17 || Jarak

1.6K 112 0
                                    

Emosi yang tadinya meledak-ledak langsung saja membaik setelah Arby mengajaknya ke sebuah toko buku yang cukup besar di kota itu.

Rasa dendam, kesal, dan ingin menonjok Agnan langsung tergantikan perasaan hangat saat ia berjalan berdampingan dengan Arby memasuki toko.

Icha tersenyum tipis saat menyadari ia begitu dekat dengan Arby sekarang. Sudah lama ia memimpikan hal ini, dan Icha sedikit tidak menyangka bahwa ini terwujud.

"Lo kalo mau liat-liat silakan, gue mau nyari buku Dasar Matematika dulu," ujar Arby saat keduanya sudah berada di antara rak-rak yang berisikan beribu-ribu buku baru.

Icha mengangguk mengerti, "Sesuka itu ya sama Matematika. Perasaan buku lo udah banyak deh."

Ini beneran. Selama mengenal Arby, Icha kerap kali melihat cowok itu membawa beragam macam buku tentang Matematika. Dan itu semua hak miliknya, bukan pinjam dari perpustakaan. Ada sih sebagian, tapi gak banyak.

"Sesuka itu," jawab Arby pendek sembari mengulas senyum tipisnya. Cowok itu segera beranjak dari sana, memulai perburuannya hari ini.

Icha yang ditinggal sendiri pun hanya bisa menghela napas pelan. Sudah terlalu terbiasa dengan sikap cuek dan acuh tak acuh dari Arby.

Untuk membunuh kebosanan, Icha memilih melihat-lihat novel karya penulis lokal maupun luar. Meskipun sekarang ini ia tidak berminat untuk membeli, karena memang di rumahnya masih banyak novel yang belum ia sempat tamatkan.

Selang beberapa menit, sosok Arby kembali. Cowok itu tampak membawa dua buah buku Matematika yang cukup tebal. Mengundang sedikit ringisan kecil Icha. Meskipun Icha tergolong murid yang pandai, tapi ia termasuk orang yang sedikit tak suka dengan Matematika.

Kalau disuruh memilih, Icha akan lebih pilih Kimia daripada Matematika. Meskipun kedua mapel itu masih sama-sama membahas rumus-rumus angka yang bikin mual.

"Lo mau beli novel?" tanya Arby saat Icha hanya terdiam melihat ke arahnya.

Icha refleks menggeleng pelan, "Enggak kok. Cuman liat-liat aja."

"Oke. Kalau gitu, lo bisa tunggu gue di luar. Mau ke kasir dulu."

"Iya." Icha berujar mengiyakan sebelum ia melangkah keluar terlebih dahulu dari toko. Tak lupa ia meletakkan kembali novel romance yang sempat ia baca blurbnya di tempat semula.

Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Langit tampak sedikit mendung. Suasana parkiran di toko buku tersebut cukup ramai, dan pengunjung kebanyakan dari kalangan anak sekolah dan anak kuliahan.

Itu jelas terlihat dari beberapa remaja yang masih memakai seragam, sama seperti Icha dan Arby saat ini.

"Kita makan dulu nggak papa, 'kan?"

Pertanyaan itu sedikit membuat Icha tersentak dari aksi mengamatnya. Ternyata Arby sudah ada di depannya. Tangan cowok itu tampak menenteng kantung plastik berlogokan nama toko buku tersebut.

"Nggak papa, kebetulan juga gue lagi laper. Hehe," jawab Icha dengan kekehan di akhir kalimatnya. Membuat Arby hanya mengangguk.

Keduanya pun segera masuk ke mobil, bersiap menuju tempat makan. Jalanan di sore hari ini cukup ramai, itu sesuatu yang wajar karena sekarang jam pulang kerja.

Untungnya mereka tidak terjebak macet dan bisa sampai di sebuah restoran cepat saji kurang lebih setengah jam.

"Ini baru pertama kali kita makan bareng kayaknya, ya, Cha?"

Icha sedikit tersentak mendengar kalimat itu. Mereka baru saja duduk dan memesan makanan pada pelayan.

"Hehe, gak kok. Kita kan dulu pernah ikut olimpiade bareng, pernah makan bareng sama anak-anak juga, kan?"

"Itu beda lagi. Pas olimpiade itu kita kan banyak, ada sekitar sepuluh orang. Maksud gue di sini itu, ya cuma kita aja. Lo dan gue."

Diam-diam hati Icha sedikit menghangat mendengar itu. Ia jadi benar-benar yakin kalau sifat dingin dari cowok itu sudah mulai mencair, dan itu adalah sesuatu yang baik untuknya.

"Kalau berdua, baru kali ini." Icha menyetujui sembari mengulas senyumnya.

"Lo pasti mikir, kan, kenapa akhir-akhir ini sikap gue ke lo beda. Padahal selama ini gue sering banget cuekin lo," ujar Arby dan itu membuat Icha sedikit terdiam.

Hal itu sebenarnya sudah lama ia pikirkan, tepatnya saat pertama kali Arby menawarinya minum pada pertemuan peserta olimpiade kala itu. Menebak-nebak sendiri mengapa sikap cowok itu perlahan mulai mencair.

"Iya sih, gue agak heran. Tapi apapun alasan lo, ya nggak papa. Mungkin lo baru nyadar kalo gue itu orangnya nyenengin buat diajak ngobrol," ujar Icha dengan percaya dirinya, tak lupa ia terkekeh. Sedikit cringe dengan ucapannya sendiri.

Arby yang mendengar hal itu pun sontak menggeleng pelan dan mengulas senyum. Sedikit tidak menyangka bahwa perempuan di depannya ini ternyata sedikit 'asyik'.

"Iya, lo emang nyenengin sih. Gue akuin itu."

"Nah, kan. Apa juga gue bilang, hehe."

Lagi-lagi Icha terkekeh, tak bisa membuat Arby menahan senyumnya lagi.

Tak lama kemudian pelayan datang membawa pesanan mereka berdua. Setelahnya, Arby dan Icha segera menyantap pesanan masing-masing sembari saling melempar ucapan.

Dan saat ini Icha benar-benar cukup bahagia. Bahagia bisa lebih dekat dengan orang yang sudah ia sukai lama itu. Melupakan fakta bahwa tadi siang ia baru saja bertengkar dengan Agnan.

***

Icha menutup pintu gerbang rumahnya ketika mobil Arby sudah melaju pergi. Ia baru sampai di rumahnya pukul 7 malam karena mereka mampir shalat terlebih dahulu di mesjid.

Mata Icha sedikit menyipit kala melihat pemandangan teras rumahnya. Tidak yang aneh sih. Karena di sana hanya ada Oma dan Agnan yang sedang duduk sembari mengobrol.

Tapi jujur saja saat ini Icha tidak ingin berurusan dengan cowok egois bin jahil itu. Pertengkaran mereka tadi di sekolah masih terekam kuat di ingatan Icha.

"Baru pulang, Cha? Dari mana aja?" tanya Oma saat Icha sudah sampai di dekat keduanya.

Icha terlebih dahulu menyalami punggung tangan Oma sebelum menjawab. "Kan tadi aku udah sms Oma mau jalan sama temen dulu, kan?"

"Iya sih. Tapi emang sampe selarut ini ya? Oma tadi khawatir lho."

"Maaf, Oma. Tadi Icha mampir shalat dulu di masjid baru pulang. Belum kejebak macet juga," ujar Icha tulus.

"Memangnya kamu jalan sama siapa? Ibel?"

Mendengar pertanyaan Oma, membuat Icha terdiam. Cewek itu sedikit melirik ke arah Agnan yang ternyata juga sedang menatapnya. Icha buru-buru mengalihkan pandangannya.

"Sama Arby, itu lho yang pernah ngajakin aku jalan juga," jawab Icha.

Oma tampak berpikir lalu mengangguk-angguk setelahnya. Perempuan tua itu kini sudah mengingat siapa Arby, sosok yang sudah dua kali keluar dengan cucunya namun belum pernah ia lihat bagaimana rupanya.

"Ya udah sekarang kamu masuk. Mandi terus makan," perintah Oma yang langsung diangguki oleh Icha.

Tanpa melihat ke arah Agnan lagi, Icha segera masuk ke rumah. Membuat Agnan yang merasa dicuekin hanya mendengkus pelan dan itu tak luput dari mata sang Oma.

"Kenapa? Lagi berantem ya kalian?" tanya Oma.

"Ya biasa Oma," jawab Agnan lesu, membuat Oma sontak terkekeh pelan.

"Kalian itu ya masih belum berubah juga. Dari kecil hobinya berantem terus, tapi ujung-ujungnya baikan lagi."

Mendengar ucapan itu sontak diamini dalam hati oleh Agnan. Cowok itu memang tidak pernah betah bertengkar lama-lama dengan Icha.

Nanti kan gak bisa ngusilin dia lagi.

All About Us [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang