Saking ingin menemani Dimas agar tak terlelap dalam kesendirian, Nadia justru tertidur di samping cowok itu. Hingga tanpa ia sadari seorang wanita masuk dan mendekati mereka.
Tersenyum, Sinta mengelus pelan rambut Nadia. Membuatnya tanpa sengaja bangun akibat sentuhan tersebut.
"Maaf, Nadia. Tante jadi ganggu kamu tidur," kata Sinta yang merasa telah membangunkan Nadia yang sibuk terlelap sebelumnya.
Nadia mengerjapkan matanya sebelum akhirnya bangkit untuk membiarkan Sinta yang duduk di kursi di samping brankar Dimas.
"Gak papa kok, Tan. Silakan duduk, Tan," kata Nadia.
Tiba-tiba suara perut yang keroncongan terdengar. Asalnya dari perut Nadia. Gadis itu bahkan lupa bahwa ia belum makan sejak pulang sekolah. Padahal sebelum itu Noval sempat menawarkan makan siang padanya.
Sinta yang mendengarnya lantas tertawa kecil. "Kamu lapar? Belum makan?"
Dengan senyuman kikuk, Nadia mengangguk pelan.
"Ya udah, gimana kalau kita cari makan aja sekarang?" tawar wanita itu.
"Tapi, Dimas gimana? Nanti dia bakal sendirian, dong?"
"Tapi Tante rasa Dimas malah lebih gak suka kalau pacarnya sendiri nahan lapar cuma karena khawatirin dia," ungkap Sinta sembari tersenyum. "Dimas bakalan baik-baik aja kok di sini."
Setelah merasa yakin bahwa Dimas perlu waktu untuk sendiri, keduanya menuju ke tempat makan terdekat.
Sore menjelang malam. Langit yang mendung membuat malam tampak lebih cepat datang. Suasana yang tercipta menjadi agak sedikit sendu bagi mereka yang tengah pilu. Ditambah lagi dengan musik yang terputar di kafe, membuat Nadia semakin merindukan sosok Dimas agar segera kembali berada di sisinya.
Sinta yang dapat menangkap aura sendunya lantas memahami. Ia berhenti sejenak dari aktivitas makannya.
"Kamu tau, Nad?" kata Sinta yang membuat Nadia mendongak.
"Dulu, Dimas sama Tante sering banget nongkrong di kafe. Apalagi kalau lagi hujan, Dimas paling suka sama suasananya."
Nadia tersenyum. Berpikir tentang maksud Sinta agar dirinya tak bersedih.
"Maafin aku ya, Tan. Gara-gara aku, Dimas jadi kayak gini." Nadia mulai terisak dengan mata yang berkaca-kaca. "Dia selalu jagain aku, tapi aku sendiri gak pernah bisa jagain dia."
Atmosfir dalam ruangan semakin terasa menyesakkan. Sinta merasakan apa yang Nadia rasakan saat orang yang sama-sama mereka cintai harus dalam kondisi yang tak pernah diharapkan sebelumnya.
"Jangan menyalahkan diri kamu sendiri, Nadia. Kita gak pernah tau kejadian apa yang akan datang menimpa kita. Satu yang harus kamu tau kalau Tuhan itu masih mau Dimas ada bersama kita, orang-orang yang dia cintai dan mencintai dia."
"Sejak Dimas berusia 7 tahun dia udah nggak pernah lagi merasakan kasih sayang dari Papanya yang meninggal karena sakit. Tapi dia nggak pernah sedikitpun mau bersedih karena dia tau kalau dia sedih pasti Papanya juga ikut sedih. Karena itu juga Tante jadi belajar untuk kuat dan gak mau terlalu bersedih saat Dimas seperti sekarang."
Mendengar cerita Sinta, Nadia jadi sadar bahwa ia juga harus kuat. Sedih perlu, tapi tidak harus berlarut-larut. Ia menatap kalung yang Dimas berikan padanya ketika mereka resmi berpacaran malam itu. Senyum sedikit terbentuk kala momen itu terputar di kepalanya.
Diam-diam Sinta memperhatikannya. Kalung itu, ia seperti mengenalnya. "Nad."
Gadis itu mendongak. "Iya, Tan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimas dan Nadia [COMPLETED]
Teen Fiction[BOOK 2] Nadia baru putus dari Hansel, si cowok paling berengsek yang pernah Nadia kenal. Di saat patah hati inilah Dimas hadir. Sosok asing yang belum pernah ia kenal, namun dapat membawa ketenteraman hati. Sejak saat itu, Nadia dan Dimas berteman...