Khawatir

1.8K 152 3
                                    

"Seindah-indahnya jadi kekasih adalah menjadi kekasih Allah. Jatuh cinta yang tak akan pernah bertepuk sebelah tangan adalah jatuh cinta kepada Allah. Jatuh cinta yang membuat semua menjadi mudah bahkan berakhir ke Jannah. "

"Bang, mas Ali kenapa? "tanya Ima merengek.

"Kamu ini dek, udah tau suaminya alergi sawi, masih aja dibikinin capcay. "ucap Hasbi tertawa kecil.

"Ta-tapi I-Ima gak tau. "ucap Ima menunduk.

"Apa, jadi... "kata Hasbi menggantung.

"Gak kok Hasbi, aku yang belum kasih tahu Ima kalau aku alergi sawi. "ucap Ali tersenyum.

Ima semakin kagum terhadap suaminya itu. Dalam keadaan sakit pun Ali masih bisa tersenyum. Memang kekasih idaman.

Ima pun pamit ke dapur untuk membuatkan Hasbi minum. Ima baru ingat Aisyah sekarang sibuk mengurusi anak mereka yang baru lahir. Betapa ia sangat merindukan kakak ipar dan ponakan kecilnya itu.

"Gimana Li, masakan Ima. Pasti ambyar kan? "kekeh Hasbi memelankan suaranya.

"Enak kok Hasbi. Aku suka. "balas Ali pelan.
"Ada asin-asin gimana gitu. "tambah Ali tersenyum membatin.

"Eh, kok malah senyam-senyum sendiri sih. "goda Ali.

"Ah, terserah dah. "ucap Ali.

Ima pun membawa secangkir teh untuk Hasbi yang sedang berbincang dengan Ali. Setelah pamit, Ima minta izin sama Ali mau ke rumah Hasbi dan Aisyah besok.

***

Hari ini Ima pergi ke yayasannya untuk mengajar. Ima sangat menyukai anak kecil, apalagi mereka yang memiliki semangat juang yang kuat.

"Mas, aku boleh kan habis ngajar ke rumah Aisyah?"izin Ima.

"Iya, tapi aku gak bisa ngantar kamu soalnya pasien aku sekarang banyak. Gak papa kan? "tanya Ali.

"Iya mas. "ucap Ima.

Ima pun pamit dan pergi menuju yayasan. Setelah selesai mengajar, Ima menunggu sopir pribadinya untuk menjemput.

"Ima, sepertinya aku harus buru-buru deh pergi sekarang, ada urusan. "ucap Naira yang masih fokus dengan ponselnya.

"Iya gak papa Nai. "ucap Ima.

"Ya udah aku duluan ya. Assalamualaikum. "balas Naira tergesa-gesa.

Perasaan Ima kurang enak. Pasalnya, temannya itu belakangan ini sedikit berubah. Entah terlalu sibuk chattingan dengan cowok misterius yang pernah ia ceritakan kepada Ima atau karena hal yang lain. Entahlah, Ima harap Naira selalu dalam lindungan Allah. Setelah Aisyah, Naira adalah sahabat yang baik menemani Ima di keseharian sebagai pengajar di yayasan milik keluarga Ima.

Setelah jemputan Ima datang, Ima langsung memasuki mobil dan ingin berhenti sebentar di kafe. Sekedar melepas penat untuk beristirahat sejenak di kafe tersebut. Ketika mobil terparkir di depan kafe, Ima terkejut. Bagai petir di siang bolong, hati Ima sakit melihat pemandangan yang amat menyakitkan itu. Tubuh Ima langsung membeku. Jantungnya berdegup kencang. Air mata pun perlahan menghiasi pipi Ima. Ya, pemandangan yang sangat menyakitkan itu terlihat jelas bagi Ima. Ima mengurungkan niat untuk pergi ke kafe. Secepat mungkin Ima membalik badan dan berjalan menunju mobil.

"Jalan Pak. Langsung ke rumah Aisyah aja."

"Lho, Nak Ima tidak jadi ke kafe?"tanya Pak Akmal, sopir pribadi Ima.

Ia tak menyangka Ali suaminya bertemu dengan Naira teman dekatnya di sebuah kafe. Dan mereka berbincang seperti orang yang sudah kenal dekat. Apa mungkin lelaki misterius yang diceritakan Naira adalah suaminya? Apakah Ali tidak bias mengantarnya ke rumah Aisyah karena ingin bertemu dengan Naira? Allah, hati Ima tersakiti kembali Ilahi Robbi. Hati Ima begitu perih. Kenapa ia harus merasakan sakit ini kembali, dan mengemasnya dalam diam sedalam-dalamnya. Air mata yang jatuh pun perlahan Ima hapus. Ia tak tahu harus melakukan apa lagi. Mungkin saja wanita yang menjadi cinta pertama suaminya itu adalah teman dekatnya, Naira.

Sampai dirumah Aisyah, Ima langsung memeluk Aisyah dan memasang topeng seperti orang yang sangat bahagia. Dalam hatinya, Ima begitu rapuh untuk menghadapi semua ini. Tapi Ima yakin Allah tidak akan menguji hamba-Nya melebihi batas kemampuannya. Ima tetap tersenyum kepada Aisyah dan keponakannya. Memang benar, senyum tidak hanya karena seseorang bahagia, tapi senyum adalah alasan untuk selalu bahagia demi menutupi kesedihan.

"Wah, keponakan tante cantik sekali. "ucap Ima gemes melihat anak Aisyah.
"Iya dong, kan bundanya juga cantik. "kekeh Aisyah.
"Tapi anak kamu tuh mirip tantenya. "balas Ima tak mau kalah.
"Ih, gak mau.. Shakila maunya seperti bunda. "balas Aisyah khas suara anak kecil.
"Bundanya gak mau kalah ya. "balas Ima.

"Bagaimana kamu dengan kak Ali, Ima? "tanya Aisyah yang menggendong anaknya.

"Hmm, kami baik-baik saja. "balas Ima seadanya. Mendengar pertanyaan itu membuat Ima teringat kejadian di kafe itu. Kejadian itu seolah-olah berputar memaksa Ima untuk mengingat kejadian itu lagi.

Aisyah menghela nafasnya, ia takut kalau sahabatnya itu masih belum bisa mencintai suaminya. Bagi Aisyah, Ima sangat tertutup perihal rasa. Aisyah pun tak ingin bertanya lebih karena itu privasi Ima.

Sudah sore, Ima pun merasa malas untuk pulang ke rumah. Tepatnya, ia lelah mengingat kejadian tadi. Entah apal itu, yang jelas sekarang ia rasanya tak mau bertemu Ali. Melihat Ali saja membuat hati Ima seperti luka tak berdarah.

Ternyata di depan rumah Aisyah, Ali sudah menjemput Ima. Namun, dengan berat hati Ima menuruni tangga menuju depan rumah Aisyah dan pamit untuk pulang.

"Aku pulang dulu ya. Assalamualaikum. "ucap Ima kepada Aisyah.

"Hati-hati ya. Wa'alaikumsalam. "balas Ima melambaikan tangannya.

Suasana dalam mobil pun hening. Ima melirik ke arah Ali yang fokus menyetir mobilnya. Rasa sakit itu kembali hadir. Ima merasa Ali berubah hari ini padanya. Untuk saat ini, Ima pun memilih untuk diam.

Selama dirumah tidak ada perbincangan diantara mereka. Suasananya kembali seperti semula, awal mereka menikah. Dan setelah sholat Isya, Ima pun langsung tidur tanpa menunggu Ali pulang dari masjid.

Ali sebenarnya heran melihat sikap Ima yang murung. Ingin ia bertanya, tapi ia tak mau mengganggu Ima yang sedang beristirahat.

"Mungkin besok akan aku tanyakan langsung kepada Ima. "ucap Ali.

Ketika Ali ingin merebahkan badannya ke kasur. Terdengar isakan dari Ima. Ali melihat Ima yang sudah dibanjiri oleh keringat. Ali khawatir. Dia berusaha membangunkan Ima, tetapi tangisnya semakin kencang. Lalu Ali memberikan ketenangan kepada Ima. Akhirnya Ima pun bisa tenang kembali. Ali yakin bahwa istrinya itu sedang mimpi buruk. Namun untuk saat ini, Ali hanya bisa menenangkan Ima.

Sebenarnya Ima terbangun dari mimpi itu. Tapi ia enggan membuka matanya. Terlalu sakit untuk diceritakan kepada Ali, suaminya.

"Aku pernah...
Faktanya aku pernah rapuh...
Hatiku pernah hancur dan dihancurkan
Aku juga tau rasanya mengemas hati yang patah
Menghadapi kacau pada bilah rasa yang terbuang..
Aku berupaya menyusun kembali seserakan hati yang telah porak,
Menata ulang perasaan
Entah itu untuk dihancurkan kembali..
Percayalah...
Aku pernah jatuh dan hampir lumpuh..
Hanya saja aku terlalu pintar membuatnya menjadi samar. "
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Dalam Diamku Mengikhlaskanmu [ Sudah Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang