48.Memaafkan

406 30 1
                                    


                   ~Dendam itu penyakit,
                         bukan keinginan.~

                                     ****

Kay bukan orang yang sejahat itu, ia juga masih mempunyai hati nurani. Ibunya memang telah sangat jahat padanya, tapi kalau seperti ini akhirnya, tembok pertahanan Kay perlahan mulai runtuh, karena walau bagaimanapun, Ibu adalah orang yang sangat-sangat penting dalam hidup. Wajah angkuh Kay perlahan pudar. Ia menarik tangan Andini agar tak bersujud lagi padanya. Setelahnya, ia memeluk Andini dengan sayang, jelas Andini membalas pelukan itu, suasa semakin haru saat Kay memeluk erat Andini. Andini menangis dalam pelukan itu, selama belasan tahun, putranya ini terpisah dengannya.

"Maafin, Mama Kay," ucap Andini tersedu-sedu. "Mama gak pernah anggap kamu, tapi Mama sayang sama kamu." Lanjut Andini. Kay sama sekali tidak bisa menjawab ia menumpahkan segalanya dalam pelukan Andini.

Setelah lamanya berpelukan dengan Andini, Kay melepaskan pelukan itu dan mulai memandang Vino. Mereka saling bertatapan. Teringat masa kecil yang pernah mereka alami berdua, dari kecil Kay dengan Vino memang sering bertengkar. Tapi, itu hanyalah pertengkaran sepele, sampai akhirnya, takdir memisahkan mereka berdua dan benci mulai tumbuh di hati masing-masing.

"Gue tahu, lo bukan pendendam." Ucap Vino, seraya menatap mata Kay.

"Gue juga bukan orang brengsek kaya lo." Balas Kay.

"Brengsek-brengsek gini, masih punya hati." Kata Vino enteng.

Terdiam beberapa saat, lalu Vino memeluk dengan erat adik kesayangannya itu, layaknya seoarang Kakak pada adik laki-lakinya. Vino juga merasakan itu, ia capek bila bertemu Kay harus pura-pura benci, padahal ia sama sekali tidak menyimpan rasa benci di hatinya untuk Kay. Ia sadar, sebrengsek apapun Kay, itu bukan kemauan hati nuraninya.

"Tinggal di rumah ayo, tapi jangan sama gue tidurnya, gay lagi nanti lo." Ucap Vino disela pelukannya.

"Nazisssss." Jawab Kay enteng. Sifat keduanya, sudah kembali seperti semula.

Tak lupa Kay juga memeluk Ayah barunya,  yang juga Ayah Keyra. Walaupun seragamnya sangat kotor tapi Dhito tetap mau berpelukan dengan Kay, begitupun yang lain. Karena momentum ini adalah, momentum yang paling dinanti-nanti oleh mereka bertiga.

Vino memang awalnya tidak menerima, kalau Andini harus membebaskan Dhito dan menikah dengan Dhito. Ia sangat marah saat itu pada Andini, begitupun Karin. Tapi, semakin lama ia harus sadar, kalau semua sudah terjadi, mau semarah apapun, ia tak bisa mengubahnya. Vino sebagai anak juga harus paham, Andini pasti merasa kesepian kalau menjadi single parent. Perlahan, Vino menerima dan ternyata, Dhito sangat baik pada Vino, lebih baik dari pada yang ia bayangkan. Dhito sangat sabar serta penyayang, makin lama. Vino merasakan, Dhito benar-benar bisa menjadi sosok figur Ayah baginya. Tapi kenyataan yang teramat pahit adalah, ia harus menerima Keyra sebagai Adiknya.

"Maafin Ayah Kay, Ayah memang tidak bisa mengantikan posisi Ayah kandungmu, tapi Ayah akan berusaha untuk menyayangimu dengan sangat tulus." Ujar Dhito lembut.

"Ma ... Kasih ... yah." Jawab Kay terbata-bata. Semua bernafas lega. Kay masih tak menyangka, akan dengan mudah menerima orang baru ini. Tapi, ia harus sadar, bukan hanya Dhitolah yang ingin hidup bersama dengan Andini. Tapi, Andinipun sama.

Pelukan yang berlangsung beberapa detik itu terlepas. "Kamu maukan maafin semuanya dan kita hidup satu keluarga bersama?" Lirih Dhito pada Kay.

Kay menatap ketiga orang tersebut dengan ragu. "Aku gak bisa, Nenek akan marah besar kalau aku, tinggal bersama kalian." Ucap Kay jujur.

BAD LIAR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang