Dear Dimas,
Bertemu kamu saat aku sedang menangisi dia tak pernah kubayangkan sebelumnya. Siapa yang akan menyangka jika kita justru semakin dekat sejak saat itu?
Awalnya, aku sedikit geram denganmu. Menyebalkan, namun juga menyenangkan disaat yang bersamaan.
Kamu mungkin orang baru dalam hidupku pada saat itu, tapi sepertinya kamu yang paling tahu bagaimana menuntun kesedihanku tanpa membuatku kehilangan arah. Kamu tahu aku membenci Hansel, tapi kamu mengajarkanku untuk tak membenci.
Saat itu, aku masih sayang dengan Hansel. Dia pacar yang paling aku cintai dan sayangi, begitupun sebaliknya. Tidak, aku keliru. Dia menyukai orang lain. Dia telah mengingkari janjinya untuk tetap mencintaiku saja. Aku kecewa dengannya.
Perlahan tapi pasti, aku mulai terbiasa tanpanya. Yang justru menjadi kebiasaanku adalah bersamamu. Kamu selalu hadir baik saat aku membutuhkanmu maupun tidak. Kamu yang selalu menerbitkan senyum di wajahku dengan senyuman manismu. Buatku tak bisa melupakannya, sampai-sampai terbayang dan mulai tersadar bahwa aku... jatuh cinta denganmu.
Awalnya aku sendiri agak ragu untuk kembali merajut hubungan dengan orang yang baru, tetapi kamu meyakinkan untuk selalu ada bersamaku.
Kamu bohong! Bahkan sekarang kamu tak sedang menatapku, berbicara denganku, bercanda bersamaku, dan berbagi kisah satu sama lain.
Maaf, Dimas. Ini semua salahku. Andai saja aku bisa bersikap dewasa dan menuntaskan semua masalahku dengannya, mungkin kamu tak akan terluka.
Dimas, aku masih menunggu hingga sekarang. Cepat bangun dan mulailah hari yang baru bersamaku. Aku rindu momen-momen yang kita lewati bersama. Jangan buat aku menunggu terlalu lama. Aku tak suka menunggu untuk waktu yang tak pasti.
Nadia,
Yang Masih MenungguMenulis kalimat terakhir, Nadia akhirnya menumpahkan air matanya yang sejak tadi ia tahan saat menulis surat tersebut. Air matanya tanpa sengaja telah membasahi kertas yang ditulisnya. Tak ingin merusaknya, Nadia segera menutup bagian dari buku itu dan meletakkannya di sudut meja.
Menarik napas, lalu menghelanya. Nadia menatap langit sore dengan harapan yang sama setiap harinya. Tanpa membuang waktu, ia pun segera beranjak dari duduknya menuju rumah sakit untuk kembali bertemu dengan Dimas, yang masih terbaring lemah di tempatnya.
◾
3 bulan kemudian...
Pagi itu cuaca tampak cerah. Matahari muncul dengan hangatnya yang ramah. Tidak berbeda dari hari biasanya, namun mungkin menjadi hari yang spesial bagi beberapa orang yang merasakannya.
Melangkahkan kaki menuju kelas, Noval tak sengaja berpapasan dengan Nadia yang mengambil jalan yang sama dengannya.
"Cie yang sendirian," ejek Noval.
Memgerucutkan bibirnya, Nadia sengaja menyenggol lengan cowok itu. "Enak aja! Apa nggak terbalik, ya? Kan, sampai sekarang lo yang masih sendirian."
Noval terkekeh mendengarnya. "Sendirian aja masih bikin pusing, gimana kalau gue udah punya pasangan? Gak kebayang deh gue."
"Masa, sih?" sahut seseorang dari arah belakang mereka.
Keduanya memutar tubuh secara bersamaan, menangkap sosok yang tengah berdiri di hadapan mereka dengan senyuman yang paling manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimas dan Nadia [COMPLETED]
Подростковая литература[BOOK 2] Nadia baru putus dari Hansel, si cowok paling berengsek yang pernah Nadia kenal. Di saat patah hati inilah Dimas hadir. Sosok asing yang belum pernah ia kenal, namun dapat membawa ketenteraman hati. Sejak saat itu, Nadia dan Dimas berteman...