Jangan Pergi!

2.3K 166 3
                                    

"Aku tidak pernah mengatakan secara langsung bahwa rasa itu ada. Namun, disetiap doaku selalu kusebut namamu disetiap kali aku berdoa. "

"Umi, kok rapi sekali hari ini sih? "tanya Ima heran. Ia bingung melihat Uminya seperti orang yang sedang tergesa-gesa.
"Cepat kamu ganti pakaianmu nak, temani Umi antar nak Ali ke bandara. "ucap Umi tanpa menoleh ke arah Ima.


Ima diam mematung. Entah mengapa hatinya terasa sesak mendengar Ali pergi, padahal bertemu dengan dia pun hanya beberapa kali. "Ya Allah, dia pergi? Jangan pergi. "lirih Ima dalam diamnya.


"Lah, kok bengong sayang, buruan. "ucap Umi lagi.
"Hmm, Umi... Kayaknya tugas Ima banyak nih, gimana kalau sama bang Hasbi aja. "ucap Ima memelas.
"Gak bisa sayang, abangmu lagi sibuk. Udah sana ganti baju, sebentar kok. "ucap Umi lagi.

Ima langsung melenggang ke kamarnya mengganti pakaiannya. Dengan berat hati ia mengikuti keinginan Uminya itu. Sebenarnya Ima berusaha menolak sebab ia tidak ingin berlama-lama dalam kegugupan yang tercipta dihatinya akibat mengagumi sosok kaum adam yang satu itu. Ya, Ima akui, dia benar-benar mengagumi lelaki itu. Tapi ia tidak mungkin menolak permintaan Uminya, ia pun tidak mau jadi anak durhaka.


Setelah selesai berpakaian dan merapikan penampilan, Ima langsung memasuki mobil yang dikemudikan oleh Uminya. Sepanjang perjalan Ima bermonolog sendiri. "Mungkin dalam diamku mengaguminya, setelah ini aku akan jarang bertemu dengan dia. Dan mungkin saja ini yang dikatakan pertemuan itu. Pertemuan yang hanya merupakan cerita singkat dan selebihnya bencana rindu yang berkepanjangan. Astagfirullah, apasih aku. Ima sadar, itu bukan mahrammu. "batin Ima sedari tadi.


Setelah sampai di bandara, Maryam langsung menemui Aiza dan melihat sosok Ali yang datang menghampiri Maryam dan Ima. Dan lagi-lagi Ima hanya menunduk. Setelah menyalami Aiza dan Maryam, Ali berjalan menuju Ima yang kebetulan agak jauh jaraknya dari Maryam dan Aiza. Sengaja Ima menjauh berharap Ali tak melihat kehadirannya. Namun, semua sia-sia.


"Assalamualaikum"sapa Ali.
"Wa-waalaikumsalam. "jawab Ima.
"Hey, nunduk terus ya, hati-hati kalo jalan, ntar nabrak orang lho. "kekeh Ali.
"Hmm.. Maaf. "balas Ima dengan posisi yang sama.
"Ya udah, kak Ali pergi dulu ya."lanjut Ali lagi.


Ima hanya diam seperti tadi. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Saat ini, Ia sungguh gugup. Ali mulai melangkahkan kakinya, namun berhenti sejenak. Sebenarnya ingin sekali Ima mengatakan sepatah kata untuk Ali walaupun hanya ucapan perpisahan. Namun, itu semua tak bias ia katakan.


"Kak Ali suka sifat Ima. Wanita penunduk yang selalu menjaga pandangannya dari yang bukan mahrom. Jangan berubah, ya. Jaga hati Ima. Tetap istiqomah."ucap Ali panjang lebar dan terdengar begitu tulus.

Deg.

Demi apa, jantung Ima berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Jangan tanya mengapa, ini membuat perasaannya campur aduk. Bahagia, tentu. Ali mengatakan kalimat seperti itu sudah membuat Ima berasa melayang tinggi. Sedih, ya pasti. Ia mungkin akan jarang bertemu dengan Ali diingat mereka berdua berada di negara yang berbeda.

"Assalamualaikum, aku pergi. "ucap Ali.
"Wa'alaikumsalam. "balas Ima masih saja menunduk.


Setelah Ali membalikan badannya, Ima menatap sendu kepergian lelaki itu.


"Berkahilah perjalanannya Ya Robb. "ucap Ima membatin.

Setelah moment melepaskan kepergian Ali selesai, Ima dan Maryam pulang ke rumah. Selama perjalanan Ima hanya diam tanpa berbicara sepatah kata pun. Sayangnya, Umi Ima kurang peka terhadap situasi dan kondisi ini. Setidaknya Ima tidak khawatir terhadap Uminya, ia takut jikalau uminya tahu pasti dirinya akan banyak ditanyai layaknya narasumber yang sedang melakukan wawancara. "Ah, sudahlah. Jika ada takdir diantara kita, Allah akan mempertemukan tanpa aku cemaskan rasa yang pernah ada ini. " Lagi-lagi Ima hanya membatin.

Dalam Diamku Mengikhlaskanmu [ Sudah Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang