Hari-hariku terasa berantakan, cap perfeksionus yang melekat dalam hidupku seakan musnah. Tujuh hari, aku tidak masuk kerja melebihi pemberian waktu cuti dari Pak Bagio. Bosku itu menelvon terus dan sudah kujelaskan aku belum siap kerja lagi, tapi dia terus merayu.
Pagi inilah puncaknya, kublokir nomor Pak Bagio, kuabaikan pekerjaanku di D'Crunchy, aku menangis di kamar, menangisi nasibku, nasib Mama, juga nasib Reno yang melalui berita di koran tiga hari kemarin, dia sudah ditembak mati di Nusa Kambangan.
"Tuhannn, kenapa nasib saya seperti ini." Aku tersungkur ke lantai dekat ranjang sambil menjambak rambutku kuat-kuat, air mataku terus berlinangan. Aku lantas memeluk kedua lututku dan membenamkan wajahku di sana.
Trrrr!
Kuabaikan panggilan di ponselku yang kutaksir dari Pak Bagio lagi yang menggunakan nomor lain, aku terus terisak-isak memandangi foto Mama di nakas dekat ranjang.
Trrr!
Kuraih ponselku dan kutemukan nomor baru, kumatikan segera panggilan itu.
Trrr!
Kumatikan lagi
Trrr!
Aku jengkel, kuangkat segera. "Bapak nggak ngerti ya perasaan sayaaa!" Marahku sambil berteriak berang. "Enak sekali nyuruh kerja terus sementara selama saya kerja keras di D'Crunchy nggak pernah diapresiasi. Giliran saya buat kesalahan, diungkit-ungkit terus!" marahku yang lalu kembali mematikan telepon tersebut.
Aku meraih tisu dan menyeka air mataku. Selanjutnya aku bangkit berdiri. Aku ingin melakukan sesuatu, sesuatu untuk mengusir rasa sedih dan frustasiku.
Ketika akhirnya aku duduk di tepian ranjang dan memandang bayangan wajahku di kaca rias pada sudut kamar, aku lantas merapikan rambutku dan berniat untuk mandi.
Trrrr!
Astaga! Aku benar-benar kesal oleh panggilan itu, kali ini akupun mengangkatnya, nomornya masih sama dengan yang tadi, tapi aku diam.
"Hallo, Li, assalamu'alaikum."
Suara papa mengalun dari speaker ponselku. Papa? batinku kaget.
"Li, Papa pengen ketemu kamu, please, Papa pengen bicara."
Aku diam lagi seraya mengatur napas. "Bicara apa lagi, Pa?" Aku berusaha melembutkan ucapanku. "Bukankah semuanya sudah jelas, Liora ingin hidup sendiri, sebab kita punya kehidupan masing-masing."
"Dengarkan Papa, Li, rasa bersalah Papa ke kamu sudah menggunung. Sekali saja Papa pengen ketemu kamu lagi, mohon kasih Papa kesempatan."
"I can't, Pa. I'm sorry. Liora pengen kita sekarang menjadi masing-masing saja, tanpa saling mencampuri kehidupan masing masing."
Kudengar Papa menangis. "Li, apa yang bisa Papa lakukan untuk menebus kesalahan Papa ke kamu? Papa sadar, kesalahan Papa mungkin setinggi Himalaya, tapi Papa ingin bicara ke kamu."
Hening. Di antara kepeningan kepalaku, akupun mematikan telepon itu dan mematikan pula ponselku.
Selanjutnya, aku bergegas ke kamar mandi, ingin rasanya kuguyur masalah-masalahku hingga luntur dan aku melupakan semuanya, aku tahu itu susah, tapi aku akan mencobanya. Move on dan melanjutkan hidup kembali dengan semangat baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bad Boy Called Reno ✓ (Selesai - Lengkap - Terbit)
RomanceLiora Anastasya adalah seorang wanita karir yang hidupnya serba tertata rapi dan perfeksionis. Itu juga termasuk pandangannya soal jodoh, bahkan Dimas yang seorang wakil direktur di perusahaan penerbangan saja ia tolak dengan berbagai alasan. Tapi b...