Bab 1 [Pertemuan]

5.5K 395 19
                                    

Saat membuat draft awal novel ini, author hanya ingin menunjukkan bahwa meski sederhana dan tidak bergelimang harta, seorang pria juga tetap bisa jadi idaman wanita.

Part ini dan seterusnya akan terus menyajikan cerita dari sudut pandang Liora Anastasya ya, jadi kalau ada bahasa yang menye-menye, itu memang gaya bahasa dia. Author cuma menulis kisahnya.

Selamat membaca....

⚜️⚜️⚜️

Satu bulan sebelumnya...

Huft, aku mesti nunggu berapa lama lagi coba? batinku pagi ini di teras rumah kontrakanku. Aku sudah berpakaian rapi dengan mengenakan blazer oranya pastel, rambut kugelung rapi, high-heels merahku juga sudah kulap sampai mengkilap, sudah sarapan, nemanasi mesin mobil, tinggal berangkat kerja tapi malah mood bagusku mendadak anjlok karena ritual mengopiku terancam gagal. Persediaan kopi favoritku, cappucino bubuk, habis. Dan sialnya, aku lagi nunggu pesanan kopi tersebut melalui aplikasi Hi-Mart, tapi kurirnya sekarang malah tak kunjung datang padahal sudah kutunggu 20 menit lamanya.

Apa orangnya malah pergi Holiday? batinku lagi dengan kesal, terlebih ketika melihat kalender di layar ponselku yang menunjukkan tanggal merah. Gila gak sih tanggal merah di hari rabu begini masih saja aku harus berangkat kerja?

Ya begitulah aku, aku bekerja sebagai manajer di sebuah restoran cepat saji bintang lima di kota Ambarawa ini, kota kecil yang dipenuhi orang-orang sibuk tapi juga punya sisi damai seperti suasana perumahan yang kutempat ini, rumah yang dekat dengan persawahan.

Santai, Ra, santai. Aku mengela napas memandangi layar ponselku, mengecek titik lokasi si kurir yang ternyata masih jauh.

"Ahahaha!"

Kudengar obrolan bapak-bapak di seberang rumah, tepatnya di warung kopi Bu Jum -yang meski tak terlihat karena pagar rumahku terhalang pembatas fiber biru, tapi obrolan renyah para pengunjung itu selalu terdengar setiap hari, dari pagi, sore, bahkan kadang-kadang sampai larut malam. Apalagi saat aku libur akhir pekan dan mager-mageran di rumah, obroalan itu akan terdengar sepanjang hari.

Siapa mereka? Apa aku peduli? Tidak. Soalnya selain baru satu bulan aku menempati rumah kontrakan mewah ini, aku yang selalu sibuk bekerja juga suka tak ada waktu untuk ikut-ikut kumpul dengan tetangga, mengobrol, bahkan berkenalan dengan mereka, tidak pernah. Di tempat ini palingan aku cuma kenal sama Pak RT-nya saja, itupun kami baru ketemu satu kali saat aku baru tiba dari kota Jakarta dan pasrah dengan penempatan kerja di kota ini. Bagaimana aku bisa berinteraksi dengan warga kalau waktu siangku dalam enam hari setiap minggunya kuhabiskan untuk aktivitas di luar dan malamnya untuk tidur? Terdengar aneh memang, tapi aku selalu bersyukur tetap punya kehidupan sosial, walau hanya dengan teman- teman kerjaku saja.

"Bu Jum, saya mau lagi, Bu, kopinya." Kudengar suara seorang pria di seberang sana.

"Siap, Mas Reno. Ini gorengannya mau lagi gak? Ada pisang juga nih, baru ditiriskan."

"Oke, Bu. Hoammm." Pria itu terdengar menguap. "Wah, memang mantap betul pisang goreng buatan Bu Jum ini, maknyus!"

"Kopinya mau apa, Mas Reno?"

"Yang cappucino aja, Bu."

Tunggu tunggu tunggu, ada cappucino di warung kopi? batinku sambil mengerjapkan mata dan tersenyum lebar.

Duh ini kopi bubuk pesananku masih jauh gini, gimana sih kurir ini? Aku kembali memandangi layar ponselku yang terus menunjukkan titik lokasi sang kurir. Wahhh, dia ada di kawasan macet, nih. Pantes lama. Kenapa aku bisa sebodoh ini sih gak nengok persedian kopiku dari kemarin? batinku kesal, padahal biasanya aku suka mengatur apapun dalam hidupku dengan rapi, mem-planning apapun dengan baik, tapi pagi ini sepertinya aku memang lagi sial.

A Bad Boy Called Reno ✓ (Selesai - Lengkap - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang