13. RENCANA

978 79 7
                                    

"Papa!" Seorang gadis dengam seragam SMA tampak berlari antusias memasuki rumahnya lalu menghampiri seorang pria paruh baya yang tengah duduk di ruang tamu.


"Hai sayang, gimana sekolahnya?" Sapa pria berkacamata itu sambil menaruh korannya di meja.


"Eumm.. Ada sedikit masalah, Pa" balasnya lirih.


"Masalah apa itu? Biar papa bantu"


"Ehm.. A-aku mau perjodohan Bunga sama Sabiru dipercepat, Pa" ujar gadis bernama Bunga pelan nyaris tak terdengar.


"Jadi itu masalahnya? Kamu ini bikin papa khawatir aja, papa kira ada masalah beneran"


"Tapi masalahnya, Pa, ada cewe lain juga yang berusaha deketin Sabiru selain aku"


"Biru yang kamu maksud anaknya Bram, kan? "


Bunga mengangguk mengiyakan.



"Kamu tenang aja ya, sayang, papa akan pastiin kalo Sabiru jadi milik kamu"


"Serius pa?" Kedua bola mata Bunga berbinar.



"Apa sih yang engga buat putri papa yang satu ini, ha?"


"Makasih, Pa- awhh! "


"Bunga kamu kenapa, nak?" Diro merengkuh bahu anaknya yang tiba-tiba melorot kesakitan tanpa aba-aba.


"Sa-sakit, Pa" keluh Bunga, lalu sedetik kemudian gadis yang sebelumnya divonis menderita penyakit leukimia itu tak sadarkan diri.



Diro- Papa Bunga sontak berteriak panik memanggil istri serta para anak buahnya untuk menyiapkan mobil.



Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Bunga yang sempat sadar diri itu terus memegang erat tangan mamanya diiringi gumaman beliau menyemangati putri sulungnya.



"Sabar sayang, sebentar lagi kita sampe, kok"


Disaat genting seperti ini mobil justru terasa lambat dalam melaju di jalanan, hal itu kerap kali mengundang decakan Diro dan juga sang istri.

Sesampainya di rumah sakit, Bunga langsung diperiksa, sedangkan kedua orangtuanya menunggu di luar.


Tak berselang lama kemudian, seorang dokter keluar diiringi beberapa perawat yang setia berjalan di belakangnya.


"Gimana keadaan anak saya, dok?" Tanya Diro yang sudah tidak dapat menutupi rasa paniknya.


"Keadaannya semakin memburuk karena daya tahannya cukup lemah, untuk beberapa hari kedepan, sebaiknya pasien dibiarkan istirahat terlebih dahulu supaya kondisinya segera pulih " jelas dokter Sera yang bertugas menangani Bunga.



"Lakukan yang terbaik untuk anak kami" sambung Isna- istri Sudiro.



"Baik, Bu, kami akan berusaha semaksimal mungkin"



Setelah dokter Sera berpamitan, kedua pasangan suami istri itu lantas masuk untuk melihat kondisi anaknya.


"Ma?"


"iya Bunga, kamu butuh apa? Bilang aja sama mama"



"Umur Bunga ngga lama lagi ya, Ma?" Tanya Bunga lirih.


"Kamu ngga boleh ngomong gitu, sayang, mama sama papa bakal berusaha yang terbaik buat kamu, iya kan, Pa?"


"Iya, Bunga, mamamu benar, sekarang yang terpenting kamu semangat buat sembuh, ya" lanjut Diro.


"Tapi, Bunga mau satu hal sebelum Bunga pergi Pa, Ma"

"Apa, Bunga? Kami berdua pasti akan berusaha memenuhi, semua demi kamu, sayang"


Bunga tersenyum lebar sebelum membisikkan rencananya tepat ke telinga mamanya.



****


"Lo mau kemana, sih, rapi amat" Tanya Edelweis penasaran.


10 menit mengawasi gerak-gerik Sabiru cukup membuat batin gadis itu bertanya-tanya kenapa cowo itu mendadak dandan kaya orang kantoran.


"Lo bisa, ngga? Ngga usah ngikutin gue?!"



"Makanya, lo jawab dulu, masa calon istri lagi nanya dicuekin, sih?!" Edelweis menghembuskan nafas kasar seraya bersungut sebal.


"What?! Calon istri? Mimpi aja lo sana, siapa juga yang mau sama cewe bar-bar banyak tingkah kaya lo, hah?" Sabiru mendorong kepala Edelweis menggunakan jari telunjuknya.


"Idih! Sinis amat, awas aja lo terpesona sama kecantikkan gue" balas Edelweis sombong.


"Udah sana keluar lo, ah, ganggu aja" usir Sabiru blak-blakan.


"Yaudah sih, jawab dulu mau kemana"


"Kepo"


"Biru.. Udah siap belum?" Tanya tante Jesi yang tiba-tiba sudah muncul di belakang Edelweis.



"Udah, Ma"


"Edelweis, kamu kita tinggal dulu sebentar, ya, soalnya ada acara makan malam di tempat koleganya papa Biru"


"Eh-oh iya tante, ngga papa, kok"


"Yaudah kamu hati-hati dirumah, ya"


"Iya tan, tante sekeluarga juga hati-hati dijalan"


Jesi lalu berbalik pergi mendahului Biru setelah menyempatkan diri menepuk bahu Edelweis dua kali.

"Lo ngga ngucapin hati-hati juga ke gue?" Tanya Sabiru berniat menggoda.


"Gak!" Ketus Edelweis sebelum akhirnya gadis itu memilih pergi ke kamarnya.

LIVING WITH MY ENEMY [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang