Kenyataan Yang Pahit

2.3K 176 6
                                    

"Dear wanita. Tugasmu hanya memperbaiki dirimu. Semakin kamu baik, semakin Allah mempersiapkan yang terbaik untukmu. Jika dia takdirmu, sekeras apapun dia pergi akan tetap kembali padamu. Sesuatu yang ditakdirkan untukmu akan menjadi milikmu tanpa ada orang lain yang dapat memilikinya. "

Ima merapikan penampilannya di depan cermin. Hari ini ia akan pergi mengunjungi yayasan yang menampung kaum dhuafa' milik abinya. Ima berjanji akan pergi bersama Aisyah. Saat ini Ima hanya berusaha menyibukkan diri tanpa harus memikirkan Ali lagi. Sementara menunggu Aisyah datang, Ima menuruni anak tangga mencari Hasbi yang kebetulan sedang dirumah. Ia berniat meminta diantarkan menuju yayasan tersebut. Seketika Hasbi melihat Ima bergegas turun.


"Dek, jalannya pelan-pelan dong, ntar jatuh cium lantai. "ucap Ali.
"Ih abang kok doanya jelek banget sih. Kalo nyuruh Ima jalannya pelan ya gak usah ditambah jatuhnya. "ucap Ima kesal.
"Aduhh, sensian kali nih adek abang. Ya udah, sekarang Ima mau kemana? "tanya Hasbi.
"Mau ke yayasan bareng Aisyah. Abang bisa gak anterin. "ucap Ima memelas.
"Ya udah abang siap-siap dulu. "ucap Hasbi dengan senyuman manis kepada adiknya.
"Okey, Ima ke atas dulu ambil tas. "ucap Ima dan berlalu dari hadapan Hasbi.

Ketika Ima ke atas, ternyata ada tamu yang menemui Hasbi. Dan setelah sedikit berbincang dengan sang tamu, ia pun pamit tergesa-gesa, dan Hasbi pun memaklumkan karena benar sang tamu terlihat sangat sibuk. Hasbi segera bersiap untuk mengantar Ima.

Ima kembali menuruni anak tangga satu per satu dengan semangat. Tiba-tiba langkahnya terhenti melihat sebuah benda persegi yang terletak diatas meja. Ima meraih benda tersebut. Dan air matapun berhasil lolos dikedua kelopak mata wanita tersebut.

Sesak. Itu yang ia rasakan sekarang. Rasanya begitu sakit. Ia berharap semoga ini mimpi dan segara mungkin Ima tersadar dari mimpi ini. "Ya Allah, maafkan Ima yang telah berharap kepadanya. "

Ima menjatuhkan undangan pernikahan itu dan berlari ke kamarnya. Ia tidak salah baca. Memang yang akan menikah itu Ali. Lelaki yang selama ini Ima cintai dalam diam, Muhammad Ali Al-Habib. Tidak ada hal apapun yang dapat Ima lakukan selain menangis. Ima ingin meluapkan segala emosi yang terpendam. Memang benar segala kekhawatirannya terhadap Ali itu benar-benar terjadi. Ima tak habis pikir. Mengapa lelaki sebaik Ali menorehkan luka begitu dalam. Setelah mengunci kamar, Ima duduk sambil menekuk kedua lututnya, dan menangis sejadi-jadinya.

"Kenapa Ya Allah, kenapa dia telah hadir dalam hidup Ima. Kenapa rasa ini hadir untuk sesorang yang tidak ditakdirkan untuk Ima. Dan kenapa dia tega berkata manis kalau akhirnya juga pergi. Apakah dia tahu bahwa dia telah melukai Ima dengan sadar, dan sampai saat ini Ima hanya bias bertahan dengan sabar. Terima kasih telah datang lalu pergi dan terima kasih telah pernah berjanji walau akhirnya mengingkari. Apakah ini teguran buat Ima Ya Allah? Jika iya, maafkan Ima Ya Allah. " ucap Ima lirih dalam hatinya.

Mengapa Allah memberikan rasa sakit? Karena Allah mencemburui hamba-Nya yang mencintai makhluk-Nya melebihi Sang Pencipta. Terkadang cara Allah mencintaimu adalah Allah hancurkan hatimu berkali-kali agar kau tahu bahwa tiada pengharapan selain kepada-Nya.

Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya.

-Imam Syafi'i

Selama Ima berdiam di kamar Aisyah ternyata sudah menunggu diruang tamu Ima. Sedari tadi ia berusaha menghubungi hp Ima tetapi nonaktif. Jadi Aisyah lebih baik menunggu langsung dirumah Ima.
"Hey Aisyah, udah lama datang. "sapa Hasbi.
"Belum kak, barusan."jawab Aisyah tersenyum.
"Tadi Ima udah selesai tapi kok belum keluar ya, kamu susul aja ke kamar Ima. "ucap Hasbi.
"Ya udah, Aisyah permisi dulu ya kak Hasbi."ucap Aisyah kemudian berlalu dihadapan Hasbi.
Hasbi membalas dengan anggukan dan tersenyum kepada Aisyah.

Aisyah mengetuk pintu kamar Ima berkali- kali. Namun tak kunjung pun dibuka Ima. Aisyah mendengar isak tangisan di dalamnya. Dan itupun berhasil membuat Aisyah khawatir.
"Ima kamu di dalamkan? Tolong buka pintunya Ima. "ucap Aisyah yang takut terjadi sesuatu pada Ima.
Ima tetap saja tidak membuka pintunya. Karena sudah terlalu lama menunggu, Aisyah berencana memberitahu Hasbi dan seketika Hasbi datang.

"Syah, Ima belum keluar ya? "tanya Hasbi.
"Itu kak, I-Imanya gak mau keluar, tadi Aisyah dengar Ima nangis. Pintunya pun kekunci."jelas Aisyah dengan begitu khawatir.
Hasbi langsung mengetuk pintu kamar Ima. Seperti tadi, Ima tak kunjung membukanya.
"Ima kamu kenapa dek? Bilang sama abang, jangan disembunyikan. "ucap Hasbi yang makin cemas. Ia berpikir apakah Ima marah habis becanda dengan dia, tapi itu sudah hal biasa. Namun kenapa Ima tiba-tiba menangis setelah tadi masih bisa tertawa.
"Kalau Ima gak mau buka. Abang dobrak pintunya. "ucap Hasbi lagi.
"Tidak ada cara lain lagi Aisyah. Kayaknya kakak harus dobrak pintunya. "ucap Hasbi pada Aisyah.
Aisyah yang hampir juga menangis hanya mengangguk lemah. Ia merasa ada yang disembunyikan Ima beberapa waktu belakangan ini. Ketika Hasbi mengambil posisi untuk mendobrak pintu, tiba-tiba Ima membuka kunci pintu dan memutar kenopnya. Ima keluar dengan mata sembab.


"Ima...."ucap Aisyah dan langsung memeluk Ima.
"Kamu gak papa kan? "tanya Aisyah panik.
"Aku baik-baik saja kok. "ucap Ima memaksakan senyumnya.
"Kamu marah ya sama abang? Abang terlalu berlebihan becanda sama Ima ya? "tanya Hasbi khawatir.
"Gak kok bang. Ima gak papa. Ima lagi capek aja. "balas Ima lesu.
"Syah, besok aja kita pergi ya. Kepala Ima pusing. "ucap Ima.
"Ya udah, sekarang kamu istirahat aja ya. "kata Aisyah.


Ima hanya mengangguk dan berjalan memasuki kamarnya. Iya sadar, ini bukan mimpi. Ini nyata dan benar adanya. "Banyak kemungkinan di dunia ini. Mungkin seseorang yang kamu jadikan alasan atas kebahagiaanmu, suatu saat akan memberi luka terdalam dalam hidupmu. Dan sejujurnya luka itu sulit untuk kamu terima. Mungkin juga seseorang yang belum pernah kamu kenal, suatu saat akan dipertemukan denganmu dan bersedia mengobati luka yang pernah ada. Jangan berlebihan terhadap sesuatu." lirih Ima sambil memejamkan kedua matanya.

Hasbi dan Aisyah menatap punggung Ima yang perlahan menjauh. Dalam pikiran Aisyah, sudah pasti Ima terlihat menutupi sesuatu. Dan Hasbi pun juga merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Tapi mereka hanya berhipotesis tanpa mengetahui realita yang sebenarnya. Hasbi dan Aisyah sama-sama berharap Ima baik-baik saja dan akan menceritakan semuanya.

Ima meraih sebuah catatan kecil dari laci lemarinya. Ia hanya bisa menulis saat ini. Satu hal yang Ima sukai dari tulisan, ia tak pernah berubah meski semuanya telah berubah.

"Aku telah banyak belajar dari sunyi, bagaimana menyimpan sendiri hal-hal yang orang lain susah mengerti. Mereka mungkin boleh berpikir aku penuh teka-teki. Tetapi memang itu satu-satunya cara agar ketika aku kecewa, aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa. "

Dengan air mata yang masih mengalir Ima mengakhiri coretan diary itu. Ia menutup lembaran itu kembali dan merebahkan badannya yang begitu lelah hingga ia terlelap. "Hidup ini tidak bias ditebak, baru saja sekitar satu bulan yang lalu tak ada kabar setelah perkenalan kita memakan waktu yang sudah cukup lama, tetiba sudah ada kejutan yang menyakitkan. Entahlah, semua menjadi kacau. Aku ingin menangis, tapi seolah air mataku tak mau keluar, air mataku sudah kering. Dan setelah ini aku tersadar, logika dan hatiku kembali berkompromi bahwa semua akan baik-baik saja setelah aku mengikhlaskannya. Perlahan tapi pasti, ikhlas memang sulit tapi itu adalah obatnya." ucap Ima dengan senyumnya yang terlihat memaksa.
.
.
.
.
.
.
.
.

Dalam Diamku Mengikhlaskanmu [ Sudah Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang