46. PUTUS ASA

744 65 4
                                    

Edelweis memasuki sebuah ruangan VIP yang kini ditempati Biru, setelah sebelumnya dia juga mengunjungi Ezra di ruangan yang terpisah.

Sudah seminggu lebih sejak Edelweis bertemu Anton di hari itu dan sudah seminggu pula Sabiru serta Ezra dirawat di rumah sakit.

Tante Jesi dan Om Bram barusan pergi keluar untuk mengisi perut, maka dari itu Edelweis datang untuk menggantikan mereka berdua menjaga Sabiru.

"Ru, gue tau lo pasti denger gue, kan? bangun, dong, gue kangen"

"Gue kangen dimarahin lo, kangen diusilin, gue kangen sama lo yang nyebelin ngga ada akhir, bangun, ya, semua orang nunggu lo disini"

Edelweis berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis, tapi air matanya terlanjur turun membasahi pipi serta tangan Sabiru yang digenggamnya dengan penuh perasaan.

"Lo harus janji ke gue buat bangun, dan kita kasih Deva pelajaran sama-sama biar dia ngga bisa semena-mena sama lo lagi"

Edelweis semakin terisak, dadanya sesak, hidungnya terus mengeluarkan cairan yang akan langsung ia hapus secara kasar.

"Deva pasti kangen sama Kak Sabi" kata Edelweis lirih.

Seakan sudah tak mampu untuk melihat keadaan Biru yang begitu menyedihkan, Edelweis pun bangkit lalu keluar dari ruangan.

"Besok gue kesini lagi, Ru" gumam Edelweis sebelum menutup pintu.

Semakin hari ia merasa semakin tidak tahan, maka hari ini Edelweis memutuskan untuk menerima tawaran Anton minggu lalu.

Beruntung, ketika gadis itu menutup pintu, Jesi datang dari arah yang berlawanan. Edelweis berpamitan sebelum beranjak pergi meninggalkan ruangan Biru.

Setelah menghubungi Anton lewat ponsel untuk bertemu di suatu tempat, Edelweis lantas bergegas ke lokasi sebelum ia kembali berubah pikiran.

----

"Ternyata dugaan gue bener, cepat atau lambat lo bakal ngehubungin gue" Anton berujar santai.

"Lo ngga usah kepedean, semua gue lakuin demi keadilan atas Biru juga Ezra"

"Ya terserah lo aja, tapi mulai sekarang kita jadian, deal?"

Edelweis mematung sejenak sambil berdoa dalam hati semoga saja ini bukan keputusan yang salah "Ya, gue setuju"

"Inget, lo ngga boleh pergi tanpa seijin gue, ngerti?"

Edelweis mendengus tapi pada akhirnya dia mengangguk lemah, apalah dayanya.

"Sekarang lo kasih tau gue siapa orang yang udah tega nabrak Biru?"

Anton menyodorkan sebuah tape recorder "Nih, lo dengerin sendiri suara rekaman ini"

"Gue ngga mau! Lo ngga waras, ya, ini menyangkut nyawa orang"

Edelweis merasa tak asing dengan suara itu, ia pun mendongak dan menatap Anton penuh tanda tanya.

"Iya itu suara gue, tapi lo bakal lebih kaget denger suara berikutnya"

Edelweis pun melanjutkan rekaman yang sempat ia pause.

"GUE ENGGA PEDULI! LO DENGER, YA, ANTON GUE NGGA PEDULIIN SIAPAPUN TERKECUALI BIRU!"

Tangan Edelweis mengepal, ternyata dugaannya benar.

"Tapi Biru juga bakalan celaka kalo lo nekat, bodoh!"

"Setidaknya itu lebih baik daripada Biru jatuh ke tangan Edelweis, gue ngga ikhlas lahir batin"

"Bener-bener sinting lo"

"Ngga usah sok suci, lo juga pengen banget kan ngegebet Edelweis?"

"Tapi gue masih waras, dan otak gue masih berfungsi ngga kaya otak dan hati lo yang udah mati rasa!"

"Kurang ajar! Lo liat aja apa yang bakal gue lakuin ke Biru biar pujaan hati lo itu nangis-nangis!"

"Jangan macem-macem lo, bangsat!"

"Cuma semacem, kalo lo ngga bisa bantuin gue, it's oke gue masih punya solusi lain"

Tak.

Rekaman itu berakhir, Edelweis mendengus, tiba-tiba ia menyesal telah menerima tawaran Anton.

Kalo bukti hanya suara begini polisi mana percaya, lagian belum terbukti juga siapa orang suruhan Bunga.

"Lo ngga usah khawatir, gue pegang plat nomor mobil yang dipake buat nabrak. Gue yakin polisi punya saksi yang ngelihat plat nomor pelaku saat kejadian" ujar Anton seakan tau apa isi pikiran Edelweis.

"Kalo gitu buktiin omongan lo di kantor polisi"

Anton mengangguk dengan girang. See, tanpa bantuan Bunga pun sekarang dia bisa ngedapetin Edelweis dengan mudah.
















Ayo bantu cari typo gez

LIVING WITH MY ENEMY [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang