Zinza memasuki rumahnya, mata Zinza langsung menyelidik pemandangan yang ia lihat. Tidak biasanya wanita paruh baya itu sudah ada di rumah jam sembilan seperti ini.
Ada rasa senang dan tidak percaya jika wanita di depannya yang sedang asik menonton tv sambil memakan camilan di toples itu adalah Adisti. Adisti yang tersadar ditatap seperti itu oleh Zinza langsung bergegas ke kamarnya.
Zinza menghembuskan nafas panjang. Gadis itu juga langsung bergegas ke kamarnya di lantai atas untuk mengganti pakaian.
Setelah memakai piama kuning dengan jilbab instan berwarna hitam, Zinza langsung turun ke dapur. Rasanya perut Zinza sudah meminta untuk diisi. Masakan Zinza tidak perlu diragukan, bahkan jika orang mencicipi makananya orang-orang pasti akan ketagihan dan tidak akan tahan jika hanya mencicipinya.
'Tak tak tak tak'
Suara high heels yang beradu dengan lantai membuat Zinza menoleh ke asal suara itu. Zinza menghembuskan nafas lelah, Zinza pikir wanita itu akan berada di rumah, tapi dengan dandanan seperti itu Zinza yakin Adisti pasti tidak akan berada di rumah malam ini.
"Umi? Mau kemana? Pasti kesel ya liat wajah Zinza? Umi muak ya liat Zinza? Zinza enggak pengen umi kemana-mana malam ini, apalagi sampai mabuk dan bawa pria ke rumah. Umi sayang abi kan? Pesan terakhir abi waktu itu, aku harus nutup auratku. Kalo umi muak liat Zinza, biar Zinza aja yang keluar. Umi gak usah keluar." Ucapan itu menghentikan Adisti. Ucapan terpanjang Zinza setelah kejadian itu, siapa pun yang mendengarnya pasti akan ikut merasa sedih mendengar nada pilu itu.
Zinza berjalan melewati Adisti, kemudian berhenti sebentar. "Oh iya, Zinza udah masak umi. Umi cobain ya? Zinza cuma pengen umi cobain itu."
Zinza berjalan keluar perumahan itu, untungnya perumahan ini tidak banyak ibu-ibu penggosip, hanya banyak pekerja yang berangkat pagi pulang malam. Zinza memegang perutnya yang sudah berbunyi. Bodohnya Zinza, gadis itu bahkan lupa membawa dompet dan handphone.
Zinza bingung harus kemana dia melanjutkan jalan. Di jam seperti ini masih banyak kendaraan berlalu-lalang, tapi mungkin semakin malam jalanan ini akan sepi.
Zinza menerbitkan senyumnya saat melihat sebuah masjid. Zinza berjalan ke masjid yang masih terlihat ramai, yang mungkin sebelumnya ada acara di masjid itu.
Zinza duduk di depan masjid itu. Banyak gadis seusianya yang berpakaian syar'i dan berjilbab lebar keluar dari masjid.
"Hey lo lagi ngapain di sini?" Suara yang tidak asing itu membuat Zinza dengan cepat menoleh.
Zarhan, cowok dengan koko serta sarung itu berdiri di depan Zinza. Harusnya di sini yang bertanya adalah sebaliknya, kenapa Zarhan bisa ada di sini. Bahkan jarak masjid ini dengan rumah Zarhan sangat jauh.
"Lo mau di kasih ke kakek-kakek lagi?" Zinza langsung menggeleng cepat.
"Lo ngapain di sini?" Tanya Zinza.
Zarhan menggaruk belakang kepalanya. "Gue diancem sama bokap kalo belom sholat gak boleh balik ke rumah."
Zinza menaikan alisnya. "Jauh banget?"
"Di sini abis ada pengajian remaja, lumayan dapet nasi kotak." Zinza menggelengkan kepalanya, terlalu niat hanya untuk mendapatkan nasi kotak yang bahkan Zarhan pun bisa membeli makanan itu.
"Lo kenapa ada di sini? Jangan ngelak lagi kalo gue nanya!"
"Gapapa."
Zarhan menatap tajam Zinza. "Lo pikir gue idiot?"
"Lo ikut ke rumah! Gak ada alesan!"
Zinza hanya bisa menurut, jika membantah pun Zinza tidak bisa. Dan untuk kesekian kalinya Zinza merasa terus merepotkan Zarhan dan Haris.
***
Zinza berada di kamar tamu, kamar yang waktu itu Zinza tempati. Zinza keluar dari kamar itu, matanya belum mau terpejam, padahal jam sudah hampir menunjukan pukul sebelas malam.
Mata Zinza tertuju pada sebuah benda yang sangat ia rindukan. Tangan Zinza menyentuh benda itu.
'Klik'
Tubuh Zinza tersentak kaget saat saklar lampu dinyalakan. Seperti seorang pencuri yang tertangkap basah, tubuh gadis itu masih terdiam.
"Ini udah malem, kamu belum tidur?" Zinza menggeleng.
"Belum ngantuk om." Jawab Zinza.
Haris tersenyum tipis melihat tangan Zinza yang masih memegang benda itu.
"Kamu mau maenin gitarnya? Maenin aja."
"Orang-orang udah pada tidur, Zinza takut ganggu."
Haris mengangkat gitar itu. "Kita maenin ini di halaman belakang. Kaya dulu yang sering kita lakuin. Mau?"
Pikiran gadis itu melayang, mengingat dulu Haris sering datang malam-malam karena Zinza kecil ingin diajari bermain gitar. Umi sering tidak mengizinkan Zinza, karena udara malam tidak bagus untuknya. Kemudian abinya akan membawa Zinza keluar malam-malam secara sembunyi-sembunyi.
Zinza mengangguk. "Zinza mau."
Halaman belakang rumah Haris sangat indah, banyak lampu-lampu yang membuat halaman belakang itu tampak terang. Zinza duduk di kursi kayu kecil yang mengelilingi meja.
"Tunggu sebentar, om mau ambil gitar om dulu." Setelah berucap Haris langsung bergegas mengambil gitar miliknya.
Jari-jari mungil Zinza mulai memetik senar gitar itu. Sesekali mendengus kesal saat ada senar yang bernada sumbang, sehingga Zinza harus menyetem senar gitar itu.
Haris datang dengan gitarnya. Gitar yang sama seperti waktu itu.
"Lagu apa yang akan kita mainkan?"
Zinza berpikir sejenak. Zinza menggigit bibirnya, detik berikutnya gadis itu tersenyum.
"Lagunya Tulus, monokrom."
Haris mengangguk. "Boleh."
Jari-jari mereka mulai memetik senar gitar, bibir gadis itu tidak berhenti menerbitkan senyuman.
Entah mengapa lirik itu memang sangat pas untuk Zinza sekarang. Gadis itu menghembuskan nafasnya setelah lagu itu selesai.
"Kamu kangen sama abi kamu?" Pertanyaan Haris sontak membuat Zinza menoleh dengan cepat. Gadis itu mengangguk.
"Zinza kalau saya bilang kamu itu putri saya, kamu percaya?"
Zinza terkekeh pelan. "Itu yang sering om ucapin dulu, nama belakang saya memang Putri. Azinza Putri kan?"
"Bukan. Bukan itu yang saya maksud. Putri kandung saya, kamu putri kandung saya."
"MAKSUD PAPA APA?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Azinza [Selesai]
Spiritual"Percuma lo pake jilbab lebar, tapi suka bully orang! Enggak pernah diajarin sopan santun ya lo?!" "Gue pake jilbab bukan karena gue orang baik, gue berjilbab karena gue sayang abi! dan camkan ini mama gue emang enggak ngajarin sopan santun!!" Zin...