1.1. Kabar Mengejutkan

873 72 3
                                    

Pagi yang cerah seharusnya bisa menciptakan suasana cerah bagi siapa pun yang menerima pagi kali ini. Namun berbeda dengan Nadia yang justru memasang raut murung dan tak bersemangat. Kakinya pun ia ajak melangkah agak lambat, tak seperti biasanya.

Sejak kemarin, suasana hatinya tak tenteram. Lagi-lagi pikirannya tertuju pada satu poin yang benar-benar harus ia cari solusinya. Sebuah alasan tepat untuk menjawab pertanyaan dari bundanya mengenai ia dan Hansel.

Ya, Nadia tahu bundanya saat ini belum kembali menelepon dirinya, tapi cepat atau lambat sang bunda pasti akan menagih jawaban.

Ia menghela napas frustrasi. Soal Hansel, dia sudah tak mau ambil pusing. Lagi pula, ia berharap cowok itu segera enyah dari hidupnya.

Di saat ia tengah  menunduk, seseorang mendadak menyapanya. “Hai!”

Gadis itu mendongak. “Eh? Hai!”
Rupanya Dimas. Entah sejak kapan dia muncul di sebelahnya, namun keduanya melanjutkan langkah bersama. Beriringan menuju kelas masing-masing.

“Belum sarapan ya?” tanya Dimas.

“Udah,” jawab Nadin singkat. Bahkan tadi ia berpikir untuk tidak menjawab saking buruk mood-nya saat ini.

Dimas heran, biasanya cewek itu selalu memerhatikan lawan bicaranya saat tengah berbicara. Tapi kali ini agak beda. Ditambah dengan raut wajahnya yang lesu dan tak bersemangat.

“Ke kantin, yuk?” ajak Dimas.
Nadin mendecak sambil memutar bola mata malas, sebelum akhirnya Dimas menariknya tanpa ijin di saat ia hendak menjawabnya.

Entah apa tujuan Dimas membawanya ke kantin secara paksa. Yang jelas, Nadia kesal dengan cowok itu.

“Kan gue udah bilang kalo gue udah sarapan tadi.”

Dimas hanya menampilkan senyum yang bagi Nadia menyebalkan dan melipat tangan di atas meja dengan santai.

“Kalo cewek bilang ‘udah’ berarti itu sebaliknya,” kata Dimas menyimpulkan.

Nadia benar-benar tak habis pikir. Kepekaan Dimas terhadap dirinya boleh juga. Ralat, terhadap cewek yang berkata sebaliknya dari fakta.

“Sebentar.” Cowok itu berlari ke arah salah satu stan, lalu tak lama kembali lagi menemani Nadia yang sekarang mengerutkan dahi.

“Lo pesan makanan?” tanya Gadis menebak. Tapi seharusnya ia sudah tahu jawabannya. “Udah, cancel aja. Gue lagi gak la—“

“Nadia, kamu harus makan. Sarapan itu penting.”

Seketika Nadia terdiam. Tak ingin menyahut apalagi membantah kata-kata Dimas. Sampai pesanan tiba, lalu di hidangkan ke masing-masing individu di meja tersebut.

“Ayo, makan. Tenang, aku traktir, kok.”

Aneh. Mengapa Dimas harus perhatian sebegininya sih? Pikir Nadia. Jika dibandingkan mantannya dulu, Dimas jauh berbeda. Baik, perhatian, peduli, dan... Nadia menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus semua memori tentang Hansel dan tidak membedakannya dengan Dimas. Setiap individu jelas berbeda, mereka punya karakter masing-masing. Jadi, sangat tidak adil jika saling dibandingkan satu sama lain.

Dimas yang sudah lebih dulu menyantap buburnya, memandang heran sikap Nadia. “Kenapa? Gak suka ya?”

“Eh, enggak, kok.” Nadia segera mengaduk bubur yang penuh toping, kemudian melahapnya.

Diam-diam matanya memperhatikan Nadia yang asyik menyantap bubur tersebut. Ia tersenyum lebar sambil terus menyendokkan bubur ke dalam mulutnya.

Nadia yang tak sengaja menangkap pandangan itu jelas bertanya, “Lo kenapa? Ada yang lucu?”

Dimas dan Nadia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang