Part 2 - Putus

15.4K 1.5K 118
                                    

"Put, hari ini temani aku latihan basket. Kayak biasa, selesainya jam limaan." Adam menghampiri Putri di kelas perempuan itu.

"Jangan mau, Put!" kata Mutia sinis.

Adam melirik teman Putri yang satu itu, Mutia memang suka melontarkan kata-kata pedas yang menyatakan ketidaksukaan pada Adam. Entah candaan atau tidak, namun Adam selalu balas dengan santai.

"Sinis banget sih lo, Mutia. Kayak ibu tiri aja," seloroh Adam.

"Putri lagi sebel sama lo! Siap-siap aja kena gampar. Dasar sok kegantengan!" Mutia menyandang tas ranselnya, lalu berlalu pergi keluar kelas.

"Apa yang dibilang Mutia jangan dimasukkan ke hati. Dia memang gitu orangnya," jika Mutia tipe orang yang meledak-ledak, maka Acha lebih kalem dan dewasa. "Gue sama Mutia duluan balik," pamit Acha.

"Put," panggil Adam selepas kepergian kedua teman Putri. Kelas 12 IPS 4 berangsur sepi.

Putri bangun dari duduknya, dia tatap Adam dengan dingin. Mengisaratkan permusuhan seolah tiada kata damai di antara mereka.

Salah gue apa lagi? Adam bertanya-tanya.

Putri berjalan terlebih dahulu meninggalkan Adam dan mengabaikan si pacar. Masih teringat jelas dalam benak Putri kala Adam jalan berdua bersama Safa saat jam istirahat tadi. Keduanya bercanda dan saling melempar tawa seraya menelusuri koridor sekolah, oh, romantis sekali. Membuat perasaan kesal Putri semakin membara.

"Put, kamu mau temani aku latihan sore ini, kan?" Adam menyamakan langkah.

"Nggak!" singkat Putri.

Adam menghembuskan napas jengah. Selalu saja begini. Putri akan diam dan tidak mengatakan di mana letak kesalahan Adam, membuat Adam harus bertanya-tanya sendiri. Dia tadi berbuat apa? Apa yang membuat Putri kesal? Apa kesalahannya fatal? Tunggu dulu, apa Putri memang kesal karena dirinya?

"Aku mau pulang duluan," Putri memercepat langkah.

"Kamu mau pulang naik apa?"

"Angkot!"

"Kan ada aku yang lebih ganteng daripada abang supir angkot. Masa iya mau dianggurin," Adam tatap Putri dengan tatapan paling memukau miliknya. Berusaha untuk meluluhkan hati si pacar.

"Nggak lucu!" Putri meninggalkan Adam.

Kaki panjang Adam dengan cepat kembali mengejar Putri. Tidak sulit, mengingat Putri punya kaki kecil yang membuat perempuan itu masuk dalam kategori manusia pendek. Tinggi Putri hanya sebatas dagu Adam.

"Oke, aku salah. Aku minta maaf." Lebih baik mengalah bukan?

"Salah kamu apa?" tanya Putri, membuat Adam mati gaya. Salah dia apa?

Adam menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Demi jilbab hasil produksi konveksi ibunya, Adam salah apa pada Putri? Dia tidak tahu.

"Kamu itu, ya! Selalu saja begini. Nggak pernah ngertiin aku. Kamu itu nggak pernah peka, nggak pernah coba untuk memahami," Putri menghentikan langkah. Dia mendongak beberapa derajat. Menusuk bola mata Adam dengan pandangan paling mematikan.

"Aku kurang paham gimana lagi, Put? Kita nggak ada berantem lho sejak tadi pagi. Aku mana paham kamu yang tiba-tiba marah begini," debat Adam.

"Jadi ini salah aku?" tanya Putri sengit.

"Aku nggak bilang ini salah kamu," Adam mengusap wajahnya frustasi.

"Tapi sikap kamu yang seolah bilang kalau ini salah aku," suara Putri mendebat penuh emosi.

"Terserah kamu, Put! Aku nggak ngerti lagi harus gimana."

Adam lagi-lagi membuang napas kasar. Dia menghujani Putri dengan tatapan dalam sebelum melangkah pergi. Meninggal perempuan itu dengan perasaan kacau. Setiap saat ada saja yang membuat mereka berdebat. Entahlah, akhir-akhir hubungan mereka lebih sering diisi dengan pertengkaran. Adam rindu masa-masa awal mereka bersama dulu.

"Kamu egois!" makian Putri masih dapat ditangkap indra dengar Adam.

-o0o-

"Kusut banget muka lo."

Adam menghiraukan pertanyaan temannya , dia lebih memilih untuk menghela napas sambil mendaratkan bokong di kursi penonton lapangan basket.

"Kenapa sih lo? Ini latihan kedua kita untuk turnamen Leader Champion. Belum apa-apa udah kendor duluan semangat lo!" Bian meraih botol air meneral yang tadi dia beli di kantin. Ia teguk hingga menyisakan setengah botol lagi.

Adam lepaskan tas randel hitam yang ia lampirkan di bahu kirinya, meletakkan tas itu secara sembarang di sisi kursi yang kosong. "Gue nggak paham sama yang namanya cewek. Apa susahnya sih bilang kalau gue salah apa?! Ini main kode-kodean terus. Emangnya gue ini cenayang yang langsung tahu isi hatinya?"

"Jadi lo berantem sama Putri?" tebak Bian.

Adam menghela napas, ia edarkan pandangannya pada lapangan basket. Lalu beralih pada langit yang tidak seterik tadi siang. Ya, hari mulai beranjak sore.

"Lo sama Putri udah jalan dua tahun. Tapi untuk menghadapi hal-hal kecil begini aja kalian nggak bisa," Bian geleng-geleng kepala.

"Alah, kayak lo sama Dila nggak pernah berantem aja," sindir Adam.

"Gue sama Dila wajar kalau berantem. Kita baru jalan dua bulan, ibaratnya nih masih dalam tahap pengenalan lebih dalam. Lha, elo? Bertahun-tahun tapi masih juga nggak saling paham karakter masing-masing," Bian meledek dengan nada yang terdengar menyebalkan.

"Siapa bilang gue nggak paham Putri? Gue paham dia yang suka makan pedas. Gue paham dia yang cerewet. Gue paham dia bakal berubah kalem kalau lagi nggak mood. Gue paham Putri bisa langsung sakit kalau kehujanan. Dan gue paham kalau Putri harus dibujuk kalau lagi ngambek," Adam berujar pelan diujung kalimatnya. Adam baru sadar kalau tadi Putri ngambek dan dia tidak membujuknya.

Bian tertawa renyah, terkesan meledek. "Dan lo baru aja ngebiarin Putri ngambek tanpa dibujuk. Itu yang lo maksud paham?"

"Kalau ngambeknya jelas karena apa ya bakal gue bujuk. Ini dia marah tanpa sebab dan ngedumel yang bikin otak gue buntu harus ngadepin dia kayak gimana," Adam membela diri.

"Perempuan itu ibarat langit yang cuacanya cepat sekali berubah-ubah.  Harus ekstra sabar memang. Lo nggak tanya Putri kenapa? Ah, jangan tanya kenapa. Pasti jawabnya nggak apa-apa. Betina biasanya begitu," Bian memainkan botol air mineral miliknya.

"Nah, itu lo tahu," sahut Adam.

"Kita para lelaki tampan hanya perlu mengalah, mengerti dan minta maaf.
Perempuan lebih keperasaan dibanding logika, lebih peka dari apa yang lo duga." Bian menepuk bahu Adam. "Tau, ah, pusing gue!" Bian memilih untuk tidak memperpanjang perdebatan.

Adam terdiam dengan pandangan lurus ke depan. Coba untuk memahami sebenarnya dimana letak kesalahan permasalahan ini. Perasaan Adam tidak tenang karena meninggalkan Putri begitu saja tadi. Berulang kali Adam memikirkan apakah harus menghubungi Putri untuk menanyakan perempuan itu sudah sampai rumah atau belum. Namun niatnya tertahan oleh rasa egois.

Tbc

Cerita ini aku ikut sertakan dalam challenge 30 hari selama ramadhan bersama glorious publisher 😊😊Minta dukungannya teman-teman dengan vote dan komen yang buanyaaak 😁

Wish me luck gaess 😉

Ceritanya bakal aku up tiap hari, hayuk di vote dan komen makanya.

Spam next di sini 👉

❤ Awas ada typo ❤

#Challenge30GP

Putus! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang