Zinza memasuki rumah di sebuah kawasan elit, rumah peninggalan abinya. Sepi dan kosong, hanya itu yang menggambarkan keadaan rumah besar tersebut. Tak ada lagi suara canda dan tawa, tidak ada suara yang membuat Zinza merasa nyaman di dalam rumah.
"Assalamu'alaikum." Salam Zinza.
Tidak ada yang menjawabnya, bolehkah Zinza berharap akan ada wanita paruh baya yang menjawab salamnya. Bolehkah Zinza berdoa untuk bisa kembali ke masa lalu, masa-masa Zinza merasa menjadi anak paling bahagia di dunia. Masa di mana saat Zinza pulang dengan seragam putih birunya dan uminya akan mengomel karena Zinza memeluk uminya dengan seragam penuh keringat, kemudian abinya akan membelanya. Zinza rindu masa itu.
Zinza memasuki kamarnya yang berada di lantai atas, mengganti pakaiannya dengan pakaian kerjanya. Padahal semua keperluan Zinza sudah terpenuhi dengan uang peninggalan dari abinya. Gadis itu menuruni tangga sambil memakai kaos kakinya.
"kamu ikut saya!!" ucap Adisti tanpa menatap Zinza. Apakah Zinza semenjijikan itu.
"Tapi saya harus bekerja." Ucap Zinza datar dan dingin seperti biasanya.
Adisti menarik Zinza kasar. "Tidak ada bantahan!"
***
Zinza menapakan kakinya di sebuah ballroom hotel, dengan tarikan kasar dari wanita yang dulu sempat ia panggil umi. Air mata Zinza terus turun, jilbab lebar yang biasa ia kenakan telah Adisti buang. Baju lebar yang tidak pernah membentuk lekuk tubuh gadis itu telah berganti dengan baju ketat. Gadis itu berlari sebisa mungkin ke tempat yang tidak terlihat orang-orang.
Di sisi lain, ada seseorang laki-laki dengan hoodie hijau sedang menerima telpon. "Iya lo kesini kan? Gue di sini sendirian anjay, pokoknya lo kesini! Gila aja gue gabung sama bapak-bapak, kalo gue diculik gimana?!"
"hiks tolong seseorang di sana hiks bantu saya hiks." suara itu membuat Zarhan yang tadinya sedang menelpon temannya menghentikan telponnya. "Udah dulu ya bro, jangan lupa kesini!" ucap Zarhan.
Zarhan mencari asal suara yang meminta tolong tadi, mata Zarhan terbelalak melihat seseorang yang dia kenal menunduk sambil berjongkok.
"balik badan, jangan liat! Tolong bantu gue, cari sesuatu yang bisa nutupin tubuh gue." Ucap Zinza.
Melihat kedatangan sahabatnya, Zahran membentangkan tangannya. "Ilyas, jan kesini!! Bantuin gue cariin sesuatu yang bisa nutupin kepala apapun itu buat jilbab, dan ini jaket lo gue pinjem dulu ya." Zarhan melepaskan jaket yang sedang Ilyas pakai tanpa persetujuan sang pemilik jaket.
Ilyas menaikkan sebelah alisnya. "oke, oke tunggu." Ilyas berlari mencari adiknya, pasti adiknya membawa jilbab lebih. Karena memang adiknya benar-benar labil dalam memilih jilbab.
"Nih jilbabnya."
Gadis itu berdiri setelah menerima jilbab itu. Mengangkat kepalanya yang semula tertunduk. "Makasih, nanti ini semua gue balikin." Ilyas terkejut ternyata orang yang baru dia tolong adalah orang yang tadi siang di sekolah.
"Maaf soal tadi siang ya." Ucap Zarhan. Zinza mengangguk.
Baru beberapa langkah Zinza berjalan Adisti menghampiri Zinza 'plak plak plak plak' tamparan beruntun itu mendarat di wajah Zinza. Wajah putih Zinza menjadi merah karena tamparan beruntun itu.
"ADISTI!!!" teriak seorang pria dari belakang Adisti. "Keterlaluan kamu!!! Zinza itu anak kandung kamu!! Mungkin syahrul di sana akan merasa menyesal telah menikahi kamu!! Jika dia masih ada di dunia dia pasti akan merasa sakit saat putri tersayangnya tersakiti oleh ibunya sendiri." Itu Haris, sahabat dari abinya.
Plis aku ngakak bagian syahrul, ga tau kenapa pas ulang baca malah ngakak dibagian ini. Semoga kalian tidak:) lanjut ke cerita
"Itu kalo Syahrul masih hidup Ris!! Gara-gara anak ini Syahrul mati!!" jawab Adisti yang tengah terisak.
"Zarhan antarkan Zinza pulang!!" Zarhan mengangguk sambil memberikan kode kepada Ilyas untuk ikut bersamanya.
"lo pernah nanya kan apa gue pernah diajarin sopan santun? Lo bisa liat sendiri kan gimana ibu gue?" Zinza tersenyum miris, sedangkan Zarhan semakin merasa bersalah.
"Berhenti depan pager item tinggi. Makasih udah nganterin gue, dan jaket lo sama jilbabnya nanti gue kembaliin. Maaf gue jadi ngerepotin, dan malah bikin lo jadi nganterin gue. Gue masuk dulu, Assalamu'alaikum." Zinza segera masuk kedalam rumahnya dan menumpahkan tangisnya yang dari tadi ia tahan.
"sumpah Yas, gue ngerasa bersalah banget. Di balik dingin dan kasarnya seseorang ada kerapuhan yang harus dia tutupin, ada kepiluan yang dia sembunyiin." Ilyas mengangguk.
"Dia itu kayak kaktus, berusaha bertahan dilahan yang tandus." Lanjut Zarhan.
"Kayanya lo jodoh Zar sama dia, lo ketemu dia terus. Dan di deket dia lo keliatan dewasa banget. Muka lo kalo gue perhatiin kayak mirip gitu. Beneran dah." Ucap Ilyas yang langsung mendapat pelototan Zarhan.
"Berarti lo merhatiin dia ya? Ah parah sih ketua rohis, zina mata bang!" ledek Zarhan, membuat Ilyas menjadi kikuk.
"Eh lagian lo kenapa engga ngasih hoodie lo ke dia Zar? Lo kan pake hoodie." Sedangkan yang ditanya hanya cengengesan tak jelas.
"Enggak kepikiran." Jawab Zarhan santai.
***
'brak' terdengar suara pintu yang dibuka dengan kencang. Mata Zinza yang baru terpejam itu langsung terbuka. Pasti itu uminya. Zinza buru-buru keluar kamar, menghampiri wanita yang pulang dalam keadaan mabuk. Air mata Zinza terus menetes saat Zinza membuka sepatu yang belum wanita lepas.
"Zinza kangen umi, Zinza pengen umi kembali lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Azinza [Selesai]
Spiritual"Percuma lo pake jilbab lebar, tapi suka bully orang! Enggak pernah diajarin sopan santun ya lo?!" "Gue pake jilbab bukan karena gue orang baik, gue berjilbab karena gue sayang abi! dan camkan ini mama gue emang enggak ngajarin sopan santun!!" Zin...