30. PERGI

966 81 6
                                    

Keesokan harinya, Sabiru tampak menuruni anak tangga sambil berteriak mencari keberadaan mamanya.

"Ma! Mama liat Edelweis, ngga?" Tanya Sabiru ketika melihat Jesi di ruang makan.

"Katanya semalem Edelweis udah ketemu keluarga jauhnya, Ru, jadi dia mutusin buat ninggalin rumah ini" ujar Jesi dengan murung.

"Ma, mama serius Edelweis ngga bohong soal ini? Bukannya mama juga tau, kalo Edelweis udah ngga punya siapa-siapa selain almarhum ayahnya?"

"Oh, iya, kamu bener. Masa iya Edelweis bohongin mama?"

"Tapi, Ma, kayaknya ini salah Biru, deh"

"Salah kamu gimana?"

"Biru harus ke sekolah sekarang, Ma!" Sabiru meraih tangan Jesi, menciumnya dengan gerakan kilat.

"Sarapannya?!"

"Udah kenyang!" Sahut Biru tak kalah teriak.

Di sepanjang perjalanan, Sabiru terus mengumpat, Kenapa jadi secemas ini, sih, biasanya kalo deketan Edelweis juga berantem mulu kerjaannya, ga pernah akur, kenapa sekarang beda.

Gue yakin lo belum jauh dari sini, Wis.

Namun nihil, sepanjang perjalanan menuju sekolah Sabiru tak menemukan Edelweis di jalan atau di selokan manapun.

Ya lagian Edelweis ngapain ke selokan.

Sabiru benci dirinya dan dia juga benci perasaan bersalahnya.

"Pak, liat Edelweis, ngga, cewe yang waktu itu Biru boncengin?" Tanya Sabiru setelah ia berlari menghampiri pos satpam.

"Engga, mas. Kayaknya belum dateng, deh, kalo Mba Bunga, mah, tadi saya liat, dia dibonceng cowo pake jaket hitam"

Sebenarnya Sabiru sedikit kepo soal Bunga, tapi kali ini ia rasa masalah Edelweis lebih penting.


"Ya udah, Pak, makasih, ya"


"Siap, Mas"

Sabiru kembali berlari mengelilingi sekolahan, masih pagi, diluar pun cahaya matahari terlihat malu-malu menampakkan diri, tapi Biru nyatanya udah keringetan.


"Ayolah, Wis, sekarang juga lo muncul, gue mohon" gumam Sabiru sambil sesekali menghembuskan nafas lelah.

"Ru, nyariin siapa? Sibuk amat" sapa Anton, ketua ekstra voli yang kebetulan mengenal Sabiru.


"Adalah, lo liat cewe rambutnya panjang—"


"Cewe rambut panjang, tuh, banyak, mbak di kantin juga rambutnya panjang terus yang suka nangkring di pohon malem-malem panjang juga"


"Liat Edelweis, ngga?"


Kayaknya percuma juga Biru bertele-tele sama Anton, yang ada keburu bel masuk dia masih debat didepan ruang olahraga gara-gara ributin hal yang ngga jelas.


"Oh Edelweis"


Fyi, setelah aksi Tasya nyebarin foto Edelweis digrup whatsapp sekolahnya, Edelweis jadi lumayan terkenal, Bung.

Tapi sayang, bukannya menikmati masa-masa kejayaan, sekarang Edelweis malah ngilang.

"Liat, ngga?"

"Engga"

"Yaelah, ngomong, kek, dari tadi!" Sungut Biru kesal.

"Eh, tapi lo ngapain nyari di— woi, elah, gue belum selesai nanya!"

Sabiru melenggang pergi meninggalkan Anton yang mendengus kesal karena tak mendapat jawaban dari pertanyaannya.

Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi, mau tak mau Biru harus masuk ke kelas dan mengikuti pelajaran seperti biasa.


Hanya saja bedanya- sekarang dengan pikiran yang semrawut.

Seumur-umur baru sekali ini ia mengabaikan penjelasan guru di depan dan parahnya cuma gara-gara edelweis doang.

"Sabiru, bisa tolong bantu Bunga ngambil buku paket di perpustakaan?"

Sabiru tersentak dari lamunannya saat mendengar suara Bu Hani yang membahana.

Dari sekian banyaknya murid cowo di kelas ini, kenapa harus Biru? Kan bisa si Ucup, kek, Unyil, kek, atau Pak Ogah sekalian.

Dengan amat sangat terpaksa, Sabiru berdiri menyusul Bunga keluar kelas.


"Lo kenapa dari tadi ngalamun, Ru, ada masalah?" Tanya bunga memecah keheningan.

Sabiru menduga, Bunga sudah tau perihal dia yang menyetujui rencana perjodohan itu.

Sabiru tetap diam, hanya matanya yang tak berhenti menatap kesana-kemari karena males bertatapan muka langsung dengan Bunga.


Dan saat itu juga kedua matanya membulat sempurna ketika ia mendapati seseorang yang sedari tadi dicarinya tengah menatap ke arahnya dari lapangan upacara.

Pasti terlambat terus dia dihukum. Batin Biru, menduga.

"Lo ngeliatin apa, sih? Ngga mungkin, kan, ngeliatin si cewe miskin itu?"


Bunga berkata demikian seakan-akan ia adalah orang terkaya di dunia. Biru jadi berdecih semakin malah meladeni gadis itu.

"Gak, gue lagi ngeliatin tiang bendera"

LIVING WITH MY ENEMY [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang