Bab 28 [Masing-Masing]

1.7K 163 65
                                    

  Angin sore berdesir semilir membelai rambutku senja ini di sebuah pemakaman di kawasan Semarang, pemakaman Mama sudah berakhir sekira dua jam yang lalu tapi aku masih belum mau enyah dari tempatku duduk.

  Aku sendiri. Air mataku seakan terkuras habis menangisi kepergian Mama hari ini. Foto beliau yang tersenyum semringah masih terpasang di dekat nisan.

  Ternyata benar kata bibi Sumira dan keluargaku, semasa hidup Mama pernah bilang jika meninggal ingin disemayamkan di tempat kelahirannya, kota ini, Kota Semarang.

  "Andai…" Sudah ribuan kali aku berandai-andai. Andai aku kemarin menelvonnya lebih lama, andai aku pulang seminggu lalu ke Jakarta, andai tak pernah sekalipun kutinggalkan Mama, andai aku peka jika sakit beliau ternyata separah itu.

  Hiks!

  Aku kembali terisak, sedih. Di saat-saat seperti ini aku merasa tidak punya sandaran selain Tuhan. Tidak punya orang terdekat, bahkan Reno saja menghilang entah kemana. Aku kalut, hidupku terasa tak beraturan detik ini. "Ini gimana, Ma?" lirihku sambil mengusap air mata. "Gimana Liora bisa melanjutkan hidup kalau semangat Liora, yaitu Mama, telah pergi selama-lamanya."

  Pikiranku jadi tertuju saat jenazah Mama tiba di kota ini pagi tadi, tiba di rumah mendiang kakek nenekku, aku sempat pingsan tadi, melihat wajah Mama untuk yang terakhir kalinya.

  "Kamu bisa hidup bersama Papa selanjutnya, Li, Papa akan membiayai hidup kamu."

  Deg!

  Tiba-tiba kudengar suara seorang pria dari arah belakangku. Angin pemakaman terus bersemilir, akupun menoleh dan mendapati Papa berdiri di sana, pria paruh baya yang mengenakan setelan jas hitam itu menangis, pria yang telah ninggalin Mama dan aku, beliau menikah lagi saat aku lulus SMA dulu.

  Aku lantas bangkit berdiri dan menghadap ke arah Papa. "Kenapa harus datang, Pa? Bukannya Papa sudah nggak sayang lagi sama Mama dan punya kehidupan yang bagus?"

  Kulihat Papa terisak.

  "Jawab, Pa! Kenapa harus menangis pula!" jeritku tak tertahankan.

  "Maafkan Papa, Liora, Papa menyesal."

  "Tapi kenapa?! Kenapa Papa setega itu sama Mama?!"

  Papa terus terisak, tak bisa menjawab. Aku yang jengkelpun menghampirinya, memukul-mukul tubuhnya kuat-kuat sambil menjerit histeris.

  "Papa memang lelaki terjahat yang pernah ada di dunia ini!" teriakku tak terkontrol di antara tangisku yang menderu.

  Papa mendekapku erat tiba-tiba. Beliau terus terisak. "Maafkan Papa, Li, Papa memang pria jahat, Papa pantas mendapatkan ini semua, hukuman dari Tuhan, hidup Papa tak tenang, dosa-dosa Papa ke kamu dan Mama kamu terlalu banyak."

  Kami berdua menangis sesenggukan, sesaat setelahnya ada seorang gadis yang mendekati kami dan ikut memelukku. Dialah Stelarossa, adikku dari pihak Papa yang mamanya juga meninggal setahun lalu akibat terserang kanker rahim.

  Hidup memang penuh cerita rumit, rangkaiannya selalu mencipta kehilangan, lalu penyesalan. Dosakah jika aku membenci ayahku sendiri? Atau membenci hidupku sendiri? Atau justru keadaan ini?

  "Selamat tinggal, Pa," ucapku akhirnya ketika bisa menguasai kesedihanku lagi. Aku melepas dekapan beliau dan mundur. "Maaf, walau Papa sudah berbuat sejahat itu ke Mama, tapi Liora tidak bisa jadi pembenci. Liora hanya mau, jangan temui Liora lagi dan jangan berharap Liora akan dekat sama Papa lagi. Selamat tinggal, kita jalani hidup kita masing-masing saja, Pa. Dan untuk Stelarossa," Aku tersenyum getir dan memegang tangan adikku yang berumur belasan tahun itu, gadis yang menangis sesenggukan. "Hidup kamu juga masih panjang, Stela, kita sama saat ini, tidak punya ibu lagi, jangan menyesali keadaan yang sudah terjadi, lanjutkan hidup kamu sesuai kata hatimu."

A Bad Boy Called Reno ✓ (Selesai - Lengkap - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang