20. Saudara Kembar

1.5K 174 2
                                    

Setelah operasi selesai Zinza langsung dipindahkan ke ruang rawat inap. Gadis itu masih setia terbaring memejamkan matanya di atas brankar.

Gio tertidur di sofa yang berada di pojok ruangan itu, sedangkan Zarhan tertidur di kursi yang berada di samping berangkar. Dapat dipastikan mereka akan terbangun dengan pegal-pegal diseluruh tubuh.

Mata Zinza perlahan terbuka, yang dilihatnya pertama kali adalah langit-langit ruangan itu yang asing dipenglihatannya. Tapi saat gadis itu mencium bau obat, sudah dapat dipastikan bahwa dirinya sekarang berada di rumah sakit.

Zinza melihat Zarhan yang tertidur di samping berangkar. Wajah laki-laki itu masih ada bekas darah, Zinza masih ingat, itu darah dari tangannya yang sempat menyentuh wajah adiknya.

Adisti dan Haris juga tertidur di sofa panjang. Posisinya benar-benar saling berjauhan, membuat Zinza terkekeh pelan. Sudah dipastikan uminya sudah kembali menjadi uminya yang dulu.

Zinza mencoba bangkit perlahan. Gadis itu meringis saat berhasil duduk. Zinza ingin membersihkan darah yang berada di pipi Zarhan.

"OMAYGAD!!! YA ALLAH!!!" Teriakan seseorang yang baru masuk itu membuat orang-orang di ruangan itu terbangun, termasuk Adisti dan Haris.

Laki-laki yang baru masuk itu tersenyum sambil menggaruk rambutnya. "Maaf pak bos, tante, saya kira enggak ada bapak sama tante di sini. Abisnya saya kaget Zinza bisa duduk abis operasi gitu."

Ucapan Gino membuat mereka langsung tersadar. Semua mata langsung memperhatikan Zinza, membuat gadis itu terdiam.

"Darah di wajah Zarhan gara-gara aku. Bajunya juga jadi banyak darah dan itu gara-gara aku juga."

Entah sejak kapan gadis itu telah menyebut dirinya aku. Padahal jika bersama yang lebih tua pun Zinza biasanya menggunakan bahasa formalnya.

Haris berdecak. "Zarhan kamu cuci muka, bersihkan wajah kamu. Baju gantinya ada di dalam paper bag yang semalam papa bawa."

Gio memghadang jalan Gino yang akan masuk. Rupanya rasa cemburunya lebih besar dari rasa takutnya kepada bencong.

"Mau ngapain ke sini?" Sinis Gio.

"Mau ngembaliin mukena diana. Ini mukenanya kemaren ketinggalan di kafe, jadi eike kesindang nganterin mukena. Soalnya eike sempet ke rumah diana tapi kata tetangganya diana dibawa ke rumah sekong ini. Takutnya gak bisa sholat subuh kan, jadi eike nganterin mukenanya sebelum subuhan. Eh taunya eike liat diana udah bangun aja, yang jagainnya malah pada tidur." Jelas Gino dengan nada kemayunya.

Gio merebut mukena dari tangan Gino. Kemudian berbalik menuju brankar Zinza tapi gerakan laki-laki itu terhenti saat handphonenya bergetar. Laki-laki itu membelalakan matanya saat mengetahui siapa penelponnya.

"Halo bang, ada apa?" Jawab Gio.

"Ada apa-ada apa!! Lo gak balik bego!! Ayah sama mama khawatir!! Bunda Irene juga sampe panik, katanya lo langsung balik pas dari rumah bunda Irene."

Gio menjauhkan telponnya saat suara mendengar suara abangnya. Laki-laki itu meringis, karena lupa memberi tau rang rumah, membuat banyak orang yang khawatir.

"Gue lagi di rumah sakit, nanti abis subuh gue pulang. Tanggung bentar lagi subuh."

"Siapa yang sakit? Lo?" Tanya orang di seberang telpon.

"Bukan Azinza, calon makmum gue, masa depan gue. Masa iya gue ninggalin dia, sedangkan semalem nyawa dia dalem bahaya. Udah dulu bang, udah azan. Nanti gue balik abis sholat subuh." Gio berkata seolah tak berdosa.

Haris menatap Gio, Zarhan menahan tawa saat keluar dari toilet mendengar perkataan Gio. Zarhan berdecak kesal saat pandangannya teralihkan kepada seorang gadis di atas brankar.

"Zinza kenapa masih duduk sih?!"

Zinza menatap Zarhan. "Gue gak bisa, perih."

"Papa," panggilan Zinza membuat Haris menoleh, Adisti yang masih terdiam juga menoleh.

Pria itu tersenyum, mendengar kata yang telah lama ia tunggu. Haris mehampiri Zinza yang terbaring di brankar.

Mata Haris berkaca-kaca, mengecup kening putrinya yang baru saja memanggilnya sedangan sebutan papa.

"Sholat, udah azan." Haris mengangguk.

"Papa sholat dulu ya." Usai mengucapkan itu Haris bergegas untuk pergi ke masjid rumah sakit, diikuti oleh laki-laki itu.

"Calon makmum, calon imam sholat dulu ya." Wajah Zinza seketika memanas mendengar perkataan Gio sebelum keluar ruang inapnya. Zinza memperhatikan Adisti.

"Umi, Zinza pengen sholat, boleh bantuin Zinza gak?" Adisti langsung mengangguk, tanpa ba-bi-bu wanita paruh baya itu langsung membantu putrinya bersiap sholat.

***

Zinza terbaring di ruangan itu, jam delapan tadi Adisti tadi izin pulang dulu untuk membawa baju gantinya, juga baju ganti Zinza. Pakaian rumah sakit memang membuat Zinza sedikit tidak nyaman.

Zinza terdiam, pandanganya kembali ke arah jendela. Zinza masih belum bisa banyak bergerak, dan itu membuat Zinza sangat kebosanan.

Tiba-tiba pintu ruang rawat Zinza terbuka, gadis itu memandang waswas pintu yang terbuka. Tidak mungkin jika Adisti sudah kembali, karena baru lima belas menit wanita itu meninggalkan Zinza.

"Zin astagfirullah kok bisa gini?" Syifa berlari dari pintu, Zinza menghembuskan nafas lega, setidaknya hal yang Zinza pikirkan tidak terjadi.

Lisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Syifa yang langsung memeluk Zinza.

"Syifa, jangan peluk-peluk! Sodara gue baru selesai operasi." Sebuah suara mengintruksi Syifa.

Syifa memajukan bibirnya. "Mentang-mentang sepupuan, sampe segitunya."

Zinza menatap orang yang berada di luar ruangannya. Sepertinya sangat banyak orang  yang ikut menjenguknya.

"Di luar?" Tanya Zinza.

Zarhan menatap malas ke luar ruangan. "Iya, anak kelasan lo pada bolos semua. Alasannya pengen ngejenguk lo, jadi guru piket nyuruh gue buat ngawasin mereka, beneran jenguk atau alasan doang biar bisa bolos."

Lisa mengangguk. "Iya kita sekelas mau jenguk lo, tapi di luar kita di marahin perawat. Katanya gak boleh banyak-banyak masuk takut mengganggu kenyamanan pasien."

Zinza mengangguk paham. "Suruh masuk semuanya aja, kalo nunggu bergiliran lama."

Setelah Zinza menyuruh masuk mereka langsung berbondong-bondong masuk ke ruangan Zinza. Juna si ketua kelas itu memberikan buah-buahan untuk Zinza.

Pandangan Zinza terhenti saat maniknya bertemu dengan manik seseorang. Seseorang yang menampilkan senyuman bodohnya lagi-lagi. Gio membawa berbagai macam bingkisan buah lagi untuk yang kedua kali, kali ini Gilang dan Rasya yang membantu membawa bingkisan itu.

"Si Gio bawa-bawa bingkisan buat Zinza, berasa lagi berbesan nih, apalagi bawa rombongan banyak gini." Celotehan Maya membuat rombongan itu terkekeh.

Zinza salah tingkah karena ucapan Maya barusa. Wajah gadis itu sudah memerah, entahlah kenapa Zinza menjadi sering salah tingkah jika mendengar kata-kata yang menyangkutkannya dengan Gio.

"Zarhan, gue pengen minum." Ucap Zinza mengalihkan.

Gio dengan cepat mengambil gelas yang berada di nakas samping brankar Zinza. Zarhan mengambil cepat gelas berisi air dari tangan Gio.

Zarhan membantu Zinza untuk meminum air tersebut. Anak kelasan Zinza yang memang tidak tau bahwa Zinza dan Zarhan bersaudara langsung terperangah, kecuali Gio yang sudah mengetahui fakta itu. Laki-laki itu masih menampilkan wajah kesalnya karena gelas yang ia ambil cepat, malah di rebut Zarhan.

"Ya ampun Syifa pengen teriak sekarang, tapi Syifa tau tempat. Zarhan jangan pegang-pegang Zinza!"

"Gue sodara kembarnya Azinza, toa masjid!!"

Azinza [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang