41. KESEMPATAN

874 83 15
                                    

Kini Sabiru dan Edelweis tengah duduk di atas rumput menghadap air mancur yang terletak di belakang gedung.

Dia tidak ikut mengantar calon— ehm maaf, maksudnya mantan calon tunangannya ke rumah sakit.

Acaranya gagal, but Sabiru malah ngerasa lega. Apalagi sekarang ada Edelweis, dia jadi kesenengan, jadi gini rasanya jatuh cinta?

"Gue mau lo pake cincin ini"

Detik itu juga nafas Edelweis tercekat, maksud Biru apa?

"Ngga harus sekarang, lo ngga usah panik gitu"

"Siapa yang panik?" Edelweis membuang muka mencoba tak menatap Sabiru.

Sungguh, sejak pengakuan Biru kemarin, Edelweis jadi ngerasa sedikit aneh atau lebih tepatnya canggung, mungkin setelah tau Biru juga punya rasa yang tak biasa.

Harusnya lo tuh seneng, Wis, astaga! Apa perlu gue masukin lo bimbel keasmaraan?

Tau, ah, pusing emang kalo bicara soal orang sejenis Edelweis dan Biru yang pengalaman bercintanya nol.

Ehmm.. Sorry koreksi, maksudnya pengalaman pacaran.

"Wis, lo marah sama gue?"

Edelweis spontan melirik Sabiru yang tengah khidmat menatap wajahnya dari samping.

"Gue ngga ada hak buat marah sama lo"

"Oh, ya? Kalo gitu gue bakal buat lo berhak marah sama gue"

Alis Edelweis terangkat sebelah "Caranya?"


"Nikahin lo"


----

"Bunga, tante ngga percaya kamu tega ngebohongin kita semua" ujar Jesi datar.

"Ma-maaf tante, Bunga cuma ngga mau kalo milik Bunga direbut orang lain, jadi Bunga terpaksa ngelakuin ini"

"Jesi, kamu ngga liat, anak aku lagi sakit gini tapi kamu malah marahin, gimana, sih?!" Isna mendengus berusaha memberi pembelaan terhadap anak semata wayangnya.

"Bener apa kata Isna, Ma, Bunga butuh istirahat. Udah, ya, kita pulang dulu aja, besok kesini lagi"

"Mama mana mau kesini lagi, kita batalin aja semuanya, mama udah muak, Pa!" Jesi lantas beranjak pergi meninggalkan Bunga yang menangis tersedu-sedu karena impiannya membina rumah tangga dengan Sabiru hancur dalam sekejap.

Setelah berpamitan, Bram menyusul istrinya yang sudah jalan terlebih dulu.


Sedangkan Bunga harus kembali menjalani sidang isbat yang digelar papanya secara tertutup dan sederhana.


Namun tetap saja, berhubung gadis itu adalah anak kesayangan, semua tingkah anehnya dimaklumi oleh orang tuanya.


Kadang, saking sayangnya mereka sama Bunga, mereka sampai lupa kewajibannya untuk mendidik seorang anak agar tak salah jalan kelak.


Bukan malah dibiarin, terus dimaafin, apalagi sampai didukung.  Hal itu hanya akan membuat sang anak tumbuh menjadi bocah manja yang tak tau susahnya cari uang.

Karena sudah terbiasa semua kebutuhan dikabulkan hanya dalam satu kedipan mata, Bunga bahkan tak tau caranya berterimakasih dan meminta maaf ataupun tolong.

Mungkin saking sibuknya, Diro dan Isna ngga ada waktu buat ngajarin anak mereka soal 5s.

Salam. Senyum. Sapa. Sopan. Santun.


"Bunga, papa tau kamu udah malu-maluin keluarga, tapi papa juga tau kamu pasti punya alasan, lain kali jangan diulangi" begitulah kira-kira pesan beliau, papa Bunga.

Hm, ada yang mau diangkat anak ngga kira-kira sam si om?

"Maaf Bunga, mama ngga bisa bantu kamu buat balik sama Biru, Jesi udah keliatan marah banget tadi" sambung Isna dengan raut putus asa.


"It's okay, Ma, Bunga masih punya papa yang bisa ngabulin semua permintaan Bunga. Iya kan, Pa?" Bunga menatap papanya penuh harapan.


"Bunga...."















Terserah si bunga aja deh terserah.....

Btw Sabiru, Edelweis, Bunga dkk mau mengucapkan maap lahir batin ya geng:3

Maapin juga kalo masih ada typo dimana mana^^ apalah daya aku ini hanya manusia biasa..

LIVING WITH MY ENEMY [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang