18. Darah

1.4K 174 5
                                    

Zinza sudah berkali-kali mencoba untuk fokus, tapi sangat sulit. Entah mengapa perkataan Haris kemarin membuat dirinya terus memikirkannya. Bahkan di sekolah Zinza tidak mengerjakan tugas satupun yang guru berikan, otaknya seakan mengajak Zinza untuk memikirkan dan mengulang kejadian kemarin.

"Calon makmum kenapa sih? Sakit? Kalo sakit gak usah kerja." Zinza menoleh ke arah Gio, cowok yang masih memakai seragam SMA Gema itu bahkan rela menggantikan pekerjaan Zinza untuk mengantarkan makanan ke meja-meja pelanggan.

Zinza menggeleng. "Lo gak usah! Biar gue aja."

Gio menggaruk rambutnya. "Apanya yang gak usah calon makmum?"

"Iya kalo sekong gak usah kerja. Langsung deh Gio capcus anterin diana pulang!"

Gio langsung menjauh dari Gino yang baru datang. Walaupun kesal pada Gino yang sok perduli pada Zinza, tapi rasa takut pada laki-laki melambai itu memang tidak bisa dipungkiri.

"Lo balik gih mending! Kasian nanti orang tua lo nyariin." Perintah Zinza.

Gio datang ke cafe ini dari sehabis magrib, sepulang dari bundanya. Bukannya langsung pulang, Gio malah berlama-lama di cafe ini.

"Kak Gino, gue sholat isya dulu, nanti kalo kak Gino sholat gantian sama yang laen aja ya."

Gio masih mengikuti Zinza yang akan shalat bersama salah satu karyawati yang bekerja di cafe ini juga.

"Mau kemana?" Mata Zinza menatap tajam Gio.

Gio menunjukan cengirannya. "Mau ikut sholat juga lah, boleh kan?"

Zinza mengangguk, membiarkan Gio wudhu terlebih dahulu. Di mushala khusus karyawan itu memang tidak terlalu luas, tapi cukup untuk menampung karyawan jika menunaikan ibadah secara bergantian.

Zinza telah memakai mukenanya. "Gio lo bisa jadi imam kan?" Tanya Zinza.

Gio memngangguk antusias. "Mau kapan dihalalinnya? Gue bakalan berusaha jadi imam yang baik."

Zinza menyatukan alisnya. "Imam sholat!" Jelas Zinza.

Gio terkekeh. "Bercanda calon makmum, iya, iya, rapatkan safnya."

Setelah Gio mengumandangkan ikamah, mereka sholat dengan khusuk. Satu hal yang baru Zinza ketahui, suara merdu nan indah itu mampu menyihir orang yang mendengarkan untuk lebih khusuk dalam sholatnya.

Setelah melaksanakan sholat isya, Zinza langsung berpamitan dengan karyawan cafe untuk lebih awal. Ucapan Haris kemarin seperti masih betah berlama-lama bersarang di fikirannya, tidak baik juga jika Zinza melayani pelanggan dengan fikirannya yang tidak beres itu.

Suara motor di belakang Zinza membuat Zinza terhenti dan menatap tajam sang pengendara. Padahal sudah Zinza bilang agar Gio pulang duluan saja, tapi cowok itu sangat resek dan keras kepala.

"Emang lo mau naik apa? Ojek online? Emang lo yakin abang ojolnya itu orang baik-baik? Naik taxi online? Gak takut gitu diapa-apain? Kan tertutup, lo minta tolong pun gak bakalan tau orang-orang, atau angkot? Sepi loh angkotnya serem, kalo diturunin di jalan gimana?" Ucap Gio panjang lebar.

Otak Zinza langsung menjelajah dan membayangkan ucapan Gio. Zinza menelan saliva kasar, bagaimana jika yang dikatakan Gio benar-benar terjadi.

Gio tersenyum senang berhasil mempengaruhi Zinza. "Gimana?" Tanya cowok itu.

Zinza mengangguk pasrah. Untuk saja Gio tipe cowok yang lebih nyaman menggunakan motor matic dibanding motor sport seperti kebanyakan remaja lain. Gadis itu menyimpan tasnya di tengah-tengah antara mereka, padahal tas Gio sudah cukup tebal untuk pembatas mereka.

***

Sesampainya di depan pagar hitam depan rumahnya Zinza langsung berlari ke arah wanita yang seperti sedang ketakutan. Zinza langsung menampar pria di hadapan Adisti.

"Apa mau anda?! Saya tidak mengenali anda, sebaiknya anda pergi sebelum saya buat wajah anda hancur." Ancaman Zinza membuat pria itu terkekeh mengusap pipinya yang kemungkinan membiru.

Pria itu menyeringai tajam. "Oh... jadi memang wajah Adisti itu ada dua ya? Saya kira, siang tobat malam menjadi j*lang."

'Plak'

Tamparan Zinza lagi-lagi membaut pria itu terkekeh. Zinza menahan amarahnya, wajah gadis itu sudah merah padam.

"Sekarang Adisti si pel*cur itu sudah memakai jilbab? Ada kemajuan untuk seorang j*lang. Apa kamu juga ingin menjadi j*lang seperti ibumu? Hm?" Ucapan pria yang tidak Zinza kenali membuat Zinza sontak menoleh ke arah Adisti. Benar, Adisti mengenakan jibab, walaupun itu pashmina tipis yang sering Zinza gunakan jika berada di kamar saja.

'Plak'

Tamparan kali ini bukan dari Zinza tapi Adisti. "Berhenti mengeluarkan kata-kata hewan anda tuan Andre yang terhormat!"

Pria itu mengangkat salah satu alisnya. "Kenapa?"

Pria bernama Andre itu mengeluarkan pisau dari sakunya, dengan cepat pisau itu telah menusuk Zinza. Adisti menggeleng saat Andre mendekat padanya. Pria berumur dua puluh lima tahun itu seperti memiliki dendam, pria itu tersenyum menunjukan pisau berlumur darah kepada Adisti.

'Bruk' Andre langsung tersungkur saat mendapat pukulan dari seseorang di belakangnya.

Belum sempat pria itu bangkit, pukulan bertubi-tubi langsung ia dapatkan lagi. Pria itu sudah tidak berdaya setelah mendapatkan pukulan dari Zarhan.

"Zarhan! Stop! Kita harus bawa Zinza ke rumah sakit!" Seruan dari Gio membuat Zarhan tersadar.

Laki-laki itu menggendong Zinza ke mobilnya dengan Gio yang mengendarai. Adisti juga ikut, wanita itu terus terisak melihat putrinya yang bersimbah darah.

Tangan Zinza yang berlumur darah itu menepuk pipi Zarhan. "Gue aja kuat. Lo adek gue. Gak boleh nangis. Cengeng."

Azinza [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang