🌻26

31 6 0
                                    

"Maaf, nomor yang Anda tuju---

"Aish, Ayah kemana sih?"

Niatnya ingin menemui Pram karena hari ini pria itu berulang tahun. Akan tetapi malah mendapati tanda 'Rumah ini dijual' menempel di pintu gerbang rumah tersebut. Apalagi Pram tidak bisa dihubungi, nomornya tidak aktif membuat April semakin berprasangka buruk.

April mencoba menelpon nomor yang tertera, namun bukannya suara Pram, malah operator.

"Kalau Ayah nggak tinggal di rumah, terus... Ah! Jangan-jangan Ayah ada di apartemen."

April teringat, mereka pernah tinggal di apartemen selama tiga tahun dan memutuskan pindah ke rumah itu ketika April hendak masuk SMA.

"Ya, Pril?"

"Ja, temenin gue ke apartemen Ayah."

"Kapan?"

"Sekarang."

"Kalau sekarang ngga bisa. Gue lagi nemenin Mami di acara kawinan nih."

"Kalau sore ini gimana?"

"Oke."

April menutup telponnya, lalu berjalan menuju halte. Saat ini dia sedang tidak ingin pulang. Alhasil, April hanya duduk termenung di dalam bis tanpa berniat turun. Padahal sudah sampai di perhentian akhir. Jika petugas tidak memanggilnya, mungkin April tak akan keluar dari dalam bis.

Masih tengah hari, terlalu awal untuk pulang. Apalagi jika sudah kembali ke rumah itu, April sulit untuk menemukan alasan untuk pergi lagi.

"Oi, Habanero!"

April menghentikan langkahnya sambil celingukan, lalu kedua netranya mendapati Elang berdiri di seberang jalan sambil melambaikan tangan ke arahnya.

"Gini amat jadi orang eksklusif, mereka pada rela panas-panasan cuman buat lihat gue nyebrang doang."

"Itu karena lampu merahnya nyala, Nyet! Nggak usah sok eksklusif. Halu!"

"Oho, gue nggak halu ya. Buktinya lo aja nungguin gue. Ehehe"

April tersentak, lalu bergegas berjalan. Dirinya baru tersadar mengapa tadi malah diam di tempat seakan menunggu Elang menghampirinya.

"Santai aja, Pril jalannya. Nggak usah maraton. Menang pun nggak bakalan dapet hadiah."

"Tch! Ngapain lo ngikutin gue?"

"Karena gue penasaran. Ngapain lo tadi jalan sambil bengong kek orang linglung? Kalau nggak gue panggil, hampir aja lo nabrak tiang."

"Eh!"

April kaget ketika Elang tiba-tiba menahan dahinya, membuat langkahnya tiba-tiba terhenti.

"Tadi tiang, sekarang pohon."

"Apasih?"

April menepis tangan Elang yang masih memegangi dahinya. Lalu baru tersadar kalau di depannya ada pohon menjulang.

"Gue cuman takut tuh pohon roboh gegara di tabrak sama lo."

"Tch!"

"Oho! Keknya enak tuh."

"Apaan?"

"Burger Super!"

Elang nyengir sambil menunjuk ke arah bangunan seperti kafe di depan sana.

"Ayok! Kali ini gue yang traktir."

Elang menarik tangan April, padahal gadis itu belum sempat mengiyakan.

"Lo tunggu sini. Jan kabur! Lo kan nggak hapal jalanan sini. Entar kesasar lagi." Kata Elang sebelum meninggalkan April untuk memesan makanan.

Dan anehnya, April menurut.

IrreplaceableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang