BAB XXXIII: I want...

8.3K 588 65
                                    


I want... 


Lagit sudah menghitam saat mereka keluar dari dalam ruangan bawah tanah itu, angin angin malam berhembus meniupkan beberapa daun dari pohonnya. Sudah beberapa menit berlalu sejak pamitnya Reon untuk pulang kerumahnya berada, namun Amon masih setia berdiri diluar sana memandang langit.

Menatap rembulan diatas sana dengan tatapan datarnya, seakan tidak sadar jika dirinya masih menggendong gadis itu.

"Cepatlah masuk Amon, nona pasti kedinginan disana" teriak Lina terdengar marah.

Tanpa perlu menoleh kearah Lina, Amon langsung berpindah tempat. Meletakkan Erza diatas tempat tidur yang sudah dibersihkan, memakaikannya selimut lalu berjalan menuju balkon untuk menguncinya. Sebelum pergi keluar dari dalam kamar itu, Amon sempatkan diri untuk menatap wajah nonanya yang tertidur.

Luka lukanya sudah hampir menghilang, kecepatan regenerasi lukanya bertambah cepat. Tapi tentu saja itu karena nonanya menyantap puluhan orang hari ini. Membenarkan tatanan rambut nonanya lalu tersenyum kecil.

"Dia tidak akan menjadi iblis pembangkang, aku yakin itu" celetuk seseorang membuat Amon menoleh.

Albert mengedikkan bahunya lalu kembali melanjutkan perkataannya. "Aku salah?"

Terdiam sejenak Amon menggeleng kecil dengan wajah dinginnya. Menjauhi Erza, pergi menuju Albert lalu menarik kerah belakangnya agar mengikutinya yang keluar dari kamar nonanya. "Kau berisik, jangan mengganggu nona yang sedang tidur" ucap Amon terus menarik Albert menjauhi kamar Erza hingga sampai dilantai 1.

"Gadis itu tidak akan bangun Amon" balas Albert tidak paham dengan betapa overprotective pria itu kepada nonanya.

"Lalu apa yang akan kau lakukan jika kita bertukar posisi dan yang tertidur disana adalah sang Ratu" ucap Amon membalikkan keadaan.

Sekejap Albert memutar balikkan pikirannya, dirasanya memang tidak hanya Amon yang overprotective, pada dasar dirinya, Lina, Carl, dan demon guard lainnya pasti akan melakukan hal yang sama.

Sejenak ia melirik Amon yang terus menatapnya, seakan menunggu bagaimana jawaban yang akan ia utarakan. Albert tersenyum kikuk lalu tertawa. "Kita sama" ucapnya sambil menepuk pundak Amon.

Amon menurunkan pandangannya pada Albert yang pada dasarnya memang lebih tinggi. Menyingkirkan tangan itu dari pundaknya lalu berjalan menuju ruang depan, meninggalkan Albert yang merasa dirinya jadi serba salah sekarang.

Padahal tujuan awal dirinya mendatangi Amon hanya untuk mencari teman karena Lina tentu saja sedang tidur sekarang. Melihat Amon meninggalkannya karena salah ucap, haruskah ia ikut tidur atau mungkin sekedar menutup mata dikamar karena tidak tau harus melakukan apa.

"Memajamkan mata sampai matahari terbit, haruskah aku melakukannya!"

Itulah salah satu kekurangan menjadi demon guard yang paling tidak dirinya sukai, malam hari tanpa kegiatan. "Aku akan memantau perkembangan perusahaan saja" putusnya.

.

.

.

Amon terduduk diatas padang rumput yang ditumbuhi bunga bunga kecil yang lucu, kepalanya mengadah menatap langit penuh bintang yang menemani rembulan. Ia teringat dimana dirinya menjalankan tugas pertama, mengajari nonanya berjalan.

Dia membawa nonanya kemari setiap pagi, sambil membawa bekal kecil. Dulu Amon pikir pekerjaannya akan menjadi sangat hambar dan membosankan, mengajari gadis kecil berumur 10 tahun mengenal dunia layaknya balita.

Secuil senyum terhias dibibirnya, ia menjadi merasa bersalah karena sempat berpikir seperti itu. Nyatanya Erza tidak seperti gadis kebanyakan, sifatnya yang mudah tertantang membuatnya tau kalau gadis seperti nonanya memang patut menjadi Demon Blood.

Amon tidak pernah tau kalau menjadi demon guard nonanya akan terasa semenyenangkan ini. Mungkin setelah ini ia tak akan bisa menemukan nona seperti Erza lagi. Saat bulan itu mulai berwarna emas, membuat malam seperti pagi.

Semuanya akan berakhir, dia akan melepas nonanya untuk menjalani hidupnya sendiri didunia yang lain. Saat itu terjadi, lambat laun Erza akan berprilaku layaknya orang asing jika mereka bertemu secara kebetulan.

Entah kenapa hal itu mengusik Amon sedari kejadian nonanya yang melemparkan ucapan terima kasih setelah menghabiskan hidangannya.

Amon meletakkan sebelah tangannya didada, ia yakin pasti jika dirinya tidak mempunyai apapun didalam sana. Bahkan tidak ada detakan yang dapat ia rasakan, karena dirinya diciptakan tanpa hati. Namun rasa sakit saat ia memikirkan akan melepaskan gadis itu sendirian tidak hanya sekali dirasakannya.

Mengasuh Erza membuatnya tau bagaimana caranya tersenyum walau pada kenyataan hal itu akan terlihat mengerikkan. Mengerti bagaimana cara merasa senang, ada banyak hal yang didapatkannya saat menjadi pengasuh gadis kecil itu.

Haruskah ia menyesali kehidupan setelah kematian ini, tapi memangnya apa yang harus disesalinya. Lagipula saat hidup ia tidak lebih dari penjahat yang selalu melakukan hal hal keji, tak ada yang ia dapatkan selain rasa tidak puas.

Bangkit, Amon berjalan mendekati danau kecil yang tidak jauh dari tempatnya berada. Menatap pantulan wajahnya disana lalu mencoba untuk tersenyum. "Mengerikkan" komentarnya.

Kembali ia mencoba untuk tersenyum, mencoba untuk terlihat senormal mungkin. Otaknya memutar ulang memori memori yang sempat membuatnya senang untuk membantunya dapat tersenyum. Namun hal itu tidak membuahkan hasil, pada akhirnya Amon meninggalkan tempat itu begitu saja.

.

.

.

Disisi lain Lina berkedip tak percaya, sedangkan Albert benar benar membeku ditempat. Tidak percaya saat melihat Amon pergi semalaman hanya untuk tersenyum pada danau.

"Kupikir, dia tidak sedingin yang terlihat" komentar Lina. Mengingat betapa kerasnya usaha Amon untuk tersenyum lembut.

'Apa dia tersinggung karena aku memberitahu kalau senyumnya mengerikkan' pikir Lina, mengulang kejadian dia mengucapkannya saat diruang bawah tanah.

"Tidak, dia mungkin iri denganku yang bisa tersenyum manis seperti ini" ucap Albert tersenyum cerah sambil membanggakan diri.

Bug!

Albert jatuh dari atas kasur setelah mendapatkan pukulan dari Lina. "Menjijikkan!" ucap Lina sambil menunjuk nunjuk dirinya.

Albert bangkit dari jatuhnya sambil merengut. "Lalu kau mau apa Lina? Mengajarinya tersenyum? Lucu sekali"

"Tidak terlalu buruk juga, lagi pula harus ada sedikit perubahan disini. Melihat raut datarnya setiap hari membuatku ingin menarik bibirnya agar melengkung"

"Selamat mencoba" ucap Albert hendak keluar dari kamar Lina.

Lina menggunakan sihirnya, ia menangkap Albert yang mencoba keluar lalu kembali menariknya kedalam. "Siapa bilang ini juga bukan tugasmu!"

"Hah, baiklah. Kau lucu Lina, mengajari patung tersenyum butuh pengukir hebat"

.

.

.

Tbc 

Btw, aku bingung. Kenapa please, attention kalian masih di waktu aku yang sakit masuk ruang isolasi😂

Kalian gk lupa arsipkan cerita sebelum baca kan? Soalnya setiap pindah ke yang paling bawah, pasti isinya aku ubah... 

But It's okey, gk papa🤣

Sniper Mate: Demon BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang