Suasana lapangan utama Star High tampak ramai di hari Sabtu ini. Lapangan yang cukup luas itu tampak ramai oleh siswa-siswi SMP maupun dari Star High itu sendiri.
Hari ini merupakan event perlombaan dari ekskul Paskibra. Jam masih menunjukkan pukul 7 pagi namun sudah banyak yang datang, padahal lomba akan diselenggarakan jam 9 nanti.
Di pinggir lapangan sudah banyak stand yang berjejer milik beberapa ekskul yang ikut berpartisipasi. Mereka tampak semangat mempromosikan barang dagangan pada siswa-siswi yang datang.
Selain itu, dari beberapa kelas yang berada di lantai satu, tampak beberapa peserta lomba sedang mempersiapkan diri. Entah itu masih mengurusi kostum ataupun latihan.
Dari arah ruang OSIS, terlihat Icha yang baru saja keluar sembari menenteng sebuah kantung kresek berwarna putih. Tampilan gadis itu tampak santai dengan balutan kaos lengan panjang merah muda dipadukan celana panjang berwarna senada. Event Paskibra ini memang memperbolehkan para pengunjung untuk berpakaian bebas, asal sopan.
"Mau kemana?"
Langkah Icha refleks terhenti ketika di depannya berdiri seorang cowok. Gadis itu sedikit terkejut melihat pemandangan di depannya.
"Ini ... mau nganterin sisa puding ke stand OSIS. Lo ... dateng?" tanya Icha heran.
Arby yang ditanya begitu sedikit meringis pelan. Pasalnya semalam ia sudah mengatakan kepada Icha bahwa ia tak akan datang. Namun sekarang ia malah berdiri di depan gadis itu.
"Tadinya enggak, tapi Vena maksa gue buat dateng. Katanya itung-itung buat refreshing juga."
Icha diam-diam menghela napas beratnya. Cowok di depannya ini datang karena Vena, bukan karena dirinya. Tapi entah kenapa Icha tidak merasakan sesak yang seringkali ia alami kala Arby lebih mementingkan sahabatnya daripada dirinya. Icha hanya sedikit tidak nyaman akan hal itu. Sulit dijelaskan.
"Oh, kalo lo mau puding dateng ke stand OSIS aja, ya. Tapi biar pun lo pacarnya ketos, lo tetep gak dapet diskon, hehe," sahut Icha seraya terkekeh pelan. Mau tak mau Arby pun ikutan terkekeh.
"Lo cantik kalo rambutnya dikuncir," ujar Arby sembari memperhatikan penampilan Icha yang memang hari ini sedang menguncir rambut sepunggungnya.
"Oh, ya? Jadi kalo gue gerai, gak cantik gitu?"
"Eh-- tetep cantik, kok. Tapi gue lebih suka kalo lo kuncir rambut." Arby berujar sambil memegang tengkuknya, kelihatan sekali cowok itu sedang salah tingkah.
"Hehe, bisa aja. Ngomong-ngomong gue--"
"ICHA!"
Refleks Icha menghentikan ucapannya kala teriakan Malvin menggema di ujung koridor. Cowok yang menjabat sebagai sekretaris OSIS itu tampak berdiri di sana seraya mengangkut sebuah dus di tangannya.
"Cepetan ke lapangan! Udah ditungguin!" teriak Malvin lagi. Membuat Icha mau tak mau melengos panjang.
"Gue duluan, ya, Ar. Kabarin aja kalo mau ketemu, bye," pamit Icha seraya melenggang dari sana. Meninggalkan sosok Arby yang masih bergeming.
Setelah sosok Icha dan Malvin sudah tak terlihat di pandangannya, Arby berniat melanjutkan langkah. Tapi sebuah tepukan di pundaknya, menghentikan pergerakannya.
"Mau kemana?" tanya Vena dengan mata penuh menyelidik. Gadis yang hari ini memakai dress hitam itu tampak membawa gelas kertas berisikan kopi susu yang ia beli di salah satu stand ekskul tadi.
"Gak kemana-mana," balas Arby pendek.
Vena tampak mengangguk-angguk paham, lalu kembali menatap Arby. Kali ini bukan tatapan menyelidiki yang ia beri, namun tajam.
"Tadi gue gak sengaja dengerin obrolan lo sama Icha."
Arby langsung menoleh dengan cepat, baru saja ia ingin protes, Vena kembali melanjutkan ucapannya.
"Dan gue agak menyayangkan pas lo bilang dia cantik kalo kuncir rambut. Itu malah bikin gue semakin yakin kalo lo emang pengen ngubah Icha jadi seperti Luna."
"Ven, lo salah paham."
"Gue gak tau harus ngomong apalagi sama lo, Ar. Udah berkali-kali gue bilang Icha sama Luna itu orang yang berbeda. Jangan pernah maksain Icha buat jadi Luna!" Kini Vena sedikit menaikkan nada suaranya. Untung saja suasana koridor sedang sepi, jadi tidak akan ada yang melihat perdebatan mereka berdua.
"Gue gak pernah maksain itu! Gue bilang Icha cantik karena dia kuncir rambutnya, bukan berarti gue pengen dia jadi Luna."
"Sadar, Arby!" pekik Vena dengan napas memburu. Mata gadis itu tampak berkaca-kaca.
"Luna itu perawakannya mirip sama Icha. Matanya, rambut sepunggung, warna kulit dan alis mereka hampir sama. Perbedaan paling kontras antara mereka cuman kebiasaan nata rambut. Luna lebih suka nguncir rambutnya, sedangkan Icha sebaliknya. Dan lo ... mau bikin Icha juga suka nguncir rambut?"
"Gue tau ini hal yang sepele dan sedikit gak masuk akal. Tapi gue tau, Ar, apa maksud lo ngelakuin ini semua. Lo ... belum bisa ikhlasin Luna dan sedang berusaha merubah Icha seperti apa yang lo mau."
Telak.
Wajah Arby mendadak pias mendengar serangan demi serangan yang ia dapat dari Vena. Karena kalimat-kalimat itu sama sekali tidak salah. Vena benar, sahabatnya itu memang selalu tahu dirinya.
"Terus gue harus apa? Lo pikir segampang itu buat ikhlasin Luna setelah apa yang udah kita laluin sama-sama. Luna, cinta pertama gue, Ven. Dan lo tau itu," ujar Arby dingin.
"Tapi gak dengan ngelibatin Icha juga, 'kan? Dia itu tulus sama lo! Gue gak tau apa yang bakal terjadi kalo Icha tau lo nembak dia karena mirip sama Luna, cewek yang katanya cinta pertama lo itu." Vena berujar dengan nada sarkasnya.
Raut wajah Arby sedikit tak enak ketika mendengar kalimat terakhir Vena. "Apa maksud lo?"
"Belum paham juga? Lo bisa aja nyakitin Icha dengan nerusin hubungan kalian ini. Kalo lo belum bisa ikhlasin Luna, jangan ngelibatin Icha. Jangan egois, Ar," tekan Vena rendah. Sudah tak tahu harus mengatakan apa lagi supaya sahabatnya ini sadar.
"Gue gak bakalan putusin Icha," kata Arby dengan nada dingin, membuat Vena menghela napasnya berat.
"Terserah! Jangan cari gue kalo lo ada masalah sama dia!" sembur Vena emosi seraya melenggang dari sana. Perempuan itu tampak benar-benar sudah pasrah dan menyerah menasehati sahabatnya. Arby terlalu egois, dan Vena tidak bisa mencegah hal itu.
Arby hanya menatap kepergian Vena dengan tatapan yang sulit diartikan. Jauh dalam lubuk hatinya, ia ingin mengakhiri hubungannya dengan Icha. Tapi otaknya menyuruh untuk tak melakukan hal itu. Arby butuh seseorang yang mirip Lunanya. Dan kriteria yang memenuhi hanya ada dalam diri seorang Icha.
Diam-diam Arby menepis rasa bersalahnya. Nyatanya, sekuat apapun ia mencoba untuk menyukai Icha, ia tak bisa. Gadis itu ia pertahankan karena kemiripannya dengan Luna. Katakanlah bahwa Arby egois dan tak tahu diri. Ia tak akan peduli, yang terpenting ia tetap bisa melihat wujud yang mirip Luna walaupun keduanya orang yang berbeda.
"Maaf, Cha. Gue cuman sayang sama Luna, cewek yang mirip sama lo."
Dan Arby tak tahu saja, dari jarak beberapa meter tempatnya berdiri, ada seseorang yang mendengar semua obrolan mereka tadi. Seseorang yang tengah memakai seragam Paskibra itu tampak mengepalkan tangannya dengan napas yang memburu.
Icha telah dipermainkan.
A/n :
Ini kejutannya wkwk :v ada yg tau yg nguping itu sapee?
Akhirnya ada yg tau alasan Arby nembak Icha selain Vena '_'
Minal aidzin walfaidzin teman-teman wattpadkuh🙏💙
Find me on instagram
@susiayuningsii
KAMU SEDANG MEMBACA
All About Us [Terbit]
Teen FictionNatarisha Khumaira, gadis yang sering disapa Icha ini harus melewati masa SMA-nya dengan satu kelas bersama Agnan. Tetangga sekaligus teman kecilnya yang hobi sekali mengganggunya. Mereka tidak sahabatan, walaupun memang mereka tumbuh dan berkembang...