21. Berhenti Berharap

1.4K 172 6
                                    

Sudah dua minggu Zinza libur sekolah, bukan masalah betapa rindunya Zinza untuk belajar, bukan itu, tapi rasanya Zinza sudah bosan tidak melakukan kegiatan apapun. Zinza bersyukur kepada Allah untuk umminya yang telah berubah, tapi Zinza juga harus banyak bersabar karena umminya kembali over protektif kepada dirinya.

"Zinza jangan berdiri!! Diem di kursi roda aja bisa kan?! Gak usah ngeyel deh! Umi takut lukanya ngebuka lagi."

Zinza memutarkan matanya. "Umi Zinza itu udah sembuh, lagian kalo Zinza pake kursi roda gimana cara Zinza turun tangga?! Umi pengen liat Zinza ngegedubrag-gedubrag jatoh? Lagian Zinza juga udah bisa jalan."

"Kenapa gak manggil gue?! Gue kan ada. Sok kuat banget sih jadi orang." Kali ini ucapan Zarhan yang membuat Zinza mendengus kesal.

Zarhan memapah tubuh Zinza menuju meja makan. Zinza sudah memakai baju SMA Gema, gadis itu memaksa agar diperbolehkan masuk sekolah, dan setelah mendapat persetujuan Haris gadis itu langsung tersenyum puas.

Zinza menatap piring Zarhan yang terdapat rendang, nasi, dan banyak makanan kesukaan Zinza. Gadis itu kemudian beralih ke piringnya yang sudah habis, karena Adisti yang menyuapi Zinza. Zinza hanya memakan bubur tawar selama dua minggu ini, saat Adisti ke dapur Zinza langsung mencolek tubuh Zarhan.

"Mau dong, dikit aja, lo emang gak kasian liat gue dikasih makan bubur gak ada toping gitu."

Zarhan menatap datar Zinza, kemudian memperhatikan kesekeliling. "Buka mulutnya!" Zarhan menyendokan makanan itu ke mulut Zinza. "Jangan bilang-bilang umi ya!" Zinza mengangguk semangat.

"Apa yang jangan bilang-bilang umi? Hm?" Suara itu membuat Zinza dan Zarhan langsung terdiam.

Untung saja Haris datang saat makanan itu sudah masuk ke mulut Zinza. Membuat Zinza mengunyah sepelan mungkin agar tidak diketahui oleh pria di depannya.

"Oh iya pa, ngapain papa ke sini?" Tanya Zarhan mengalihkan pembicaraan tadi.

Haris mengangkat salah satu alisnya. "Kenapa? Gak boleh ya?"

"Boleh sih, cuma kan gak biasanya. Biasanya setiap sabtu minggu aja."

Mulut pria itu melengkung membentuk senyuman. "Papa mau ngajakin bolos. Ta--"

'Tok tok tok' suara ketukan pintu memotong pembicaraan ayah dan anak itu. Zarhan bangkit dari duduknya untuk membuka pintu.

Zarhan terkejut saat membuka pintu, bisa-bisanya ada jin cengengesan di luar pintu. Gio tersenyum lebar, sejak Zarhan tinggal di sini intensitas kedatangan makhluk gaib itu semakin sering.

Zarhan menatap sinis Gio. "Mau ngapain lo ke sini?! Awas aja numpang makan lagi!"

Gio menggeleng cepat. "Enggak kok, malah gue mau ngasih makanan buat calon makmum gue." Ucap Gio menunjukan kotak berisi makanan.

"Zinzanya belom boleh makan ginian ama umi. Buat gue berarti."

"Eh Gio, baru dateng? Masuk-masuk. Zarhan ini ya bukannya disuruh masuk temennya, malah diberhentiin di depan pintu." Ajak Adisti.

Zarhan memajukan bibirnya. "Umi anaknya di sini loh. Gak diajakin masuk juga?"

"Kamu kan tinggal masuk aja Zarhan, gak usah disuruh."

Gio langsung menyalimi Haris yang berhadapan dengan Zinza. Gadis itu meringis melihat hari ini orang itu datang lagi, bahkan setiap hari Gio selalu datang.

"Kita gak sekolah hari ini. Lo mendingan berangkat ke sekolah sekarang! Nanti kesiangan." Gio nangsung menoleh kepada Zarhan yang sedang berbicara.

"Bener om?" Tanya Gio memastikan.

Haris mengangguk. "Iya, om mau ngajak mereka ke peristirahatan terakhir sodara kembar mereka."

"Gio boleh ikut? Nanti Gio izin ke sekolah."

Haris mengangguk. "Ya sudah, sekarang mau langsung berangkat."

Zinza menatap Adisti, uminya tidak ikut. Zinza faham, mungkin ini akan mengingatkan Adisti kepada dua orang yang sudah meninggalkannya, saudara kembarnya dan abinya.

"Umi Zinza berangkat ya." Pamit Zinza kemudian menyalimi Adisti.

Di dalam mobil hanya perdebatan-perdebatan antara Gio dan Zarhan yang terdengar.

"Lo izin apa ke sekolah?"

"Sakit."

Zarhan berdecak. "Dosa lo ngeboongin guru! Doa juga itu."

"Jangan ngedoain gitu!"

Zinza fokus dengan headphone kesayangannya, dari pada mendengarkan perdebatan tidak jelas antara adiknya dengan Gio.

"Ayo udah sampai." Interupsi Haris, membuat Zinza mematikan musik di headphonenya.

Langkah mereka terhenti di depan makam kecil. Makam kecil itu terlihat bersih dan terawat.

Haris berjongkok dan diikuti oleh Zarhan dan Gio. Gio kemudian berdiri melihat Zinza masih berdiri.

"Pasti masih sakit ya kalo jongkok hm? Diri aja."

Setelah selesai berdoa Zinza menitihkan air matanya. Kematian memang tidak ada satupun orang yang mengetahui kapan datangnya, bahkan anak kecil sekalipun jika sudah waktunya ajal menjemput tidak ada yang bisa mengelak.

"Zinza." Panggil Haris.

"Dulu sebelum Ziya meninggal, papa sempat merencanakan perjodohan. Tapi takdir berkata lain, setelah perencanaan itu dan papa pulang, Ziya sudah kembali ke sang pencipta, kamu tidak ada, dan hanya ada Zarhan."

"Kamu tau Ilyas? Teman Zarhan? Dia yang akan dijodohkan dengan putri papa."

"Maaf om, sepertinya Gio mau kembali ke sekolah, belum terlambat. Permisi om, assalamualaikum."

Gio menjauh dari perbincangan mereka, lebih baik tidak mendengar bukan? Dari pada hati Gio sakit mendengar kelanjutan pembucaraan Haris. Gio tau apa yang selanjutnya akan terjadi jika orang tua Zinza sudah berbicara seperti tadi. Mungkin hanya cukup sampai di sini Gio berharap kepada manusia.










Azinza [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang