Bab 4 [Tak Ada Logika]

3.6K 336 38
                                    

Cups! Cups!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cups! Cups!

  Mataku semakin terpejam saat Reno menghisap-hisap bibir bawahku seperti menghisap eskrim, kupegangi kedua dada bidangnya yang padat oleh otot-otot, sementara dia masih melingkarkan kedua tangannya di pinggangku, sebenarnya aku ingin melepaskan kedekatan ini, tapi Reno malah seperti keasyikan bermain-main dengan bibir mungilku, menghisap, mengulum, menyapukan lidahnya yang hangat, menghisap lagi, hingga aku justru malah jadi menikmati ini di antara pipiku yang mungkin sudah semerah apel matang karena gugup.

  Dia lihai dan aktif sekali kuakui, seolah tahu bahwa sudah lama aku tidak melakukan ini, dia menikmati bibirku tapi hembusan napasnya bisa setenang itu, membuatku dimabuk kepayang dan melupakan banyak hal.

  Reno memojokkan tubuhku hingga sampai depan mobil dan aku duduk di sana, mataku terus terpejam menikmati detail kelembutan ciumannya. Oh semesta, kenapa serangannya tidak bisa kutolak? Kenapa aku jadi sepasrah ini? Dengan pelan, aku menyapukan lidahku le lidahnya sehingga lidah kami bersambut, dan disaat yang tepat aku merasakan Reno menuntun lidahku untuk memasuki rongga mulutnya yang hangat dan lembab, ia menghisap dengan lembut, berkali-kali lalu perlahan memundurkan badannya.

  “Bu Liora harus kerja, kan? Saya antar sekarang, Bu,” ucap Reno setelah ia mengakhiri ciumannya.

  Aku mengangguk-angguk lalu menundukkan kepalaku, ada rasa malu tersendiri, tapi ada kebahagiaan juga, aku lantas jadi mengernyitkan kening, memikirkan ketertarikan ini yang tidak memakai hitung-hitungan logika, waktu, bahkan tempat.

  “Terima kasih, Bu.”

  Dahiku semakin mengernyit dan wajahku terangkat, tatapanku lalu beradu dengan tatapan mata Reno yang teduh.

  “Saya tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya,” ucap Reno yang lalu memakai singletnya.

  Aku membuang wajah dan tersenyum tipis oleh ucapannya, sesekali aku menelan ludah karena detail rasa bibir Reno masih terasa di lidahku, aroma menenangkan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

  “Bu Liora boleh menampar saya atau melaporkan saya yang kurang ajar ini.”

  “Ayo Ren, kita berangkat.” Aku mengalihkan pembicaraan sebelum akhirnya bergegas meninggalkannya.

  Reno malah bengong.

  “C’mon! Waktunya mepet, Ren,” ucapku yang sudah berdiri di pintu depan mobil sebelah kiri. “Kamu yang nyetir, Ren.”

  Kulihat Reno terlihat gugup lalu mengangguk sopan kepadaku.

  Setelah kami sama-sama masuk dan Reno mengeluarkan mobilku dari bengkel, kulihat seorang pria paruh baya bermotor Astrea memasuki halaman bengkel, sesaat setelahnya Reno membuka kaca mobil.

  “Mau kemana, Ren?”

  “Ini nganter Bu Liora sebentar, Om. Gue tinggal dulu ya!” balas Reno seraya terus memundurkan mobil hingga sampai di tepi jalan.

A Bad Boy Called Reno ✓ (Selesai - Lengkap - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang