32. KEPUTUSAN

951 76 6
                                    

Di ruang tamu yang lokasinya lumayan jauh dari pintu masuk, mereka bertiga langsung disambut oleh Diro, Isna dan putri mereka yang tak lain adalah  Bunga.

"Jeng, gimana kabarnya?" Jesi langsung menghampiri Isna dengan antusias.

"Baik, kamu sendiri gimana?" Balas Isna seraya memeluk lengan Jesi.

"Sama, kita sekeluarga juga baik. Aku minta maaf, ya, pertemuan terakhir kita kurang mengenakan. Tapi kamu tenang aja, datangnya kita sekeluarga bawa kabar baik, kok"

"Semoga beneran kabar baik ya jeng" Isna tersenyum simpul sebelum mempersilahkan ketiga tamunta duduk.


Diro tampak melirik Bunga sekilas sebelum ia membuka suara "Jadi gimana, Bram? Rencana kita bakal dilanjut ke tahap lebih serius, kan?"


Bram lantas menyenggol lengan Sabiru "Tunjukkan kalo kamu emang pantas disebut laki-laki, Ru"

Ya ampun. Ngga harus dengan cara dijodohin gini juga kali, Pa, biar pantas disebut laki-laki sejati.

Sabiru menghela nafas pelan "Saya bersedia, om"

Meski matanya menatap tajam ke arah Diro, tapi Biru masih bisa melihat wajah kegirangan Bunga.

"Kalau begitu, ada baiknya sekarang kita bahas tanggal kalian akan tunangan"

"Tapi, om. Biru, kan, masih sekolah"


"Kamu tenang saja, semua bisa di atur, kita tinggal lakuin secara diam-diam"


"Diam-diam? Biru ngga ngerti"


Tampaknya Diro lebih memilih mengabaikan pertanyaan Sabiru, karena buktinya sekarang mereka membicarakan hal yang lebih serius lagi.

Disaat Isna mengajak semuanya untuk makan malam, tiba-tiba saja Bunga limbung ke arah Sabiru lalu pingsan begitu saja.


"Bunga!"


Kedua orang tua Bunga dan juga Sabiru tiba di rumah sakit, mereka langsung menghubungi dokter pribadi Bunga ketika pingsan tadi.


Dan kini, tante Isna tampak tengah menahan isakannya. Dia pasti hancur melihat anaknya down seperti sekarang.

Tak berselang lama kemudian, terlihat dokter pribadi Bunga keluar bersama beberapa perawat di belakangnya.

"Gi-gimana dok keadaan anak saya?" Tanya Isna yang dengan sigap langsung menghampiri dokter di depan pintu IGD.

"Keadaan pasien semakin memburuk, kalian benar-benar harus memperhatikannya dan juga membatasi kegiatan yang bisa menguras tenaganya, saya permisi dulu"

"Baik, dok, terimakasih"


Begitu dokter tadi pergi, Isna dan yang lain langsung menyerbu masuk ke dalam dengan sukarela dan mungkin hanya Sabiru yang terpaksa karena tangannya ditarik sama mamanya.

"Bunga?"

Bunga melirik mamanya dan bibir pucatnya pun tersenyum simpul.

"Kamu kalo sakit bilang sama mama, ya, jangan diem aja" Isna mengelus rambut Bunga penuh kasih sayang.

Binar dari matanya tak dapat berbohong kalo beliau benar-benar menyayangi Bunga.


"Iya, ma"

"Ada baiknya kita segerakan saja acara tunangan kalian. Siapa tau dengan adanya Biru, Bunga jadi semangat melawan penyakitnya dan dia akan segera sembuh" ujar Diro secara tiba-tiba.


Sabiru tersentak, masih untung dia mau tunangan. Eh, ini orang makin ngelunjak aja pake mau cepetin tanggal segala.


"Maaf, om, Biru ngga mau jadi bahan ghibahan anak satu sekolah"


"Tapi selama ini, kan, kamu emang udah jadi bahan ghibahan gara-gara deket cewe miskin itu" kata Bunga dengan gamblang.

"Cewe miskin siapa ya, Bunga? Setau om, Biru tidak pernah dekat dengan cewe manapun" kening Bram mengernyit dalam berusaha mengingat teman cewe Sabiru yang hanya beberapa biji saja.


"Yang pernah tinggal sama kalian, siapa lagi emang" balas Bunga malas.


Kali ini Jesi juga terlihat kaget, mungkin mama keinget Edelweis, soalnya setelah pergi dia ngga sempet hubungi mama lagi.

"Jadi kamu setuju, kan, Bunga?" Diro beralih menatap anaknya penuh harap.


"Setuju-setuju aja, pa" kata Bunga dengan mantap.


"Bagus, kalo gitu acaranya dua minggu lagi. Ingat, ya, Sabiru saya ngga mau ada drama kalo kamu mau kabur atau segala macam"


"Dua minggu? Apa ngga kecepetan? Anak-anak udah kelas 12, gimana kalo kita tunggu sampai mereka benar-benar lulus?" Tawar Jesi yang juga terkejut.

"Ngga bisa, Jes, Bunga butuh Sabiru" Isna memegang tangan Jesi memelas.


"Saya juga ngga mau dengar kata penolakan dari mulut kamu, Biru"


"Tenang saja, om, saya ngga berniat jadi buronan"


"Bagus, lebih baik kamu memang jangan mempersulit kami"


"Tapi, pa.." bunga tiba-tiba kembali angkat suara membuat seluruh pasang mata yang ada diruangan itu menatap penasaran kearahnya.

LIVING WITH MY ENEMY [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang