37. FITNAH

869 77 12
                                    

Edelweis memasuki pekarangan tempat kostnya setelah tadi berpisah dengan Ezra didepan, soalnya rumah Ezra sama kos milik keluarganya itu berseberangan.

"Jadi Edelweis kos disini?"

"Kayaknya iya deh, Ma"

"Terus cowo tadi siapanya?"

"Temen Edelweis di sekolah, Ma"

"Temen doang?"

Sabiru mengangkat bahu, sepertinya dia juga ragu sama jawabannya sendiri.

Karena sudah malam mereka berdua pun memilih pergi dengan beribu pertanyaan yang bersliweran di kepala tanpa jawaban yang pasti.

----

H-6 acara yang sangat tidak ditunggu-tunggu oleh Sabiru, cowo itu sibuk mikirin gimana caranya bisa lepas dari jeratan kuyang tersebut.

Maap, nih, ya mbak Bunga, anggap aja kuyang itu panggilan sayang dari mas Sabiru.

Ngga mungkin kalo Sabiru harus keluar alias minggat dari rumah, yang ada malah jadi gembel dia.

Bunuh diri apalagi, ngga mungkin banget. Biru juga pengen kali ngerasain duduk ongklang-ongklang di surga sambil ditemenin bidadari.

Kayanya kalo pura-pura sakit udah terlalu mainstream deh.


Astaga, pusing gile ini kepala.


Sabiru kembali mondar-mandir di kamarnya sampai tiba-tiba ia mendengar suara orang ribut dari lantai satu.

Mama ngapain? Ngajak gelud tetangga? soalnya, kan, bokap lagi ngga ada.


Kok kaya ngga mungkin, ya, tetangga disini kan sombong-sombong, ya termasuk gue, sih.

Sabiru buru-buru melangkah turun sambil celingukan mencari sumber keributan.

Eh bentar, itu tante Isna ngapain marah-marah ke mama?


"MAKANYA BURUAN PANGGIL ANAK LO SI BIRU ITU!" Isna mulai lancang menunjuk wajah mama lengkap dengan amarah yang membara.

Sabiru menatap keempat orang yang tengah ribut di ruang tamu secara bergantian.

Diro tampak duduk dengan dada membusung serta tangan mengepal kuat, Isna berdiri sambil menunjuk-nunjuk Jesi, sedangkan Bunga menunduk dengan tangan bergetar.

Mamanya mengernyit heran tak mengerti dengan kemarahan Isna yang baru datang langsung main labrak gitu aja.


"Ini ada apa, Ma? Ributin bansos, ya?"

Semua lantas kompak menatap Sabiru yang baru datang dengan gaya santainya.

Plakkkkkk.

"Dasar bajingan, kamu!"

Diro menampar pipi Sabiru sekuat tenaga bahkan sampai membuat cowo itu terjengkang ke belakang, Jesi pun langsung menghampiri anaknya.


Sabiru yang geram akhirnya berdiri, ia balas menatap Diro tajam, sepertinya ini adalah kesempatan buat dia ngungkapin segala unek-uneknya selama ini.


"Apa hak anda menampar saya?!" Ujar Sabiru dengan penekanan di setiap kata.

"KURANG AJAR!! KAMU APAIN ANAK SAYA?!"

"Hah?! Dia kenapa? Saya ngga ngapa-ngapain"


"NGGA USAH NGELES, KALO BUKAN KAMU TERUS SIAPA?!"


"SAYA BERANI BERSUMPAH SAYA NGGA TAU APA-APA" Balas Sabiru mulai tersulut emosi.


"SAYA NGGA PERCAYA SAMA SUMPAH PALSU KAMU ITU! SEKARANG YANG SAYA MINTA, KAMU TANGGUNG JAWAB SAMA PERBUATAN KAMU!!"


"Ma, jelasin ke Biru ini ada apa?" Biru balas menatap mamanya karena dituntut buat tanggung jawab sama hal yang ngga jelas alasannya apa.


Jesi menggeleng dengan mata memerah, "Mama juga ngga tau sayang"


Bunga melompat dan langsung bersimpuh di bawah kaki Diro, "Ma-mafin Bunga, pa, ini semua salah Bunga" gadis itu terisak.


"NGGA, BUNGA, INI PASTI SALAH SI BAJINGAN INI" Lagi-lagi Diro menunjuk Sabiru dengan emosi.



"Asal kalian tau! Biru ini anak berpendidikan, dia ngga mungkin ngelakuin hal yang macam-macam ke anak kalian!!" Geram Jesi seraya menggenggam erat lengan Biru.


Biru tau mamanya butuh kekuatan, dia pun mengelus punggung Jesi naik turun.

"Bunga hamil, kamu harus tanggung jawab, Ru"


Jedder!

LIVING WITH MY ENEMY [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang