38. DATAR

831 74 3
                                    

Sabiru seakan ditimpa atap rumahnya saat itu juga. Atas dasar apa mereka nuduh Biru seenaknya seperti itu.

Biru benar-benar sudah tidak mengerti jalan pikiran orang-orang yang dangkal tersebut.

"Ma, aku ngga ngelakuin apa-apa" sangkal Biru berusaha membela diri. Ia bersumpah, jika Bunga bukan perempuan, dia pasti sudah menendang perutnya saat itu juga. Sialan, rencana seperti apa lagi yang ada di pikiran cewe licik itu.


"MANA BUKTINYA SAMPE KALIAN NUDUH BIRU SEPERTI INI?!" teriak Biru ke arah Diro, ia tak peduli apa itu etika, yang terpenting sekarang adalah keadilan, Biru harus menegakkan keadilan ia tak boleh terlihat lemah.

"BUAT APA BUKTI?! KAMU SATU-SATUNYA COWO YANG DEKAT SAMA ANAK SAYA, SIAPAPUN JUGA JIKA DITANYA HAL INI AKAN MENJAWAB KAMU, BAJINGAN" Diro mendesis di akhir kalimat.

Sabiru mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, dia lalu meraih sebuah vas bunga di atas nakas lalu di hempaskan begitu saja hingga menimbulkan suara yang cukup membuat sakit telinga.

PRANGG!!!

"Sabar, Ru, mama percaya sama kamu" Jesi menepuk-nepuk lengan anaknya.


"Tapi mereka engga, Ma"


"Saya ngga mau tau, kamu harus nertanggung jawab sama apa yang sudah kamu lakukan!"

Keluarga Bunga lantas pergi setelah mengancam ini dan itu, Biru bahkan tak sempat mengomeli Bunga dengan berbagai umpatan karena cewe itu sudah lebih dulu diseret papanya keluar.

"Ma, kenapa jadi seperti ini? Udah Biru duga, Bunga itu licik dan hal ini yang ngebuat Biru ngga suka sama dia dari awal!"

Jesi tersentak mendengar penuturan anaknya "J-jadi kamu ngga setuju sama perjodohan ini?"

"Sejak kapan Biru ngomong iya, Ma?! Ngga ada sejarahnya kalo bukan mama yang minta" elak Sabiru meyakinkan Jesi.

"Terus apa arti selama ini kamu iya-iya aja pas ditanya Diro?"

"Biru ngga mau ngecewain mama, mama tau? Mama lebih berharga dari apapun" sekarang Sabiru menunduk, menatap lantai yang bisu atau sandalnya yang baru mungkin.

"Maafin mama, Ru, selama ini mama ngga pernah ngertiin perasaan kamu" Jesi sudah terisak di pelukan anak semata wayangnya, disaat-saat seperti ini ia malah teringat Edelweis.


"Kamu suka Edelweis?" Pertanyaan Jesi membuat Biru menahan nafasnya sebentar, bahkan ia sendiri tidak tau jawabannya.

Mungkinkah ini perasaan sebenarnya yang akan menetap atau hanya sekedar angin lalu yang berniat singgah sebentar lalu pergi?

Biru ngga tau, dia sudah cukup pusing hari ini.

----

Kemarin malam ketika papa pulang, Biru sama Jesi langsung di sidang mengenai keadaan rumah yang berantakan.

Biru ngejelasin semua tanpa terkecuali, papa berhak tau soal om Diro yang mengatainya dengan berbagai kata-kata kasar.

Sebagai lelaki tentu saja tak terima, tapi Biru ngga bisa berbuat apa-apa, apalagi ini orang tua.

Ah, sudahlah, meskipun itu orang tua kalo mereka salah juga tetap salah, kan?

"Kamu sudah menjelaskan ke Diro?" Reaksi papa hanya seperti itu, mungkin dia masih setengah tidak percaya, biarkan saja itu hak papa, yang terpenting sekarang Biru punya mama yang berada di pihaknya.

Kata papa, terkadang hidup memang seperti itu, kita perlu melewati suatu masalah untuk melihat hikmah di balik kerasnya kehidupan.

Untuk sekarang Biru pasrah, antara pernikahannya yang sebentar lagi, impian sekolahnya yang hancur, dan perasaan anehnya kepada gadis bernama Edelweis.

Biru melamun di depan jendela kamar, terlalu lelah hidup dibawah kendali orang lain seperti ini.

Dia harus bangkit.

Biru pun meraih ponsel berusaha menghubungi seseorang yang mungkin bisa membantunya memecahkan masalah.

LIVING WITH MY ENEMY [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang