Dalam diamku Mengikhlaskanmu(1)

2.1K 150 5
                                    

"Kelak akan ada saatnya kita berterima kasih kepada orang yang membuat kita kecewa, kepada mereka yang membuat kita menangis, dan kepada siapapun yang pernah membuat kita terluka. Karena darinya kita belajar tentang kedewasaan hati, ketegaran jiwa, kesabaran hingga ketulusan dan keikhlasan untuk memaafkan. "

Ima menatap kosong ke arah jendela kamarnya. Mulai dari hari ini ia tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Ima harus kuat dan meyakini semua itu sudah diatur Allah. Sudah Ima katakana bahwa ia tidak pernah membenci Ali terhadap hal ini. Sebisa mungkin Ima tepis rasa kecewa yang merasuki relung hatinya.

"Ima. "panggil wanita paruh baya yang berhasil membuyarkan lamunannya.
"Eh, iya Umi. Ada apa?"tanya Ima.
"Pagi kok udah melamun sih sayang. "ucap Uminya.
"Hehe, Ima lagi kurang fokus aja tadi. "balas Ima.
"Daripada melamun, temenin Umi ke butik yuk. Kebetulan Aiza mau cari baju buat Ali dan calon istrinya. "ajak Umi.

Deg.

Ima terdiam. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. satu menit.

"Tuh kan melamun lagi. Ayok temanin umi aja. "ucap Umi.
Baru saja Ima berusaha melupakan, tetapi sekarang datang lagi kesedihan baru. Ingin rasanya Ima teriak, tapi itu tidak memungkinkan.

"Tapi Umi.... "ucap Ima menggantung.
"Gak ada tapi-tapian... Yuklah sayang."ajak Umi sambil menarik lengan Ima dengan lembut.

Tak ada pilihan lain, sekarang Ima harus ikut dan sebisa mungkin bersikap baik-baik saja.

***

Setelah sampai di butik, Ima tak melihat keberadaan Ali. Ah setidaknya Ima merasa lega tidak melihat sosok lelaki itu. Ima pun hanya mengikuti Uminya memilih baju buat Ali dan calon istrinya.

"Alinya mana Aiza? "tanya Maryam.
"Masih dijalan."balas Aiza.
"Calon istri Ali juga kemana? "tanya Maryam lagi.
"Tadi ada yang mau diurus sebentar, jadi kayaknya nyusul. "
"Oh gitu. "balas Maryam seadanya.

Ima hanya diam mendengarkan perbincangan mereka berdua. Seketika Aiza menatap kebaya putih bergaya syar'i dan sangat cocok dipakai untuk calon menantunya. Tetapi karena ia belum datang Aiza hanya memilih itu terlebih dahulu sebelum dicocokan.


"Ini sepertinya pas buat calon menantuku. "ucap Aiza.
"Kalo gitu Ima kesini dong, cobain dulu. Kayaknya badan Ima sama besar dengan calon istri Ali. "ucap Maryam tanpa mengetahui perasaan Ima.


Aiza terdiam sejenak, tapi apalah dayanya. Ia tahu wanita seperti Ima tidak akan mengumbar kesedihannya. Hanya berpura-pura tidak tahu yang bisa Aiza lakukan sekarang.


"Tapi umi... "ucap Ima sedikit merengek.
"Cuma bentar sayang. "balas Maryam.
"Iya hanya menjalankan instruksi Uminya. Ia terlalu lelah untuk menyanggah. "

Setelah selesai memakainya Ima keluar. Semua mata yang ada disana memandang kagum terhadap Ima. Dia sungguh cantik. Pakaian syar'i itu sangat cocok jika Ima yang memakainya. Tanpa disadari Ali menatap wanita yang masih ia cintai itu dari kejauhan. Setelah dirasa cukup, Ima meminta untuk diganti pakaiannya lagi.
Setelah itu ia hanya pergi menjauh dari uminya dan ustadzah Aiza.

Langkah Ima terhenti melihat sosok lelaki yang begitu ia rindukan dan begitu menyakitkan. Namun Ima harus tersenyum dan berusaha bahagia.

"Ima. "
"Kak Ali. "


Jawab mereka serentak.


"Ima aja duluan."
"Kak Ali aja duluan. "


Lagi-lagi mereka serentak mengucapkan kata-kata.
Keheningan mulai menguasai mereka berdua.
Jeda tiga menit. Empat menit. Lima menit. Dan akhirnya Ima membuka suara dengan begitu dipaksakan.


"Selamat ya kak. Semoga keluarga kak Ali nantinya sakinah, mawadah, warahmah. "balas Ima menunduk dan membalikkan badannya. Ia sungguh tidak kuat bertahan disana. Ia memilih untuk pergi saja.
"Ima marah sama kak Ali? "tanya Ali menghentikan langkah Ima.
"Kok marah kak? Gak ada alasan Ima buat marah sama kakak. "jawab Ima yang berusaha menahan air matanya sejak tadi.
"Karena kak Ali nikah sama akhwat lain. "ucap Ali.
"Sederhana kok kak. Tidak ada takdir diantara kita."balas Ima singkat dengan posisi yang masih membelakangi Ali.
Ima melanjutkan langkah kakinya.
"Bagaimana menurut Ima dengan poligami?"tanya Ali yang berhasil membuat langkah Ima terhenti kembali.
"Menyakitkan. "jawab Ima.
"Berarti Nabi Muhammad menyakitkan istrinya?. "tanya Ali lagi.
Seketika emosi Ima hampir naik turun atas pertanyaan Ali. Ima membalikkan badannya.
"Nabi Muhammad menikahi istri-istrinya yang merupakan wanita dirindukan syurga. Bukan mengemukakan syahwat. Ketika Nabi SAW menikah dengan Siti Aisyah saja, masih sempat membuat Aisyah cemburu ketika Rasulullah merindukan Siti Khadijah. Siti Sarah pun pernah mencemburui Siti Hajar ketika akan memiliki anak dengan Nabi Ibrahim, kak Ali tau ketika Ali bin Abi Thalib berniat menikahi wanita lagi ketika masih bersama Fatimah Azzahra? Bahkan Fatimah menangis kepada Rasulullah akan hal itu, sampai Rasulullah melarang Ali untuk berpoligami ketika Fatimah hidup. Dan bagaimana dengan kami sekarang yang hanya berstatus sebagai wanita akhir zaman yang berharap menjadi wanita yang dirindukan Syurga? Jadi Ima berharap jangan kak Ali memikirkan hal itu lagi. Jaga hati wanita yang halal buat kakak. Ima pergi. "balas Ima panjang lebar.

Dan Ima pun membalikkan badannya terkejut melihat sosok wanita yang ada dihadapannya. Ima menduga ini adalah calon istri Ali. Dan dugaan itu memang benar. Dia wanita yang akan menjadi kekasih halal lelaki itu. Sungguh cantik, dan Ima melihat kecantikan itu bukan hanya dari fisiknya saja, hatinya pun begitu lembut. Sebab apa? Ima yakin saja wanita itu mendengar apa saja yang sudah dia bicarakan dengan Ali, tetapi ia masih tersenyum ramah ke arah Ima.

"Assalamualaikum. "sapa wanita itu.
"Wa'alaikumsalam. "balas Ima.
"Aku Zahra. "ucap wanita itu sambil mengulurkan tangannya.
Ima tersenyum dan membalas uluran tangan wanita itu.
"Aku Ima kak. "ucap Ima tersenyum. Tanpa ia memberitahu nama pun Ima sudah hafal. Tepatnya ketika undangan pernikahan Ali terlihat oleh Ima.
"Ya udah, aku pamit dulu ya kak Zahra. Umi sama ustdzah Aiza ada di dalam kak. Assalamualaikum. "balas Ima dan berlalu dengan cepat.
"Wa'alaikumsalam. "balas Zahra.

Ali pun mengajak Zahra menuju tempat Maryam dan Aiza tanpa banyak bicara. Dan Zahra pun hanya memaklumi itu.

"Ini calon pengantinnya, Masya Allah cantik sekali calon menantu kamu Aiza. "ucap Maryam.
"Alhamdulillah tante. Makasih pujiannya tante."balas Zahra ramah.
"Ini nak, dicoba pakai dulu. "ucap Aiza sambil memperlihatkan baju yang akan dipakai Zahra.
"Ada pelayan yang akan membantu kamu di dalam. "tambah Maryam lagi.
Zahra mengangguk dan berlalu dari hadapan mereka.
Di ruang pakaian tersebut, pelayannya kebinggungan.
"Sebenarnya yang nikah siapa sih mbak? Mbak yang ini atau mbak yang tadi?" tanya pelayan itu.
"Maksud mbak? " tanya Zahra heran.
"Tadi mbak yang satu lagi habis cobain baju yang ini mbak. Jadi saya bingung aja. "ucap pelayan itu.
Hati Zahra terasa perih, tanpa Ali beritahu pun ia sudah mengetahui kalau Ali menyukai wanita yang bernama Ima itu. Dari sorot matanya pun menjelaskan kalau perasaan Ali belum hilang atau bahkan masih ada untuk Ima. Zahra tak hiraukan pertanyaan pelayan tadi dan memilih diam.
"Semoga suatu saat Ali bisa menerima aku seutuhnya yang ditakdirkan hadir dalam melengkapi hidupnya. "ucap Zahra membatin.
.
.
.
.
.
.
.

Dalam Diamku Mengikhlaskanmu [ Sudah Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang