2

84K 5.5K 77
                                    

Langit mulai tampak kemerah-merahan. Seorang gadis menggeliat pelan. Kelopak matanya terbuka.

Dia memerhatikan saksama ruangan yang ia tempati. Terkejut saat menyadari ia berada di ruangan Pak Levin.

Bahkan ia tak sempat mengumpulkan nyawanya saking panik. Tubuhnya hampir oleh jika saja Levin tidak menahan tubuhnya.

"Akh!" Dia menarik dirinya cepat dan menunduk.

"Maaf, Pak," ujarnya meringis.

"Hm." Levin berdehem. Ia merasa lucu dengan sikap Nami, tetapi ia tidak mau menampilkan di hadapan Nami.

"Duduk," ujarnya tegas. Nami kembali duduk. Ia menatap Levin dengan mata sayunya sehabis tidur.

"Ah, tidak ada seorang wanita berani menatapku setenang itu," batin Levin.

Tentang kehidupan Nami sudah Levin cari. Hanya dengan jentikan jari ia bisa mendapat apa yang ia inginkan.

"Saya ingin kamu menandatangi kontrak kerja saya," ujar Levin.

"Ko--kontrak kerja?" Nami sangat kebingunan. Dia sebelumnya hanya dihadapkan dengan gula dan berbagai varian minuman.

Lalu, tiba-tiba pria yang baru saja ia kenal itu memintanya menandatangi kontrak. Yang benar saja!

"Baca dan tanda tangani." Levin meletakkan kertas putih yang penuh perjanjian itu di atas meja. Dia sengaja meletakkannya sedikit kasar.

Nami sedikit tersentak kaget. Ia mengulurkan tangan mengambil dan membaca poin-poin yang tertera di sana.

Syarat itu semua menguntukan pihak pertama. Pria itu sungguh egois. Ini bahkan bukan disebut surat kontrak perjanjian. Hanya menguntunkan pihak pertama saja.

Nami menelan ludahnya dan menatap Levin. Ia menolak untuk menandatangi.

"Maaf, Pak. Saya memilih jadi OG di bawah saja," ujarnya.

"Saya tidak menerima penolakan," ujar Levin menekan katanya.

Perjanjian itu berisi di mana Nami harus selalu datang setiap Levin memanggilnya. Nami juga hanya melayani Levin dan tidak mengerjakan hal lainnya kecuali perintah Levin.

Nami juga harus ikut Levin jika ada tugas keluar negeri mau pun keluar kota. Harus datang ke apartemen Levin untuk membuatkan pria itu makan malam. Membereskan Apartemen Levin setiap hari.

Sebenarnya dia OG atau pembantunya Levin? Tentu gadis bermata coklat itu menolak.

"Lalu, bagaimana bisa saya melakukan pekerjaan itu? Bukankah Pak Levin punya Sekretaris, Pembantu dan Asisten?" tanya polos.

Levin tidak menduga pertanyaan itu meluncur dari bibir merah delima Nami. Pria penuh dengan ego dan gensi itu menjawab dengan ketus.

"Saya tidak meminta kamu bertanya. Tanda tangani saja atau kamu saya pecat!" ujar Levin.

Selalu saja mengancam.

Nami mengambil polpen dan menandatanginya. Setidaknya gaji yang ia dapat bertambah.

Setelah menandatangi, Levin mengambilnya cepat. Itu satu-satunya senjata yang bisa mengatur hidup Nami.

Gadis polos itu tidak tahu kini ia masuk dalam perangkat Levin. Nami pun tidak bisa memutuskan kontrak begitu saja kecuali Levin sendiri.

"Ini kartu Apartemen saya dan alamatnya. Datang malam ini dan buatkan makanan," ujar Levin sambil berdiri.

Nami mengangguk dan berjalan keluar. Suasana kantor mulai sepi. Ia ke Parkiran tempat sepedanya berada.

Nami mengambil sepedanya dan mulai melajukannya. Di lantai 10 seorang pria menatapnya dari jendela.

"Hanami," gumamnya.

***

Setelah mandi, Nami segera memakai bajunya. Ia akan ke Apartemen Levin.

Dia tergesa-gesa keluar karena masih mengingat. Pria itu tidak mau Nami telat sedetik pun atau ia akan mendapat hukuman darinya.

Ia mengunci pintunya dan mengambil sepedanya. Nami melajukannya dengan cepat. Hingga malam menemani ayunan kakinya yang meroda.

Tibalah dia di Apartemen yang.
menjulang tinggi. Nami berjalan ke sana dan menyapa satpam.

Segera ia memarkir sepedanya dan menuju ke kamar Levin. Tentu ia diantar oleh karyawan Levin.

"Terima kasih," ujar Nami.

Dia mengambil kartu Apartemen Levin. Dengan ragu ia menggeseknya dan terbuka.

Ia melangkah masuk dan tercengang melihat ruangan apartemen Levin. Megah, dan begitu mewah.

"Ini seperti Istana," gumamnya. Ia menyimpan tasnya di atas meja. Sepertinya Levin belum pulang.

Sejujurnya Nami kebingungan karena ruangan Levin luas sekali. Sampai ia menemukan dapur.

Untung saja, dapur pria itu terisi lengkap. Ia akan memasak untuk Levin. Makanan sederhana yang sering ia masak.

Nami tersenyum puas menatap hasil masakannya di atas meja. Ia berdecak puas. Di sisi lain seorang pria berdiri tak jauh darinya menatap Nami yang sejak tadi memasak.

"Ekhm," dehemnya.

"Pak Levin," ujar Nami. Ia tersenyum lebar. Levin mengontrol dirinya.

"Saya akan mandi dulu," ujar Levin. Ia meninggalkan Nami.

"Wajahnya selalu datar," ujar Nami. Ia tersenyum kecil. Tak pernah ada orang yang mau beramah-tamah kepadanya yang miskin.

Andaikan Nami tahu, Levin hanya berusaha keras menipis perasaan aneh dalam dirinya.

***


TBC


Jejaknya, Say 😌

Jangan lupa follow, ya.

Aretha Artha


Posesif Bos! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang