Hari-hari Nirmala terasa berbeda sejak kepergian Damar. Menyisakan rasa yang tetap ia simpan seorang diri. Tak ada harapan lagi untuk menikmati indahnya gelombang cinta. Semuanya hanya semu, cinta itu palsu. Namun, cinta Nirmala sudah terpatri untuk Damar, lelaki yang berhasil menyita seluruh perhatian.
"Heh, bikin kue kok malah ngelamun. Untung Ibu nggak telat." Nirmala tersadar saat Nuri menabok lengannya pelan. Kemudian, gadis itu memindahkan adonan yang sudah kalis dari tempat pengaduk untuk proses selanjutnya.
"Ibu tahu kalau kamu ada masalah, tapi jangan sampai ganggu konsentrasi kamu, apalagi saat belajar. Ibu juga nggak ngelarang kamu buat bergaul sama siapa aja, tapi nyari teman yang tulus itu sulit, Mala. Teman yang bisa nerima kamu apa adanya, teman yang bisa nuntun kamu ke jalan yang benar, bukan teman yang menyesatkan. Sifat orang itu nggak ada yang tahu, ada yang kayak durian. Luarnya tajam, kayak ucapannya yang pedes, tapi dalemnya lembut, suka menolong. Ada juga yang bentuknya kayak cabai, luarnya mulus, tapi pas udah kenal, ternyata pedes banget. Mulutnya lebar kayak toa."
"Ibu ada-ada aja." Nirmala menimpali sambil terkekeh.
"Ibu serius tau. Ibu nggak akan tanya alasan kenapa Gerry nggak pernah jemput kamu lagi, Ibu sama ayah cuma kasih pengertian dan batasan kamu dalam mencari teman. Meski umur kamu masih 14 tahun, tapi Ibu tahu pikiran kamu sudah dewasa. Udah, kamu belajar aja sana, biar besok ujiannya lancar."
Nirmala menggeleng. "Nanti aja, Bu. Lagi jenuh liat tulisan."
Nuri menyetujui ucapan putrinya, ia juga pernah merasakan lelah dan bosan dengan belajar. Toh, Nirmala juga tahu kapan dia harus belajar untuk menggapai semua mimpinya. Hari Sabtu ini, mereka menghabiskan waktu di dapur dengan berbagai cerita yang penuh tawa. Nuri menceritakan kisah cinta dengan Toni yang menikah tanpa cinta, pernikahan zaman dulu adalah tergantung pada kedua orang tua. Tidak seperti remaja saat ini yang menjalin kasih sebelum menikah.
Selesai urusan dapur, Nirmala lanjut mengantarkan kue kepada pelanggan dengan mengayuh sepeda. Sebenarnya alasan utama dia enggan belajar, karena ia masih saja terbayang atas sikap Gerry dan Damar. Dia jadi sulit untuk fokus karena bayangan mereka yang tiba-tiba muncul. Dia masih butuh waktu, ya, hanya waktu.
****
Petikan senar gitar akustik Damar menemaninya di sore akhir pekan ini. Bibirnya juga ikut berbisik pada angin untuk menyampaikan rasa yang terpendam.
Sekalipun besok ujian, ia masih membuka beberapa lembar saja. Bukan karena dia sudah pandai, tapi chat yang dikirimkan sang mantan membuat rasa bersalah kembali menghantui. Disusul suara pukulan drum yang mengejutkan Damar.
"Lo nyanyi dalem banget, gue panggil sampai dower nggak nyaut," kata Gerry yang memutar stik drum dengan ibu jari.
Senyum Damar mengingat Gerry sudah mendatanginya lagi setelah insiden tak mengenakkan beberapa waktu yang lalu. "Lagi ngapalin rumus Fisika sama Matematika," balas Damar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirmala (END) ✓
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA] Update seminggu sekali. Akselerasi, terkenal dengan murid jenius serta kutu buku. Tidak ada banyak waktu bermain sehingga membuat mereka hanya memiliki sedikit teman. Apa yang terjadi, jika kelas itu dipenuhi dengan gelak tawa...