawa kecil yang begitu tulus di depan Nami. Ia menyeka air mata Nami.

"Kamu tidak merebutnya. Hatinya memang sudah bukan untukku lagi. Levin begitu menyebalkan sejak kecil. Dan, dia tidak pernah mengingatku. Aku hanya tak bisa menyangka jika besar begini, ia sangat tampan," ujar Heize.

Akhirnya ia menceritakan secara singkat kepada Nami yang tentu didengar Levin juga.

Levin meremas kantong plastik miliknya. Ia segera masuk membuat Nami dan Heize kaget. Heize sudah memasang wajah dinginnya.

Ia menatap Nami dan memejamkan mata memberinya kode. Ia tersenyum sinis saat Levin menatapnya.

"Ternyata kau di sini. Aku tidak betah berada di ruangan wanita sia--"

Dugh!

"Aw!"

Heize meringis saat Levin menjetikkan tangan ke jidatnya. Ia sudah bersiap protes dan berakting.

"Mana yang sakit?" tanya Levin.

"Dengar! Aku tidak menyakiti istrimu!" teriak Heize. Ia mulai cerocoas membuat Levin berjongkok di depannya.

"Aku bertanya padamu," ujarnya mengelus pipi Heize.

Heize bergerak kaku dan menatap Nami yang melempar senyum ke arahnya. Ia tidak menyangka Levin bisa melembut kepadanya.

"Kenapa juga kamu sembunyi? Apa kamu senang aku tidak bisa mengenalmu?" tanya Levin membuat Heize menghela napas.

"Aku tidak ada urusan lagi denganmu dan aku akan pergi sekarang!" teriakan Heize membuat Levin menggerutu.

"Dokter Tio!" Dokter Tio masuk dengan wajah datar membuat Heize meneguk ludahnya.

"Kurasa pasienmu telah lupa nasihatmu agar banyak istirahat?" Levin menatap Nami dan Heize. Kedua gadis itu tidak bisa menghindari tatapan Dokter Tio.

"Kurasa mereka harus diberikan suntik tidur," candanya membuat Heize dan Nami merengut.

"Awas! Coba saja kau akan tahu akibatnya!"

"Dasar galak," cibir Levin.

***

TBC

Posesif Bos! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang