Tanpa menunggu lagi, Nadia dan Noval segera menemui kaki tangan si pelaku untuk menuntaskan aksi teror tersebut. Pulang sekolah dijadikan mereka sebagai ajang untuk menyeretnya ke meja pengadilan. Maksud hati ingin menginterogasinya dalam persidangan ala-ala mereka.
Noval sendiri sudah tak tahan ingin memaki. Ia tampak kesal dengan kaki tangan pelaku yang tak lain adalah teman mereka sendiri. Bahkan sering menghabiskan waktu bersama dengan mereka.
Keadaan koridor yang sepi mempermudah proses penangkapan si pelaku. Dengan cepat mereka langsung menghadang jalannya begitu melintasi area yang sudah mereka kunci.
Sedangkan orang tersebut tampak kaget akan kehadiran kedua teman sekelasnya itu secara tiba-tiba. Bahkan sorot tajam mereka menjadi pertanyaan sekaligus ketakutan sendiri baginya.
"Bagus diluar, busuk di dalam! Lo emang keterlaluan, Sell!" seru Noval.
"Gue gak nyangka lo bisa setega itu sama gue," lirih Nadia yang masih tak menyangka bahwa Gisell lah yang menerornya selama ini.
Gadis itu tampak tak busa bernapas karena kedoknya telah terbongkar. Ia memandang takut keduanya.
"Maksud kalian apa, sih? Gue gak ngerti," Gisell mencoba untuk bersikap tenang. Walau sebenarnya ia tak bisa menutupi kegelisahannya saat ini.
"Perlu banget ya gue jelasin kejahatan lo, huh?!" Noval menyerangnya dengan kata-kata yang pedas. "Munafik tau gak lo! Dasar teman makan teman!"
"Kenapa, Sell? Kenapa lo bisa setega itu sama gue, Sell? Gue salah apa sama lo sampai lo neror gue?" suara serak Nadia menandakan bahwa dirinya cukup kecewa. Bahkan ia tidak sanggup berkata.
Mengambil langkah lebih dekat dengannya, Gisell justru perlahan mundur ke belakang, berniat ingin melarikan diri dalam hitungan ketiga. Namun sayang, Noval lebih cekatan daripada yang ia kira.
"Mau ke mana lo, ha?!" Noval kini mengunci pergelangan tangannya. Ia berusaha untuk tidak terpancing emosi.
"Lepasin gue!" Gisell meronta dan melawan. "Gue gak salah! Lepasin!"
"Kalau lo gak salah, kenapa lo masih ada di sekolah? Ini 'kan udah jam pulang. Bahkan bel pulang pun udah bunyi dari 30 menit yang lalu," semprot Noval yang tak tahan ingin memarahinya.
"Gisell, Gisell. Lo tuh gak usah banyak alasan lagi, deh. Gue tau, lo sebenarnya sengaja ambil momen pulang sekolah ini buat ketemu partner teror lo itu, 'kan? Pakai bilang itu cowok lo segala lagi ke kita. Lo tau gak, sih? Lo tuh gak cuma bohongin gue sama Nadia, tapi juga sahabat lo sendiri, Stella sama Cindy. Ternyata, selama ini lo dekat sama kita karena ada maksudnya. Palsu lo! Udahlah, mending lo ngaku aja dan jelasin semuanya ke kita sekarang," sambung Noval.
Di saat ia tengah berpikir keras untuk mencari alasan, dering ponselnya menambah kepanikannya. Noval dan Nadia langsung mencurigai si penelepon. Sembari Noval terus mengunci gerak Gisell, Nadia mengambil ponsel Gisell yang ada di saku roknya.
"Nomor gak dikenal," kata Nadia.
"Angkat aja, Nad," titah Noval greget.
"Gue gak berani," ucap Nadia sembari menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba tidak siap untuk mengetahui siapa yang ikut terlibat dalam teror tersebut.
Alhasil, Noval menyuruhnya untuk menggantikannya menahan si Gisell. Sedangkan Noval yang akan mengangkat panggilan itu.
Tanpa babibu, Noval langsung bicara, "Sialan lo! Lo yang--"
Panggilan mendadak terputus. Noval melihat layar ponsel dengan kesal, kemudian memandang tajam Gisell.
Tak tahan lagi, akhirnya Gisell menangis. Tak peduli dengan tatapan kedua temannya itu, sebab ia mau tak mau harus mengakui segala perbuatannya.
"Maafin gue, Nad. Maafin gue, Val," ucapnya lirih.
"Gue ngaku kalau gue yang neror lo selama ini. Gue disuruh sama seseorang. Tapi itu semua gue lakuin karena gue terpaksa. Gue gak punya pilihan lain lagi selain ngikutin maunya dia," jelasnya, lalu menangis.
"Terpaksa?" Nadia mengulang kata Gisell tadi dengan raut kebingungan. Noval turut mengamati.
"Waktu itu, gue dapat kabar dari sepupu gue kalau Mama masuk ICU. Mama punya penyakit jantung dan penyakitnya udah benar-benar serius. Di sisi lain, biaya administrasi rumah sakit Mama makin menumpuk selama dia ngejalanin rawat inap di rumah sakit. Belum lagi kebutuhan sehari-hari dan sekolah yang bikin gue makin gak ngerti harus kayak gimana lagi.
"Dan di situ, dia gak sengaja dengar pembicaraan gue di telepon. Dia akhirnya tau masalah gue. Dia pun nawarin uang ke gue dan jumlahnya gak main-main, tapi dengan syarat gue harus nurutin apa yang dia perintahin. Tanpa pikir panjang gue langsung terima persyaratan dari dia. Tapi, setelah itu gue cukup nyesal karena ternyata gue harus neror lo, Nad," ungkapnya panjang lebar.
Anak manapun jika mendengar kabar kurang mengenakkan tentang orang tuanya pasti akan sedih. Apalagi Gisell dipenuhi tekanan yang membuatnya tidak tahu harus melakukan apa. Mendengar ceritanya, Nadia tak tega untuk menyalahkannya.
Noval, ia mendadak bungkam. Cerita dan tangis Gisell yang pecah saat itu telah membuatnya menyesal karena sudah memakinya tadi.
Nadia melepas genggamannya dari pergelangan tangan Gisell, kemudian memeluknya dengan erat. Seketika tangis Gisell pun pecah. Nadia pun begitu, ia tak kuasa menahan air matanya.
"Gue minta maaf, Nad," bisik Gisell.
"Lo gak salah, Sell. Gue ngerti posisi lo," balas Nadia.
Noval menghampiri gadis itu ketika keduanya menguraikan pelukan mereka.
"Maafin gue ya, Sell. Gue udah kasar banget sama lo tadi. Gue kebawa emosi soalnya," kata Noval yang kini menunduk.
"Itu karena lo berusaha buat ngejagain Nadia. Gue salut karena lo bisa jadi sahabat yang baik buat Nadia," jawabnya yang kini mengembangkan senyum.
"Tunggu," kata Noval yang menatap Gisell. "Siapa 'dia' yang lo maksud? Partner teror lo?"
Gisell mengangguk. "Tapi sori, Val, Nad. Gue gak bisa kasih tau kalian siapa orangnya. Gue udah janji untuk nggak bongkar identitas dia. Gue harap kalian bisa ngertiin gue."
Menghela napasnya, Nadia masih tidak puas dengan penemuan pelaku yang belum tuntas ini. Hingga tiba-tiba giliran dering ponselnya yang memecah lamunan mereka.
Nadia mengambil ponselnya dan menatap nomor yang tertera di layar ponsel. Nomor yak dikenal lagi?
"Siapa, Nad?" tanya Noval.
Gadis itu menggeleng. "Gue juga gak tau. Nomor gak dikenal soalnya."
"Angkat aja, Nad. Lo gak perlu takut."
Menarik napasnya, Nadia mengumpulkan keberanian menerima panggilan tersebut. "Halo?"
Sontak wajahnya berubah kaku dan tegang. Matanya membulat dengan dada yang bergemuruh. Tangannya tampak bergetar, hingga ponselnya jatuh bebas ke lantai. Ia menggelengkan kepalanya, seolah tak percaya akan apa yang ia dengar barusan
"Di-Dimas...."
◾
A/N : Maapkeun hamba yang lupa upload :")
Btw, gimana perasaan kalian setelah tahu siapa pelakunya? Di bab selanjutnya akan ada sedikit kejutan. Apakah itu? Makanya, tungguin terus kisah mereka :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimas dan Nadia [COMPLETED]
أدب المراهقين[BOOK 2] Nadia baru putus dari Hansel, si cowok paling berengsek yang pernah Nadia kenal. Di saat patah hati inilah Dimas hadir. Sosok asing yang belum pernah ia kenal, namun dapat membawa ketenteraman hati. Sejak saat itu, Nadia dan Dimas berteman...