58. SIALAN

719 50 0
                                    

Brukkk!

Dukkk!!!!

Kedebukkk!!!!!!



"ARGHHH MAMA, SAKIT!" Teriak Edelweis sambil mengelus pantatnya yang baru saja menghantam lantai balkon.


Ya, dia baru aja jatuh dari kursi— eh bentar, jadi yang mellow-mellow tadi cuma mimpi?! Kembang tidur gitu?!


Wah, ashuw sekali everybody.


Edelweis menendang kursi dengan emosi, sungguh ia tak menyangka gara-gara beasiswa dia jadi kepikiran sampe kebawa mimpi segala.




Yang mau dapat beasiswa
siapa, yang ribut sampe kebawa mimpi siapa.




Edelweis mencoba memastikan dengan menelepon Kyla dan Dela, tapi ia tak percaya begitu saja. Ia masih takut ini semua masih bagian dari skenario mimpinya yang ngga indah-indah amat itu.



Maka dari itu, setelah menyelesaikan mandinya dan memoles wajah menggunakan arang dkk, Edelweis memutuskan untuk datang sendiri ke rumah Biru langsung.



Eh, bentar, yakin, nih, mau nyamperin cowo duluan? Ah, masa bodo biasanya juga begitu.




Seperti biasa Edelweis pergi menggunakan taxi. Oh, iya, ngomong-ngomong dia udah dipecat dari cafe tempat kerja partimenya.



Entah apa yang merasuki Bosnya sampai tega memecat karyawan rajin seperti Edelweis.

Iya rajin, kalian ngga percaya?

Rajin bolos kerja, rajin makan, rajin telat, rajin rebahan. Kita semua itu sebenarnya rajin, cuma caranya aja yang beda.

Ya ga?

Ya dong.

Kalo jawab ngga, kalian gue tendang.

#bercanda.



Setelah dipecat, tentu saja ia menganggur sampai sekarang dan hanya mengandalkan uang tabungan sisa gajian.



Setelah setengah jam, ia sampai di depan pintu gerbang rumah Biru, rumah itu keliatan sepi bahkan tak ada satu mobilpun yang keliatan di halaman rumahnya.



"Makasih ya, pak" kata Edelweis seraya menyerahkan beberapa lembar uang.



"Sama-sama neng"



Edelweis mengangguk sekilas lalu ia keluar menghampiri Pak Handoko.



"Pak, Biru ada?"



"Yah, baru aja pergi, mba, sama bapak terus ibu juga"



"Pergi bareng?"




Pak Handoko mengangguk "Iya, baru aja, belum ada 5 menitan"



Edelweis mendengus. Ya, elah, sia-sia dia bayar ongkos taxi buat dateng kesini.




Namun tiba-tiba ia keinget soal mimpi anehnya, apa mungkin Biru berusaha pergi tanpa memberitahunya?




"Pak, hm.. Biru bawa koper, ngga? Atau tas besar mungkin?" tanya Edelweis ragu, semoga saja ketakutannya tak terwujud.


"Bawa, mba, 2 malahan kayak mau liburan"




Seketika bahu Edelweis melemas, masa iya Biru setega itu, mereka, kan, baru aja baikan.



"Yaudah makasih, ya, Pak!" Edelweis mengirim pesan untuk Kyla dan mengatakan segala ketakutan yang tengah menyerang, tapi tak berselang lama Kyla justru balas menelepon, sekhawatir itu, kah, dia kalo gue bunuh diri?




"......"



"Gimana gue bisa tenang sedangkan status gue tengah dipertaruhkan?!" maki Edelweis pada benda mati di genggaman tangannya.



"......"




"Gue engga ada waktu buat dengerin ceramah dari lo, enak aja Biru mau ninggalin gue lo malah nyuruh gue leyeh-leyeh, mata lo bengkak"



"......."



"Heh, lo itu emang kurang ajar, ya! Dah, ah, gue matiin, mau ngehubungin calon suami dulu, bye!"



Edelweis mematikan sambungan secara sepihak, bukannya meringankan beban, ditelepon Kyla justru nambah pikiran.



Edelweis, pun, menghubungi Biru dengan cepat, semoga saja ponselnya masih aktif.


"Wis, dimana? Berisik banget"



"JALAN. RU, LO NGGA ADA NIAT BUAT NINGGALIN GUE, KAN?!" Tanya Edelweis yang kini menaikan suaranya beberapa oktaf seraya menutup sebelah telinganya.



Ia baru saja keluar area komplek, makanya keadaan sekitar semakin bising.



"Kenapa nanya gitu? Gue di bandara"



"NGAPAIN?"



"Wis, jangan teriak-teriak, ngga enak diliatin" tegur Biru dari seberang telepon.




"HAH, NGGA KEDENGERAN"



"Ya udah, aku whatsapp aja"



Kini giliran Biru yang mutusin sambungan, ngga papa, deh, ikhlas, udah berkorban pulsa, dimatiin pula. asal jangan mutusin hubungan aja.




Iya ngga, pemirsa?




Apalah dayaku. mas.




Ting!



Biru: mau liat aku, ngga? Sini ke bandara. Aku shareloc, ya..


Biru: send location



Edelweis keringat dingin, biru bilang, mau liat aku? Maaf, itu maksudnya apa, ya?



Tanpa memikirkan isi dompetnya yang bentar lagi mengkis-mengkis, Edelweis kembali bergeas menyetop taxi dan langsung ke alamat yang Biru kirim tadi.



Bayar taxi bisa pake BPJS aja bisa, ngga?



Begitu sampai Edelweis langsung berlari, adegannya sama persis kaya di mimpi.



Cuma bedanya kali ini dia ngga perlu teriak-teriak karena kedua matanya langsung memangkap siluet seorang Biru, tante Jesi dan juga om Bram.



"RU!"

LIVING WITH MY ENEMY [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang