👒 ANTARIKSA 15 👒

237 31 82
                                    

Gerry masih men-dribbel bola oranye itu lalu memasukkan ke dalam ring dengan mudah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gerry masih men-dribbel bola oranye itu lalu memasukkan ke dalam ring dengan mudah. Ia terlalu hanyut dalam konsentrasi saat kedua temannya sudah duduk di pinggir lapangan basket indoor milik sekolah. Lelaki itu sudah melepas baju seragam, menyisakan kaos putih yang menampilkan otot besarnya.

“Nggak capek lo, Bos?” tanya Haikal.

“Gue suka sama basket, mana mungkin gue capek?” Gerry menjawab sembari memutarkan bola di antara kaki. Membawanya kembali ke ring lain dengan melompat dari luar garis setengah lingkaran dan melemparkan bola tepat di tengah ring.

“Kenapa lo nggak segila itu sama Nirmala? Dia cantik, pinter lagi. Cewek idaman banget,” tanya Haikal lagi.

Gerry menengok sebentar, lalu kembali fokus pada bola yang hanya dia lempar bolak-balik ke dalam ring. Ia mulai merasa lelah dengan permainannya sendiri, termasuk dengan Nirmala.

“Ini bola, Kal. Nirmala itu bidadari, jauh banget perbedaannya. Basket bisa bikin gue tenang, lupa sama semua pikiran yang menumpuk. Kalau sama Nirmala, gue selalu takut. Gue nggak nyaman bareng sama dia. Dia terlalu sempurna buat gue.” Gerry berbaring di tengah lapangan sambil memeluk bola oranye yang dianggap teman setia.

“Nggak ada manusia yang terlahir sempurna, Ger. Kita semua punya kekurangan dan kelebihan. Kekurangan itu adalah tempat di mana orang-orang baru akan memasukinya secara bertahap, mereka yang akan menutupi semua kekurangan itu. Terus kelebihan yang lo punya, bisa lo kasih sama orang yang memang butuh itu. Jangan mainin hati oranglah, Ger. Nirmala punya perasaan, sama kayak lo juga. Misal, kalau tiba-tiba lo kita cuekin tanpa alasan yang nggak jelas, gimana menurut lo?” Wildan mengakhiri pidatonya dengan sebuah pertanyaan untuk Gerry.

“Emang gue peduli? Kalau kalian mau pergi dari gue, pergi aja!” jawab Gerry tanpa membuka matanya yang terpejam. Menormalkan deru napas lelah.

Haikal dan Wildan sedikit tertegun mendengar jawaban dari Gerry yang sudah sering mereka dapatkan. Bagi Haikal, Gerry adalah lelaki lemah yang selalu membutuhkan asupan semangat darinya dan Soni. Sedangkan bagi Wildan, Gerry adalah sumber kekayaan yang alami. Lelaki itu selalu memberikan apa yang Wildan mau. Baju dan makanan, semua Wildan dapat dengan mudah. Tidak perlu memaksa atau merengek seperti yang ia lakukan kepada orang tuanya. Wildan menyesali apa yang sudah ia katakan pada Gerry.

“Tapi paling nggak, lo kasih kejelasan sama itu cewek. Kasihan, Ger, udah lo anggurin lama. Lo coba selami dia lebih dalam lagi, lo cari kekurangannya apa, terus coba lo lengkapi. Inget dong, gimana perjuangan lo buat dapetin dia? Masa sekarang mau dilepas gitu aja? Masih ada waktu sebelum lo merasakan sesal yang pedih.”

Gerry membiarkan kedua sahabatnya mengoceh seperti burung kenari di rumah Jasmin, sangat berisik. Namun, banyak juga yang ia tangkap dari ucapan Wildan dan Haikal.

Nirmala (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang