25. Seblak dan masa depan

1.9K 180 1
                                    

Zinza mengantri untuk membeli seblak. Zinza melirik handphonenya, yang menampilkan jam.

"Mamang cepetan dong! nanti keburu magrib."

Zinza berdecak, padahal dirinya telah menunggu lama. Tapi penjual seblak langganannya malah memberikan seblak kepada anak-anak sekolah itu, ini sedikit tidak adil.

"Sabar atuh neng. Kasian ini anak-anak sekolah mah, nanti pulang telat dimarahi  mamahnya di rumah. Mangkanya mang Asep kasih duluan."

Zinza memperhatikan antrian anak berseragam putih abu-abu itu. Antriannya lumayan panjang, entah sampai kapan Zinza harus menunggu.

"ZINZA!!" Teriak seseorang yang membuat Zinza menoleh.

Seorang wanita hamil berlari menghampirinya. Zinza meringis melihat pemandangan di depannya.

"Jangan lari-lari gitu yang." Peringat pria di samping wanita hamil itu.

Zinza menyunggingkan senyumnya. "Lisa? Ngapain di sini?"

"Gue mau liat bayinya Syifa. Tapi tiba-tiba gue pengen seblak hehe."

Zinza mengangguk, kemudian melihat ke arah antrian yang tinggal dua orang lagi. Sepertinya kali ini Zinza juga harus mengalah, ia tidak tega jika nanti anak dari sahabatnya ileran.

"Mang Asep, temen saya dulu aja mang. Saya belakangan aja." Ujar Zinza.

"Btw lo berapa bulan Lis? Jangan sering lari-larian kaya tadi, bahaya."

Wanita hamil itu tersenyum. "Tujuh bulan, iya abisnya gue kangen sama lo."

"Saya juga sudah melarang. Tapi dia benar-benar sulit diberitahu." Pria berwajah datar di sebelah Lisa ikut menimpali.

"Neng level berapa?" Tanya mang Asep.

Zinza menoleh ke arah Lisa. "Level berapa Lis?"

"Jangan pedes pak! Jangan pake sambel." Bukannya Lisa yang menjawab, Sean suaminya Lisa yang malah menjawabnya. Lisa menatap tajam Sean, tapi laki-laki itu dengan santainya duduk di kursi plastik mang Asep.

"Aneh banget sih! Masa seblak aku gak boleh pedes! Kamu jahat yang!"

"Jangan pedes-pedes sayang, self harm." Jawab pria di samping Lisa.

"Duduk!" Lisa yang mendengar perintah suaminya itu langsung duduk tanpa membantah.

Zinza terkekeh, lucu sekali pasangan di depannya. Pikirannya menerawang, memikirkan jika mungkin nanti Zinza juga akan bisa seperti teman-temannya. Bukan tidak mau Zinza menikah seperti temannya yang lain, hanya saja mungkin belum waktunya Allah mendatangkan jodoh untuk Zinza.

Tepukan di bahu Zinza membuat wanita itu tersadar. Lisa memasang ekspresi kesal.

"Lo kok gue panggil-panggil malah ngelamun sih! Jahat!" Wanita hamil itu langsung meneteskan air matanya.

Zinza gelagapan. Bagaimana bisa sahabatnya yang biasanya dewasa berubah jadi cengeng. Zinza menggaruk dahinya.

"Neng ini seblaknya, jadi lima belas ribu ya."

"Yeay! Seblaknya selesai!" Ucap wanita hamil itu kegirangan.

"Kami duluan ya mba, Lisa memang menjadi sedikit cengeng semenjak hamil. Mari." Pamit Sean, menggandeng Lisa.

"Zinza nanti chat gue! Awas kalo gak ngechat!" Teriak Lisa dari mobil.

Zinza menggelengkan kepalanya. Dasar ibu hamil, suasana hatinya cepat sekali berubah.

"Neng seblaknya udah selesai."

Zinza menerima seblak, kemudian mengeluarkan uang untuk membayar makanan itu. Setelah mengucapkan terima kasih, Zinza berjalan pulang.

Zinza menghela nafas, rasanya sudah lama Zinza tidak berjalan santai di trotoar. Banyak anak sekolah yang juga berjalan di trotoar, sistem sekolah yang menerapkan full day school membuat para anak berseragam SMA itu pulang sesore ini.

***

Masih ada mobil Zarhan di depan rumah, berarti pemiliknya juga belum pulang. Zinza berdoa semoga saja Zarhan sudah lupa masalah taaruf tadi.

Zinza masuk ke rumah, hening, mungkinkah mereka di culik atau ada perampokan? Zinza mengambil mangkuk, kemudian memindahkan seblak yang tadi ia beli ke mangkuk.

'Krit'

Zinza menoleh kepada seseorang yang menarik kursi di sebelahnya. Zinza langsung terbatuk kaget.

"Uhuk uhuk ambilin gue minum!! Zarhan!! Cepetan!! Cabenya masuk ke idung!! Uhuk." Pria itu langsung bergegas mengambilkan Zinza minum.

"Nih! Mangkanya cari suami, supaya kalo keselek ada yang ngambilin aer!"

Zinza menatap tajam Zarhan, tapi tak urung menerima air yang adiknya ambilkan. Zinza memutarkan matanya, Zarhan pikir suaminya pembantu, sampai-sampai mengambilkan air segala.

"Gue gak bilang suami lo pembantu ya. Gue cuma gak tega sama lo yang jomblo, gak ada yang merhatiin."

"Udah berapa orang yang mau dijodohin lo tolak? Udah berapa orang yang mau ngelamar lo tolak? Udah berapa orang yang mau taaruf lo tolak? Sebenernya lo nungguin siapa? Nyari yang kaya gimana?? Inget ya Kak! Di dunia ini gak ada yang sempurna, Allah maha membolak balikan hati! Kalo sekarang lo gak suka, bisa aja nanti lo cinta. Sekarang terserah deh, capek gue nasehatin lo." Ucap Zarhan.

Ucapan Zarhan benar-benar menohok. Rasanya seblak juga tidak lagi menarik setelah mendengar ucapan Zarhan, harus kah Zinza memakan odading yang sudah tidak viral itu? Agar Zinza kembali kuat dan seperti ironmen untuk mendengarkan ucapan adiknya.

Zinza menghela nafas panjang. "Gue bakalan nikah sama orang yang langsung ke rumah ngajak nikah. Bukan ta'arufan yang sekarang banyak di jadiin kedok buat berbuat zina. Datengin Papa sama Umi ke rumah." Jawab Zinza, meninggalkan Zarhan yang masih terduduk di kursi, dan meninggalkan seblak yang tersisa sedikit.

"Kalo gitu, gue ada calonnya. Besok juga gue suruh datemg ke rumah." Balas Zarhan berteriak.

"Mungkin ini sambungan dari sekenario hidup gue. Gue harap, nama seseorang di hati gue bakalan pudar dan hilang dengan seiring berjalannya kehidupan gue. Karena gue gak bisa gini terus."

Azinza [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang