My Special Day...
Aku tersenyum semringah hari minggu ini, memandangi cincin permata yang tersemat di jari manisku.
Aku tengah membonceng motor Reno menuju sebuah restoran di tengah kota, kupeluk Reno erat-erat sambil terus tersenyum ingat wejangannya tadi sebelum berangkat.
Karena pagi ini dia akan mengantarkanku menemui papa yang beberapa hari terakhir ini nelvon minta bertemu, aku luluh dengan ajakan Reno, padahal sebelum-sebelumnya aku memang sedang marahan dengan papa karena tidak ingin diganggu dan menjalani hidup masing-masing.
"Sayang, dengarkan saya, mungkin memang benar papa kamu membuat kesalahan besar kepadamu dan mamamu, tapi cobalah tempatkan perasaanmu di posisi papamu saat ini, beliau menghubungimu terus, itu tandanya rasa bersalahnya butuh dibicarakan. Maka temuilah, mungkin di pertemuan pagi ini beliau ingin bicara hal-hal penting yang sebenarnya terjadi dari kepergiannya dahulu? Mari saya antar, agar kamu tidak menyesal seperti saya, kamu nantinya akan paham gimana rasanya jadi yatim piatu, saya saja sering menyesal karena dulu sering mengabaikan pertemuan dengan ayah saya akibat saya kerap merantau ke luar kota."
Itu ucapan Reno di rumah tadi yang membuat mataku berkaca-kaca, sebelum mandi, ia mendekapku erat, menenangkan hatiku sehingga aku bisa menerima sarannya.
"Mas Ren," panggilku ketika kami hampir sampai di kafe tempat tujuan kami.
"Iya, Sayang."
"Makasih ya sudah memberiku keyakinan untuk menemui Papa kembali."
"Sayang, kamu sudah mengucapkan terima kasih beberapa kali lho."
"Soalnya tanpa kamu, aku nggak tahu mau sampai kapan aku menghindari papaku sendiri, padahal sebenarnya aku merindukan sosoknya."
"Sudah, yang sudah berlalu tak perlu dipikirkan terlalu dalam, yang penting adalah detik ini, Sayang. Tuh, kafenya sudah di depan mata, jangan sia-siakan niat baik beliau ya, gimanapun beliau juga manusia biasa, dia punya kesalahan di masalalu, kamupun sama, maafkanlah dia dan minta maaflah ke dia, agar Allah melegakan beban pikiran kamu ke depannya."
"Siap, Mas."
Ketika akhirnya kami tiba di halaman depan kafe bernama Milkyria itu, jantungku yang berdetak kencang segera ditenangkan Reno oleh genggaman tangannya menuju pintu masuk kafe.
Deg!
Jantungku terasa berhenti berdetak menemukan papa di meja dekat pintu masuk, beliau segera bangkit dari duduknya, menyambut aku dan Reno, tubuh tambun beliau terbalut setelan jas cokelat dan rona wajahnya tampak sangat bahagia.
Begitu ia dan Reno bersalaman, kami bertiga lantas duduk, begitu kikuk, obrolan awal-awal hanya dilakukan oleh Reno dan beliau dengan pembahasan kerjaan, perkenalan dan lain sebagainya.
"Liora beruntung sekali mengenalmu, Nak Reno. Kamu pemuda yang supel, masih semuda ini sudah punya bisnis yang menjanjikan."
"Ah, saya hanya terus menjalani dan mensyukuri kerjaan saya, Om. Saya sadar usaha saya masih terlalu kecil, tapi yang penting halal dan bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari di rumah saya."
"Betul sekali, disyukuri saja apapun pekerjaannya, supaya berkah," balas Papa dengan senyum semringah.
"Om, pagi ini saya datang menemani Liora yang ingin mengutarakan sesuatu ke Om sebagai papanya."
Papa mengangguk-angguk khidmat sementara aku terus memandangi asbak rokok di meja, hatiku merasa tenang karena ada Reno, berbeda dengan pertemuanku dengan Papa di pemakaman Mama waktu itu, aku bawaanya emosi pada saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bad Boy Called Reno ✓ (Selesai - Lengkap - Terbit)
RomansaLiora Anastasya adalah seorang wanita karir yang hidupnya serba tertata rapi dan perfeksionis. Itu juga termasuk pandangannya soal jodoh, bahkan Dimas yang seorang wakil direktur di perusahaan penerbangan saja ia tolak dengan berbagai alasan. Tapi b...