4.7. Menebak Sang Pelaku

436 28 2
                                    

A/N : Hallo, Gaes! Sebelumnya aku mau ucapin selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang melaksanakan. Semoga kalian tetap sehat, ya!

Bel yang paling dinanti akhirnya terdengar juga. Tanpa perlu berlama-lama, usai pelajaran berakhir, semua siswa-siswi mengemas buku dan perlatan tulis mereka. Lantas, mengambil tas dan keluar dari kelas dengan sorak-sorai bergembira.

Berbeda dengan Noval yang kali ini justru sangat menantikan jam pulang tersebut untuk bisa bicara empat mata dengan seseorang.

Nadia sendiri juga tak curiga soal dirinya lebih lama di kelas. Gadis itu juga sibuk mencari kekasihnya--entah karena alasan apa.

Setelah dirasa kondisi sepi dan aman, Noval mendekati Fadell yang memang selalu keluar paling lambat dari kelas.

"Gue mau ngomong sama lo." Noval menahan bahu cowok itu dengan tatapan tajam penuh tanya.

Sedangkan Fadell segera menepis tangan Noval. Ia masih kesal soal Zena yang mengaku lebih mencintai Noval daripada dirinya.

Memutar bola matanya, Noval sebenarnya ogah untuk bicara dengan cowok belagu itu. Tapi karena rasa curiganya terlalu kuat, maka ia putuskan untuk tidak memedulikan egonya dulu. "Tadi lo habis dari mana sampai bisa terlambat masuk ke kelas?"

Fadell terkekeh, "Ngapain lo kepoin gue? Gak penting banget." Merasa pertanyaan Noval terlalu membuang waktu, cowok itu berniat untuk meninggalkannya. Namun, dengan cepat Noval menahan kembali pergerakannya.

"Eh, gue belum selesai ngomong. Lo gak bisa apa, ngerhargain orang yang lagi ngomong sama lo?" Noval sedikit tersulut emosi dengan gaya sok jual mahal si Fadell.

Lagi, Fadell menepis tangan cowok itu. Kali ini lebih kasar, bahkan ia tak segan mendorong bahu Noval dengan kasar. Sontak saja Noval tampak terkejut akan tindakannya yang mulai kurang ajar.

"Munafik lo!" bentaknya tiba-tiba.

Apa yang salah dari Noval? Jelas ia langsung mengerutkan kening, heran dengan sikap Fadell yang mendadak membentaknya.

"Apaan sih lo? Gak jelas banget," heran Noval.

"Zena boleh aja suka sama lo. Tapi gue bakal pastiin kalau itu gak akan lama. Karena yang seharusnya Zena suka itu gue, bukan lo," kata Fadell sembari menunjuk Noval dengan wajah sangar.

Rupanya cowok itu sedang cemburu? Astaga. Pantas saja Zena tidak betah dengan dirinya. Jika Noval yang jadi Zena pun mungkin bisa jadi penghuni rumah sakit jiwa karena Fadell yang terlalu cemburuan dan posesif.

Menertawai kecemburuan Fadell, Noval hampir lupa pada bahasan utamanya. Sedangkan Fadell tampak ingin menghajarnya jika saja Noval tak segera bicara.

"Eh, kalau lo mau Zena, ya ambil aja. Udahlah, gak usah pakai acara cemburuan sama gue. Ribet banget sih lo jadi cowok," kata Noval. "Lagian, yang mau gue bahas sama lo bukan soal Zena. Tapi sosok berpakaian serba abu-abu."

Wajah Fadell yang tadinya menekuk mendadak dihiasi kerutan akibat tak mengerti maksud perkataan Noval barusan.

"Sosok berpakaian serba abu-abu?"

"Udahlah, lo gak usah sok bodoh kayak gitu. Gue tau, lo itu orang yang selama ini neror Nadia, 'kan?" Noval tampak serius menatapnya. Bahkan lebih tajam daripada sebelumnya.

Giliran Fadell yang menertawainya. "Elo kalau mau curigain orang, lain kali cari bukti dulu. Jangan langsung nuduh tanpa tau faktanya. Eh, asal lo tau, ya. Gue gak ngerti soal sosok berpakaian serba abu-abu yang lo omongin dan gue bukan orang yang neror Nadia."

Tanpa berkata apapun lagi, Fadell segera mengangkat kaki dari hadapan Noval. Sedangkan Noval masih ragu untuk mempercayainya. Kalau memang bukan Fadell pelakunya, lantas siapa yang harus ia curigai?

Menceritakan semua rasa kegelisahannya, Kesya tampak memohon sekali pada Dimas. "Udahlah, Kak Dimas gak perlu bahas lagi soal teror itu. Aku gak mau Kak Dimas ikut-ikutan celaka gara-gara masalah aku."

"Loh, kenapa kamu jadi nyalahin diri sendiri? Teror ini harus segera diatasi. Gak cuma kamu yang bakal celaka, Nadia bahkan orang lain pun bisa celaka kalau teror ini dibiarin gitu aja. Aku yakin, mereka ini sebenarnya orang dalam yang kenal sama kalian," ucap Dimas.

Kesya menggelengkan kepalanya. Ia terus berusaha untuk meyakinkan Dimas agar tak terlibat dalam masalahnya. "Kak, ini masalah aku. Aku yang mulai dan aku juga yang harus selesaiin semuanya. Aku gak mau Kakak dalam bahaya. Plis, Kak. Kakak harus dengerin aku."

Tiba-tiba saja Nadia datang dan langsung mengalungkan tangannya ke leher Dimas sehingga cowok yang lebih tinggi darinya itu tertarik agak ke bawah.

"Yang lagi kalian bahas gak di luar topik, 'kan?" tanya Nadia agak menyudutkan mereka. Walau begitu, ia membawanya dengan nada santai.

Dimas meliriknya, "Nad...," tegur Dimas.

"Iya, iya." Nadia tahu bahwa ia tidak boleh cemburu disituasi seperti ini.

Kesya mengalihkan pandangannya ke Nadia. "Kak, sebelumnya aku minta maaf karena udah nyusahin kalian berdua. Aku tau, kalian juga gak mau keadaannya kayak gini. Tapi aku janji, aku bakal bikin situasi ini kembali normal."

Begitu selesai mengucapkan kalimatnya, Kesya segera beranjak dari hadapan pasangan tersebut. Dimas yang hendak mengejarnya pun ditahan oleh Nadia.

"Tunggu, Dim."

Dimas menoleh dengan wajah heran. "Kenapa?"

"Kamu sadar gak, sih?" tanya Nadia.

"Sadar apa?" Dimas sepertinya belum mengerti maksud Nadia.

Gadis itu mencebik sebal. "Ya omongannya dia. Dia bilang dia yang bakal bikin situasi ini kembali normal. Kalau dipikir-pikir, berarti dia sebenarnya udah tahu apa yang terjadi dan dia juga udah tahu siapa pelakunya. Iya gak, sih? Gak mungkin 'kan dia bisa senekat itu kalau gak tau apa-apa?"

Mencerna kalimat sang kekasih barusan, Dimas mendadak melebarkan matanya. Ia menatap Nadia dengan wajah khawatir. “Kalau gitu... Kesya dalam bahaya!”


Dimas dan Nadia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang