👒 ANTARIKSA 7 👒

410 45 123
                                    

Gerry menyandarkan punggung pada sandaran kursi yang ia duduki, meski ada Damar di samping, pandangannya tak lepas dari dua sejoli yang masih memperdebatkan rencana pertunangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gerry menyandarkan punggung pada sandaran kursi yang ia duduki, meski ada Damar di samping, pandangannya tak lepas dari dua sejoli yang masih memperdebatkan rencana pertunangan.

"Kita masih sekolah, Gibran. Masih SMA, belum lagi kita mau kuliah. Aku mau fokus sama pendidikan. Buat aku, pertunangan atau yang lainnya itu nomor sekian. Aku belum siap terikat dengan hubungan yang lebih jauh selain ini," ucap Jasmin meyakinkan Gibran.

"Kenapa nggak mau? Oh, kamu udah bosen sama aku? Kamu mau ninggalin aku? Gitu maksud kamu?" Gibran membuang napas. "Ini mau nyokap, bukan aku. Kalau nggak mau, nanti aku bilang nyokap," imbuhnya kecewa.

"Bukan gitu." Jasmin kehabisan kata-kata. Ia belum mau memikirkan semua hal ini. Sebelum semua pendidikannya tercapai, ia tidak mau mempunyai komitmen dengan siapapun, sekalipun itu Gibran.

"Maaf atuh, Mas, Mbak. Masih ada anak di bawah umur di sini. Mungkin lebih baik kalian membantu menghitung omzet restoran bulan ini," tegur Damar yang merasa pembicaraan mulai tidak baik.

Setelah dari rumah Nirmala, mereka memilih untuk bersantai di restoran Fine Garden milik Damar.

"Gue mundur,
deh," ucap Gerry tiba-tiba.

Dahi Damar mengernyit. "Mundur? Ke mana? Dari mana?" tanyanya.

"Dari Nirmala. Dia terlalu perfect. Diibaratkan kalau Nirmala adalah matahari dengan sinar yang sangat terang, lalu gue hanya meteoroid yang mengapung di angkasa kemudian melebur saat bertemu atmosfer," terang Gerry.

"Lo baru jalan satu langkah udah mau nyerah?" tanya Damar disertai kekehan. "Kesempurnaan itu ada kalau diciptakan. Lo juga bisa jadi sempurna, tapi kuncinya lo harus sabar dan terus berjuang. Bukan nyerah duluan, apalagi di langkah awal kayak gini." Ucapan Damar memang benar.

"Berjuang gimana? Gue harus pindah ke kelas IPA biar kenal sama Tom-tom?"

"Bukan gitu juga, Ger. Nggak semua cewek peduli sama kelas dan jurusan apa yang lo masuki. Kebanyakan mereka lihat dari perhatian yang lo kasih, bukan pinter atau nggak. Semua itu bakal ketutup kalau udah saling sayang," sambung Jasmin.

Gerry menggeleng sambil tertawa masam. "Perkara ribet, gue males, ah," ucapnya.

"Gue bantu." Gibran menyahut. "Nirmala sama Jasmin bukan cewek biasa. Lo hanya butuh keyakinan dan semangat buat naklukin hati cewek seperti Nirmala," terangnya.

"Emang gue apa kalau bukan cewek? Vampir, gitu? Iya? Bosen gue sama kalian. Ngeselin!" bentak Jasmin lalu berdiri seraya menarik sling bag-nya kasar.

Gibran menyugar rambutnya ke depan. "Kalian lihat sendiri 'kan, apa yang gue omongin selalu salah. Kalian juga harus ingat tentang Hukum Kekekalan Perempuan. Pasal satu, perempuan nggak pernah salah. Pasal dua, jika dia melakukan kesalahan, maka kembali ke pasal satu. Oke, gue duluan!"

Nirmala (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang