--eight

986 115 6
                                    

Sebelum Taehyung keluar dari kamar, Jeongguk sudah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Walaupun tak banyak, tapi cukup untuk mengisi perut di pagi hari. Ia membuat garlic butter toast, dan srcambled eggs sebagai makanan pendamping roti. Tak lupa juga ia menyiapkan satu gelas berry smoothie untuk mereka berdua.

Tangis Taehyung sudah berakhir, namun segukannya belum hilang. Ia menangis terlalu dalam pagi tadi, apalagi setelah melihat orang yang merengkuhnya juga tampak berantakan dengan penuh air mata. Taehyung itu lemah, tapi ada satu hal yang menjadi kelemahan terberatnya. Melihat Jeongguk menangis karena dirinya.

Kumpulan putung rokok yang ada sebelah Jeongguk berdiri, membuat Taehyung tersadar seberapa khawatirnya sosok itu. Ia sangat yakin Jeongguk semalam tak tidur, dan memilih untuk begadang demi dirinya. Membayangkannya saja sudah membuat air mata Taehyung ingin jatuh lagi, apalagi melihat sendiri situasi semalam.

Dengan cepat Taehyung menyeka air matanya sebelum Jeongguk dapat melihat, namun tampaknya itu tak berarti. Karena Jeongguk langsung mencekal tangan Taehyung dan menatapnya tepat di mata, menyelami bola mata Taehyung seolah terdapat sebuah harta berharga di sana. Mata itu tampak cemas, namun berusaha menutupinya.

"Nangis lagi? Kenapa, Taehyung?"

Taehyung menggeleng cepat, melepaskan tangan Jeongguk dari pergelangan tangannya. Lalu kembali memakan sarapannya. Suara Jeongguk benar-benar tak seperti biasanya, yang dapat Taehyung dengar adalah kecemasan dan rasa takut. Taehyung tak menyukai jika Jeongguk menjadi penakut, karena ia tau benar bahwa Jeongguk orang paling berani yang pernah ia kenal.

Di lain sisi, pikiran Jeongguk tak tenang. Melihat Taehyung yang diam membuatnya memikirkan hal-hal yang tak seharusnya ada dalam pikirannya, namun Taehyung sendirilah yang menuntun jalan pikiran itu. "Taehyung," panggil Jeongguk pelan, memutar kursi Taehyung agar menghadap kepadanya. Sehingga membuat kedua lutut mereka bertabrakan.

"Bicara pliss, gue nggak bisa lihat lo nangis tapi diem aja kayak gini. Sakit banget, Taehyung. Sakit," ucapnya kemudian.

Demi Tuhan Taehyung semakin emosional jika di hadapkan dengan Jeongguk yang lembut seperti ini, ia tak bisa. Air matanya jatuh lagi, menggenangi seluruh wajahnya bak derasnya air terjun. Usahanya untuk menyeka pun sia-sia, air mata itu masih saja turun. "Ma'afin gue," ucap Taehyung di tengah tangisnya. "Sebenernya gue udah seminggu ini nggak minum obat," sambungnya.

Jeongguk mengernyitkan dahinya, pertanyaan dalam otaknya hanya satu. Kenapa. Setau Jeongguk, setiap kali ia bertanya apakah Taehyung sudah meminum obatnya, jawabannya pasti sudah. Sekarang, apa ia benar-benar dibohongi.

"Gue nggak mau gila beneran, waktu itu gue habis bicara sama Dokter Park masalah obat yang harus gue minum tiap hari. Ternyata ada efek sampingnya, yang sebelumnya gue nggak tau apa. Gue takut, Jeongguk," jelas Taehyung dengan air mata yang terus terurai. Melihat ekspresi Jeongguk yang tampak bingung, kecewa, Taehyung tak tau pastinya. Tapi itu membuatnya semakin tersiksa, ia tak mau Jeongguk menganggap Taehyung yang tidak-tidak.

Tangan Taehyung naik ke rahang Jeongguk, mengelusnya sejenak. "Tapi waktu gue mau ke rumah, gue lupa minum. Sebenarnya gue udah mau minum, tapi gue lupa. Ma'afin gue."

Jeongguk terdiam sesaat, mencari tau apa yang ia lakukan ini benar atau tidak. Ia menyentuh tangan Taehyung di wajahnya, lalu menyeka air mata Taehyung menggunakan tangannya yang lain. "Jangan minta maaf sama gue? Apologize to yourself, Taehyung. Lo lakuin salah sama diri lo, bukan gue. Diri lo semaleman kesakitan, minta tolong tapi nggak ada yang bisa nolongin. Sekarang, lo sendiri pun nggak mau nolongin?"

Taehyung menggeleng, "Gue nggak mau nyusahin lo. Gue janji, gue mau minum obat. Efek sampingnya nggak penting? Yang penting gue nggak nyakitin lo."

Gerakan Taehyung tampak ragu, namun setelah itu ia memeluk seseorang di depannya itu. Merasakan keberadaannya yang memang nyata, bukan ilusi seperti yang beberapa jam ke belakang ia pikirkan. Jeongguk memang nyata, ada untuknya. Bersedia bertahan bersama orang sakit seperti dirinya.

"Gue nggak bisa sembuh, besok atau lusa ada kemungkinan gue bakalan kayak gitu lagi. Just leave me sebelum lo bener-bener jatuh buat gue, sebelum gue jatuh ke lo." Ucapan Taehyung terdengar lirih, namun jelas sekali karena dekat dengan telinga Jeongguk.

Jeongguk tak ingin menjadi emosional, tapi mendengar Taehyung mengatakan itu membuat air matanya terjatuh. Lagi. "Telat, lo telat. Gue udah dari lama jatuh Taehyung, buat lo. Jangan pernah ngomong kayak gitu lagi, pliss. Demi gue," jawabnya kemudian.

Suara Jeongguk terdengar bergetar, yang membuat Taehyung melepaskan pelukamnya dan menatap sosok itu. Benar sekali, Jeongguknya tengah menangis. Sekarang, sudah berapa kali ia membuat Jeongguk menangis hanya dalam pagi ini. "Jangan nangis," ucap Taehyung, mencoba menyeka air mata pemuda itu dengan tangannya yang gemetar.

Kemudian ia memberikan kecupan yang cukup lama pada kening Jeongguk, berusaha mengatakan ia sangat menyayangi pemuda yang satu ini. Lalu ia mencium kedua mata basah pemuda itu, hidungnya, lalu berakhir pada bibirnya. "Jangan nangis lagi," ucapnya setelah itu.

Jeongguk hanya menganggukkan kepala, lalu menanggapi keluhan Taehyung di awal percakapan. "Kalau lo takut sama efek samping obatnya, kita bisa ngomong sama Dokter Park. Pasti ada jalannya, Mas. Tapi nggak boleh gegabah, harus ikut aturan."

Taehyung mengangkat ujung bibirnya, "Mas?"

Tak tau sejak kapan tawa Taehyung menggema, terdengar menenangkan di telinga Jeongguk. Usahanya berhasil membuat Taehyung tertawa, karena sejak tadi ia ingin sekali mendengar tawa itu. Melihat senyum kotak itu. "You called me Mas, Joengguk-ssi? Gue nggak salah denger?"

"Nope. Kangen nggak dipanggil Mas?"

Hanya suara tawa yang menanggapi setelahnya. Kedua pasangan ini memang jika dilihat sekilas terlihat aneh, setelah menangis seperti itu dan sekarang tertawa seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Sudah sejak lama sekali Taehyung tak pernah mendengar kata itu dari mulut Jeongguk, mungkin terakhir kali adalah saat sebelum mereka pacaran. Atau lebih lama dari itu, ia tak tau. Benar-benar sudah lupa saking lamanya. "Gila lo," celetuk Taehyung di tengah tawanya.

"Siapa yang buat gue gila?"

Taehyung pura-pura berpikir, sambil meletakkan telunjuknya pada dagu. Terlihat lucu sekali, seperti anak TK yang ditunjuk gurunya untuk menjawab soal tebak-tebakan. "Kim Taehyung, bukan?"

Jeongguk memasang wajah terkejut dramatis, "Binggo. Kok lo bisa tau? Kasih hadiah, jangan?"

Taehyung menganggukkan kepalanya antusias, tak lupa dengan senyumannya yang dapat membuat semua orang terpesona. "Sini," ucap Jeongguk sambil menarik dagu Taehyung mendekat. Lalu mencium bibir bengkak sebab tangis itu, melumatnya lembut seakan itu adalah sebuah barang yang rentan pecah.

Ciuman itu berlangsung cukup lama, memagut bibir satu sama lain untuk membuktikan eksistensi keduanya. Jeongguk menikmati setiap balasan yang Taehyung berikan, ia juga dapat merasakan bahwa Taehyung tersenyum dalam ciuman mereka. Namun satu hal yang tidak Jeongguk ketahui, pacarnya itu juga menitihkan air mata.

•••••

"Gue kayaknya suka sama dia," ucap seseorang dengan piyama yang sekarang tampak berbaring dengan selimut yang membungkusnya seperti bola. Ia tengah berbicara dengan seseorang di balik sambungan telepon sekarang, mengahdap dinding dan tampak serius. "I don't know if it's good or not, but you can't blame my heart. I choose him, for being my partner."--

--to be continue

Aku tepatin janji, 'kan? I do upload it today. :))
Hope you guys enjoy it x

With love,
Audi.

flower crown | KookVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang