14. PERANG BATIN

945 83 1
                                    

Edelweis meraih ponselnya malas ketika ia mendengar deringan yang cukup nyaring dari benda pipih berbentuk persegi panjang itu.

Melihat nama 'Meli' yang merupakan teman di tempat kerja paruh waktunya dulu, membuat gadis itu menggeser ikon hijau dilayar dengan cepat.

"Halo Mel-"

"EDELWEIS!! LO KEMANA AJA, SIH?! BOS MARAH-MARAH TERUS, NIH, PAS TAU LO NGGA MUCUL-MUNCUL DI TEMPAT KERJA" potong Meli dengan suara yang menggelegar sukses membuat Edelweis  menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Sabar elah, Mel, ini gue baru mau jelasin"

"Yaudah, apa?!" Tuntut Meli tak sabaran.

"Hm anu.. "

"Anu apa, sih? Shareloc coba, biar jelas gue otw ke rumah lo aja"

"Ru-rumah? Rumah gue udah digusur"

"WHAT?!! Terus, lo sama keluarga sekarang pindah ke mana?"

"Gue udah ngga punya siapa-siapa, Mel, please deh, kaga usah bikin gue kangen sama papa"

"Ma-maksud lo gimana?"

"Papa udah nyusulin mama"

"Hah? Sorry, Wis, gue ngga tau, turut berduka cita, ya"

"Selow aja kali, btw thanks"

"Jadi lo kapan mau balik?"

"Besok aja, deh, pulang sekolah gue mampir"

"Yaudah gue tutup dulu ya, sorry nih udah ganggu, soal bokap lo nanti gue bilangin ke bos"

"Ngga papa, makasih, ya"

"Sama-sama, Wis"

Tut.

****

Sabiru menatap ke sekelilingnya heran.

"Ma, bener ini rumahnya?" Tanya Sabiru memastikan.

"Iya, bener kan, Pa? Kenapa emangnya? "

"Hah ngga kok, ngga papa"

"Yaudah ayo masuk, kita udah ditungguin di dalem" Bram lantas memimpin keluarganya memasuki area bangunan megah itu.

Setelah tiga kali mengetuk pintu, tak berselang lama kemudian pintu dibuka oleh seorang gadis yang malam itu memakai gaun selutut berwarna putih bersih dengan hiasan berupa manik-manik di sekitar dadanya.

Firasat Biru mendadak memburuk.

"Selamat malam om, tante, ehm.. Sabiru"

"Selamat malam juga, Bunga" balas Jesi sumringah.

"Silahkan masuk, udah ditunggu papa sama mama di dalam"

Sabiru melirik Bunga curiga, sedangkan Bunga yang ditatap sedemikian rupa malah senyum-senyum ngga jelas.

Selesai makan dan membicarakan soal bisnis sebentar, kini tiba saatnya waktu yang ditunggu-tunggu oleh Bunga.

"Jadi Bram, gimana? Cocok kan kalo ngeliat anak-anak kita bareng gini?"

"Haha iya, Dir, tapi mereka udah gede jadi biarlah mereka memilih jalannya sendiri mau gimana"

"Iya juga, ya, apalagi kalo nanti udah nikah terus punya anak" lanjut Isna cepat.

"Kamu ini ada-ada aja, Na, mereka kan masih sekolah"

"Ya ngga ada salahnya kan kalo mereka kita suruh pendekatan dulu, iya ngga, Pa?" Ujar Isna seraya menyenggol lengan Diro meminta persetujuan.

"Maksudnya apa, nih? Biru mau dijodohin?" Tanya Sabiru spontan. Sepertinya sikap Bram yang kurang suka berbasa-basi menurun secara sempurna ke anaknya.

"Kenapa? Lo ngga mau, ya?" Tanya Bunga.

"Aku duluan semua, maaf Biru masih ada kepentingan" cowo itu mendadak berlalu pergi meninggalkan meja makan.

Bram dan Jesi lantas meminta maaf atas sikap anak mereka yang kurang sopan, mereka berdua pun ikut berpamitan menyusul Sabiru keluar.

Sampai di rumah, rupanya Jesi tak menemukan dimana keberadaan anak laki-lakinya. Bram hanya bisa menghembuskan nafas lelah seraya memijat pangkal hidungnya sebelum akhirnya memilih beranjak mencari keberadaan Biru diluar.

"Biru! Kamu dimana, nak?!"

Teriakkan Jesi menggema diseluruh sudut rumah, Edelweis yang mendengar keributan di luar lantas bergegas menghampiri Jesi yang berdiri di samping tangga panik.

"Tante, ada apa kok teriak-teriak?"

"Bi-biru, Wis, Biru tadi tuh pergi ngga bilang mau kemana, tante kira dia pulang tapi setelah dipanggil malah ngga nyaut-nyaut, kamu liat Biru, ngga?"

"Engga, Edelweis ngga liat siapa-siapa dirumah, tan"

"Duh gimana, ya? Biru ini kan belum pulih sepenuhnya"

"Terus om kemana, tan?" Edelweis celingukan mencari keberadaan om Bram.

"Om barusan pergi nyari Biru, tante khawatir itu anak tuh kalo ngambek suka ngelakuin hal ngga nalar" balas Jesi semakin tak tenang.

Kedua mata Edelweis sontak mendelik.

"Yaudah kalo gitu Edelweis pamit mau bantu nyari Biru, ya, tan"

"Ngga perlu, Edelweis, diluar udah malem lagian kamu belum hafal jalan sekitar sini, kan?"

"Ngga papa tante, Edelweis bisa tanya ke orang, Edelweis duluan ya, tan, Assalamualaikum"

"Hati-hati Edelweiss! Waalaikumsalam"

Edelweis terus menapaki tanah lembab di sekitaran taman yang berada di komplek dekat rumah Sabiru.

Sebenarnya ia sedikit tidak yakin akan menemukan Biru di tempat ramai seperti ini.

Namun nalurinya tiba-tiba menyuruh ia berbelok ke arah jembatan yang tampak melintang memisahkan tebing satu dan tebing lainnya di sebelah kanan taman.

Dan ternyata benar saja, kedua mata Edelweis menangkap sosok Biru tengah duduk di atas pembatas jembatan.

Sontak saja ia berteriak heboh.

"BIRU JANGAN MATI!!"

LIVING WITH MY ENEMY [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang