31. KEHILANGAN

975 78 1
                                    

Sabiru diam-diam menatap kamar yang sebelumnya selalu berisik itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

Bayangan Edelweis yang sok sibuk ngerjain PR, joget-joget ngga jelas, tiba-tiba terlintas di kepalanya dan seakan tergambar jelas di pintu kayu itu.


Biru menghela nafas, berpikir sejenak. Apa memang sedahsyat itu efek Edelweis pergi meninggalkan rumah ini?


Meski begitu Biru tetap mengakui, kehadiran Edelweis mampu membuat Jesi sedikit lebih ceria dari biasanya, mengingat fakta bahwa beliau sangat menginginkan anak perempuan.


Sabiru pun memutuskan kembali ke kamar. Jujur saja, hatinya tak dapat dibohongi, ia benar-benar ingin membuka pintu mantan kamar Edelweis dan melihat apa yang berubah setelah gadis itu pergi.

Pada akhirnya cowo itu mengalah, ia keluar lagi dan kali ini Biru benar-benar memutuskan untuk memutar gagang pintu kamar yang telah kosong tersebut.

Tatapan mata Sabiru langsung mengarah pada seonggok kertas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Hm lumayan, kasurnya keliatan rapi kaya di hotel berbintang.

"Gue serius soal ucapan gue tadi malem, dan gue harap lo ngga muncul lagi di depan gue karena itu bisa bikin gue gagal lupain lo, Ru" Sabiru membaca tulisan tangan Edelweis dengan seksama.

Iyalah, tulisan Edelweis, ngga mungkin banget tulisan kang sayur depan komplek.

Sabiru mencoba mengingat-ingat kalimat yang dimaksud Edelweis.

"Lo tuh aneh tau, ngga?" Sabiru malah balas mengomeli kertas yang masih setia ia genggam.

Tak lagi menemukan hal lain yang janggal, cowo itu memilih keluar. Dan tepat saat Biru memutar knop pintu, terdengar suara teriakan mamanya dari bawah.


"Biru! Makan malam dulu sini"


"Udah kenyang, Ma!"

"Kenapa, sih, dari tadi pagi kenyang mulu perasaan" tanya Jesi seraya menaiki anak tangga menyusul sang anak.

"Serius, Biru udah kenyang"


"Makan dikit aja, itu papa udah di bawah"

Sabiru spontan menegakkan badannya "Serius papa pulang?" Tanya Sabiru memastikan.

"Iya, niatnya kita bertiga mau berkunjung ke rumah Bunga buat bahas kelanjutan hubungan kalian"

"Mama apaan, sih, kenapa harus kesana segala?" Sabiru berujar malas.

"Ya harus dong, kita mau besanan jadi mesti sering ketemu"

"Ck"

"Eh, kamu udah ketemu sama Edelweis, Ru? Gimana, sekarang dia tinggal dimana? Tempat tinggalnya layak, kan?"

"Be-belum, Ma, tapi Biru janji bakal cari dia sampe ketemu"

"Mama percaya sama kamu. Yaudah ayo, turun, makan dulu"

Sabiru mengalah, ia melangkah mengikuti Jesi turun menuju ruang makan, biasanya di meja ini selalu rame karena ulah Biru yang ngga pernah bosen buat ledekin Edelweis.

Tapi sekarang?

Semua kembali seperti semula, bahkan anyep banget. Yang terdengar hanyalah suara dentingan sendok dan piring.

"Biru, selesai makan kamu ganti baju, ya, kita ke rumah Bunga"

"Iya, Pa"


Kalo Papa sudah berusara, Biru bisa apa? Cowo itu menghela nafas pasrah. Menolak pun hanya akan memancing keributan baru.


Jujur saja ia sudah lelah, selama ini merasa banyak mengalah demi menuruti segala kemauan kedua orang tuanya. Tapi kodratnya sebagai anak cukup membuat Biru sadar akan kewajibannya.


Dan ternyata benar, rupanya Sabiru beneran di ajak ke rumah Bunga. Actually Biru lumayan males. Tapi masa iya harus kabur lagi, kan kemarin udah.

Maka dari itu Sabiru hanya bisa mengikuti kemauan kedua orang tuanya sambil membisukan diri alias dia pura-pura sariawan.

Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, mereka bertiga pun sampai di depan rumah Bunga.

Rumahnya masih sama besarnya, warna rumput di halaman rumah juga masih hijau belum berubah jadi ungu.

Pohon mangga di pojok halaman juga masih berbuah mangga belum jadi rambutan atau manggis.

"Kata Isna kita langsung masuk aja" ujar Jesi memecah keheningan.

Jesi sontak melangkah mendahului keduanya, masuki rumah mewah tersebut meninggalkan suami serta anak semata wayangnya.

"Papa harap kamu udah memikirkan segalanya dengan matang, Biru" bisik Bram tepat ditelinga Sabiru.

"Biru yakin papa paling tau gimana keadaan aku, aku harap kali ini papa berpihak padaku"


Bram melangkah masuk menyusul istrinya tanpa berniat membalas kalimat memohon Sabiru.












LIVING WITH MY ENEMY [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang